Menuju konten utama

Ashin Wirathu: Biksu Radikal Sobat Setia Militer Myanmar

Ashin Wirathu mendapat julukan "Buddhist Bin Laden" karena kerap menebar kebencian dan provokasi.

Ashin Wirathu: Biksu Radikal Sobat Setia Militer Myanmar
Biksu Buddha radikal Myanmar Ashin Wirathu menghadiri briefing media di Kolombo, Sri Lanka. (AP Photo/Eranga Jayawardena)

tirto.id - Akhir Mei lalu (28/5), kepolisian Myanmar mengeluarkan surat perintah penangkapan yang ditujukan kepada seorang biksu bernama Ashin Wirathu. Ia ditangkap atas dasar hasutan atau fitnah kepada pemerintahan Myanmar.

Dalam sebuah pidato pada 5 Mei 2019 di depan Balai Kota Yangon, Wirathu mengkritik upaya parlemen mengubah konstitusi negara yang bakal memberi jabatan presiden Aung San Suu Kyi. Ia meledek bahwa para anggota parlemen itu seharusnya disembah seperti Tuhan, dilansir dari Myanmar Times.

Pidato lainnya saat di Myeik yang menjadi viral adalah saat mengibaratkan Suu Kyi, penasihat negara Myanmar, sebagai sosok wanita yang bersolek dan berlenggang-lenggok untuk orang asing. Menurut Wirathu, ia tak pantas untuk jadi seorang presiden.

Karena hal itulah Wirathu ditangkap atas dasar pasal 124 (a) KUHP yang mencakup hasutan untuk menimbulkan kebencian atau penghinaan yang membangkitkan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Tertuduh dapat dijatuhi hukuman tiga tahun.

Para pendukung Wirathu mengecam perlakuan lembaga agama dan pemerintah Myanmar. Menurut mereka, pemerintah telah memburu seorang guru yang sedang berjuang membela agama dan negara.

“Mereka selalu berusaha menangkap para biksu,” kata U Yarza, salah seorang asisten Ashin Wirathu dilansir dari New York Times. ”Ini sangat mengecewakan bagi agama Buddha di negara itu.” Menurut Yarza, Wirathu tidak takut apa-apa sekalipun ditangkap polisi. “Dia selalu melakukan hal yang benar untuk negara kita,” ujarnya penuh keyakinan.

Biksu Kompor

Empat belas tahun silam, nama biksu asal Mandalay ini hampir tak pernah terdengar luas di tanah Burma. Kariernya biasa-biasa saja. Pria kelahiran 1968 itu mulai menjalani hidup sebagai seorang biksu pada usia 14 tahun saat ia meninggalkan bangku sekolah.

Tetapi, kini Wirathu adalah sosok pemuka agama yang kontroversial. Ia memilih menampilkan wajah Buddhisme dalam versinya yang tidak ramah. Wirathu yang dijuluki pers Barat sebagai "Buddhist Bin Laden" ini jadi simbol kebangkitan ekstremisme Buddha di Myanmar.

Wirathu punya kecemasan berlebihan terhadap eksistensi kelompok minoritas muslim di negaranya. Dalam banyak sesi di biara Masoeyein yang dipimpinnya, ia kerap mengungkapkan kegelisahannya bahwa agama Buddha sedang dalam bahaya. Biksu ini mencontohkan, misalnya, bagaimana Indonesia pada dasarnya adalah negara Hindu-Buddha yang kemudian runtuh dan akhirnya didominasi Islam. Filipina disebutnya sedang berjuang menghadapi kelompok jihadis Muslim. Sementara Myanmar diyakini sebagai target migrasi muslim berikutnya.

Dalam khotbahnya, Wirathu tak segan menyebut muslim sebagai ancaman nyata bagi eksistensi agama Buddha di Myanmar.

"Anda bisa penuh dengan kebaikan dan cinta, tetapi Anda tidak bisa tidur di sebelah anjing gila," ujar Wirathu merujuk pada muslim di negerinya. "Saya menyebut mereka pembuat onar, karena mereka memang pembuat onar," katanya tanpa ragu kepada New York Times pada 2013. "Saya bangga disebut sebagai seorang Buddhis radikal."

Agama Buddha dianut oleh mayoritas penduduk Myanmar. Dari 58 juta penduduk, 90 persen memeluk Buddha Theravada. Agama Buddha telah mengakar kuat dalam kehidupan sosial politik masyarakat Burma (sebutan lain untuk Myanmar), sampai-sampai muncul pepatah bahwa menjadi orang Burma berarti menjadi orang Buddha. Gerakan nasionalis arus utama di Myanmar dibangun dengan narasi bahwa para biksu Buddha terlibat dalam gerakan melawan kolonialisme hingga harus meregang nyawa di tangan penjajah.

Islam adalah agama minoritas ketiga di Myanmar setelah Kristen. Sensus Myanmar pada 2014 (PDF) menunjukkan populasi muslim hanya 4,2 persen dari total populasi penduduk Myanmar.

Ashin Wirathu mulai mendapat sorotan publik pada 2001 saat ia meluncurkan Gerakan 969, sebuah gerakan keagamaan yang melawan apa yang mereka klaim sebagai “ekspansi Islam” di Myanmar dan bertujuan melindungi agama Buddha sebagai identitas nasional. Mereka mulai menebarkan kebencian terutama setelah Taliban menghancurkan Patung Buddha Bamiyan di Afghanistan pada 2001.

Sejak itu Wirathu menggalang kampanye nasional memboikot pertokoan dan produk-produk milik muslim di Myanmar. Ia ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara 25 tahun pada 2003 atas tuduhan menghasut kebencian anti-muslim yang menyebabkan 10 orang muslim tewas di Kyaukse. Tak sampai menjalani masa hukuman penuh, ia dibebaskan pada 2010. Pada tahun yang sama, Suu Kyi juga dibebaskan setelah lama menjadi tahanan politik.

Menariknya, Gerakan 969 banyak mendapat dukungan dari pejabat di pemerintahan. Laporan panjang Andrew R.C. Marshall untuk Reuters menjelaskan, Gerakan 969 adalah bagian dari junta militer yang telah menguasai perpolitikan Myanmar dari 1962 sampai 2011.

Setelah pemerintahan junta militer runtuh, para pejabat tinggi cenderung mendukung atau melunak terhadap Gerakan 969 yang berbasis agama dan memiliki pengaruh massa yang besar. Beberapa anggota oposisi junta militer Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi bahkan condong mendukung Gerakan 969.

Sebaliknya, Gerakan 969 di bawah Wirathu menuding bahwa NLD yang menjadi kendaraan politik Suu Kyi disusupi kelompok Islam yang tujuannya ingin menguasai Myanmar seutuhnya.

Dalam pidatonya pada Februari 2013 misalnya, Wirathu bilang bahwa kantor NLD sebagian besar “sekarang diisi oleh muslim berjanggut,” dan menuduh bahwa ada kedekatan antara Suu Kyi dengan orang-orang Islam.

Pada masa pemerintahan Presiden Thein Sein (2011-2016), Wirathu memimpin rapat umum di Mandalay pada September 2012 guna membela rencana kontroversial untuk mendeportasi muslim Rohingya ke negara lain. Hasilnya, sebulan kemudian ada lebih banyak kekerasan yang meletus di negara bagian Rakhine tempat mayoritas muslim Rohingya bermukim.

Pada 2013, kerusuhan anti-muslim pecah di Meikhtila. Gerombolan penganut Buddha bersenjata, beberapa di antaranya dipimpin biksu, mengamuk di perkampungan muslim selama dua hari. Mereka menghancurkan rumah, toko, dan masjid. Setidaknya 40 orang tewas dan 12.000 lainnya terpaksa mengungsi. Padahal, selama beberapa generasi, umat Buddha dan muslim di kota itu hidup rukun berdampingan.

Laporan The National mencatat, Wirathu memainkan peran sentral dalam memantik api kerusuhan di Meikhtila. Kerusuhan didahului oleh beredarnya video ceramah Wirathu yang viral di internet.

"Kami umat Buddha membiarkan mereka bebas mempraktikkan agama mereka, tetapi begitu muslim jahat ini memiliki kontrol dan otoritas atas kami, mereka tidak akan membiarkan kami mempraktikkan agama kami," ucap Wirathu dalam sebuah video.

"Para Islamis ini telah membeli tanah dan bangunan di seluruh penjuru negeri. Mereka menggunakan uang itu untuk mendapatkan wanita muda Buddhis kita," lanjutnya.

Ceramah-ceramah penuh hasutan itu menarik perhatian ribuan orang dan diedarkan secara luas dalam bentuk DVD. Biara-biara yang menyokong pandangan Wirathu juga membuka cabang di banyak tempat. Di sosial media khususnya Facebook, ia punya ribuan pengikut yang siap memviralkan ceramahnya. Akun tersebut diutup Facebook pada Februari 2018.

Infografik Genosida Rohingya Rev

Infografik Genosida Rohingya Rev

Jangkauan pengaruh Wirathu melampaui Myanmar. Ia menjalin koneksi dengan ormas Buddha ekstremis di Sri Lanka bernama Bodu Bala Sena (BBS). Majalah Buddha Lions Roar menyebut bahwa pada 2014 Wirathu terbang ke Kolombo, Sri Lanka, untuk menandatangani nota kesepahaman dengan kelompok BBS yang kelakuannya mirip Gerakan 969 di Myanmar.

Sekelompok biksu garis keras mendirikan organisasi bernama Ma Ba Tha atau Asosiasi Patriotik Myanmar pada 2014. Organisasi yang dibentuk di kota Mandalay bagian utara itu mengklaim didirikan untuk melindungi ras dan agama.

Wirathu menjadi petinggi kelompok Ma Ba Tha yang dengan cepat mendapat banyak anggota, khususnya perempuan. Ma Ba Tha adalah kelompok yang mendorong diberlakukannya undang-undang yang mempersulit perempuan Buddha menikah dengan pasangan di luar agama mereka. Pada Juli 2015, aturan itu benar-benar disetujui oleh parlemen.

Kehadiran kelompok ultranasionalis seperti itu cukup ampuh mempengaruhi pikiran rakyat melalui unggahan-unggahan online berisi cacian terhadap muslim.

Saat kekerasan sektarian di negara bagian Rakhine meningkat pada 2017, badan negara Myanmar yang mengatur agama Buddha melarang Wirathu berkhotbah di muka umum selama setahun. Ma Ba Tha juga dibekukan. Namun kelompok itu mengubah nama dan beroperasi kembali.

Piaraan Junta Militer?

Sepak terjang Wirathu bukannya tak dikritik umat Buddha. Nyi Nyi Lwin atau U Gambira, mantan biksu sekaligus pemimpin gerakan Revolusi Saffron (2007) yang dihancurkan oleh junta militer, menyebutkan bahwa ceramah-ceramah Wirathu sudah menyimpang dari ajaran Buddha.

Menurut Gambira, hanya pemerintah yang mampu menghentikan gelombang kebencian anti-muslim. “Di masa lalu, mereka mencegah para biksu memberikan ceramah tentang demokrasi dan politik. Kali ini mereka tidak menghentikan pidato-pidato hasutan (anti-Islam). Mereka mendukungnya,” ujar Gambira menyayangkan.

Pemerintah dinilai masih segan dengan sosok Wirathu sebagai kepala biara besar yang memiliki sekitar 2.500 biksu. “Tidak ada yang berani berbicara balik kepadanya. Pemerintah perlu mengambil tindakan terhadapnya,” harap Gambira.

Aparupa Bhattacherjee peneliti dari Institute of Peace and Conflict Studies (IPCS) yang berbasis di New Delhi, India, menilai bahwa Wirathu adalah bagian dari pemerintah junta militer yang khusus dipakai untuk memecah suara kelompok pro-demokrasi dengan cara menghembuskan sentimen anti-Islam. Ia melihat Wirathu sangat bebas dan secara terbuka menebar kebencian, sementara biksu-biksu lainnya tak leluasa bicara politik.

Terlebih saat pemerintahan pro-sipil menghapus sensor media pada 2011, Wirathu memanfaatkan ini untuk menebar kebencian atas nama kebebasan berbicara. Dia bahkan sangat terbuka pada media yang ingin mengulik soal ceramah-ceramahnya yang ekstrem itu.

Dugaan itu sebetulnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Toh, selama ini ceramah-ceramah Wirathu selalu mengecam pemerintahan sipil dan mendukung militer, kelompok kunci yang mengorganisir aksi-aksi kekerasan terhadap orang Rohingya di Myanmar.

Baca juga artikel terkait MUSLIM ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf