Menuju konten utama

Asosiasi Pedagang Pasar hingga Petani Tolak Sembako Kena PPN

Asosiasi pedagang IKAPPI dan asosiasi petani APTRI menolak rencana pemerintah terkait sembako dikenakan PPN.

Asosiasi Pedagang Pasar hingga Petani Tolak Sembako Kena PPN
Warga membeli kebutuhan pokok di Pasar Kosambi, Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/6/2021). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi.

tirto.id - Sekjen Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Nur Khabsyin merespons keras rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada bahan pokok yang tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

"Saya kira perlu dikaji ulang. Apalagi saat ini masa pandemi dan situasi perekonomian sedang sulit. Ini akan berimbas ke seluruh Indonesia dan membuat gaduh masyarakat, terutama masyarakat petani," kata Khabsyin, Jumat (11/6/2021).

Dalam draf beleid tersebut, komoditas gula konsumsi menjadi salah satu barang kebutuhan pokok yang dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Dengan penghapusan itu berarti gula konsumsi akan dikenakan PPN.

Sebetulnya, kata dia, pada 2017 gula konsumsi sudah dikenakan PPN, akan tetapi petani tebu protes melalui unjuk rasa di jakarta. Sehingga sejak 1 September 2017 gula konsumsi dibebaskan dari PPN.

”Saat itu petani beralasan bahwa gula adalah termasuk bahan pokok kenapa kena PPN, sedangkan beras bebas dari PPN,” jelas dia.

Pengenaan PPN, kata Khabsyin, dipastikan akan merugikan seluruh petani tebu yang ada di tanah air. Karena, pengenaan PPN terhadap gula konsumsi pada ujungnya akan menjadi beban petani sebagai produsen.

“Pedagang akan membeli gula tani dengan memperhitungkan beban PPN yang harus dibayarkan. Ini tentu akan berdampak pada harga jual gula tani,”terang dia.

Sebagai contoh saat ini, harga jual gula di tingkat petani hanya laku Rp10.500/kg, apabila dikenakan PPN 12 persen maka yang diterima petani tinggal 9.240/kg. Angka tersebut itu jauh di bawah biaya pokok produksi sebesar Rp11.500/kg. Padahal tahun 2020, gula tani bisa laku Rp11.200/kg tanpa ada PPN.

Salah satu dasar pengenaan PPN sembako karena pemerintah menilai saat ini harga pangan naik 50 persen sehingga ada kenaikan nilai tukar petani (NTP). Pernyataan tersebut, kata dia, jelas tidak berdasar.

"Justru sekarang ini harga pangan turun contohnya harga gula konsumsi turun dibanding tahun lalu karena impor kebanyakan dan daya beli menurun. Kalau terpaksa narik PPN ya gula milik perusahaan-perusahaan atau pabrik gula karena mereka sebagai pengusaha kena pajak (PKP), jangan gula milik petani,” terang dia.

Respons keras terkait sembako dikenakan PPN juga datang dari Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI). Melalui keterangan resmi yang disebar kepada media masa, IKAPPI mengajukan protes pada rencana pemerintah untuk menjadikan bahan pokok sebagai objek pajak.

Ketua Umum IKAPPI Abdullah mansuri mengatakan pemerintah diharapkan menghentikan upaya bahan pokok sebagai objek pajak. Ia menilai pemerintah harus mempertimbangkan banyak hal sebelum menggulirkan kebijakan. Apalagi kebijakan tersebut digulirkan pada masa pandemi dan situasi perekonomian saat ini yang sedang sulit.

“Kami mencatat lebih dari 50 persen omzet pedagang pasar menurun. Di samping itu, pemerintah belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan di beberapa bulan belakangan ini. Harga cabai bulan lalu hingga Rp100 ribu, harga daging sapi belum stabil mau dibebani PPN lagi, gila,” jelas dia.

Ia menyebut pedagang kesulitan menjual barang karena dan daya beli masyarakat masih rendah. “Mau ditambah PPN lagi, gimana tidak gulung tikar,” imbuh dia.

Sebelumnya, pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang bahan pokok atau sembako dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Berdasarkan berkas rumusan RUU Ketentuan Umum Perpajakan, ada tiga opsi tarif untuk pengenaan PPN barang kebutuhan pokok ini.

Pertama, diberlakukan tarif PPN umum yang diusulkan sebesar 12 persen. Kedua, dikenakan tarif rendah sesuai dengan skema multitarif yakni sebesar 5 persen, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Ketiga, menggunakan tarif PPN final sebesar 1 persen.

Baca juga artikel terkait SEMBAKO KENA PPN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri