tirto.id - Ada pemandangan menarik saat acara pembukaan Asian Games 2018 di Gelora Bung Karno pada 18 Agustus lalu. Dalam defile kontingen peserta pesta olahraga Asia tersebut, terdapat kontingen Korea Bersatu dengan bendera putih bergambar semenanjung Korea.
Meski kontingen Korea Selatan dan Korea Utara tetap ada, kehadiran kontingen Korea Bersatu yang turun di tiga cabang olahraga, dan atletnya gabungan dari kedua negara itu, tetap mengundang perhatian para penonton yang hadir di stadion dan para pemirsa yang menyaksikan lewat layar televisi.
Bagi rakyat Indonesia yang mayoritas diasupi berita-berita seputar ketegangan dua negara bersaudara itu, kehadiran kontingen Korea Bersatu cukup mengejutkan. Padahal bersatunya Korea dalam Asian Games 2018 bukan yang pertama dalam perhelatan olahraga. Mereka pernah bersatu dengan mengibarkan bendera persatuan pada 1991 dalam Kejuaraan Tenis Meja ke-41 di Chiba, Jepang serta Kejuaraan Sepak Bola Muda Dunia ke-8 di Lisbon, Portugal.
Bendera persatuan juga sempat mereka usung pada defile pembukaan di sejumlah perhelatan olahraga lain seperti Olimpiade Musim Panas 2000 di Sydney, Australia; Asian Games 2002 di Busan, Korea Selatan; Universiade Musim Panas 2003 di Daegu, Korea Selatan; Olimpiade Musim Panas di Athena, Yunani; Olimpiade Musim Dingin 2006 di Turin, Italia; Asian Games 2006 di Doha, Qatar; dan Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang, Korea Selatan.
Selain mempunyai bendera sendiri, kontingen Korea Bersatu pun memiliki “lagu kebangsaan” yaitu "Arirang". Pada Minggu, 26 Agustus 2018, mereka berhasil menyabet medali emas di cabang olahraga dayung nomor 500 meter putri, dan "Arirang" pun berkumandang saat bendera Korea Bersatu dinaikkan.
Peristiwa ini disambut gembira oleh para penonton Korea yang menyaksikan kemenangan tersebut. Bahkan Presiden Jokowi pun memberi selamat atas keberhasilan mereka.
“Medali emas dari nomor perahu naga putri 500 meter direbut oleh tim dari Korea. Bukan Korea Selatan, bukan Korea Utara, tapi Korea Bersatu—gabungan atlet-atlet dari dua negara yang terpecah oleh perang […] Begitu tiba pertama di garis finish, sejumlah penonton di tribun begitu emosional mengibarkan bendera putih bergambar peta Semananjung Korea, bendera resmi kontingen Korea Bersatu. Lagu Korea berjudul Arirang juga dilantunkan pada saat pengalungan medali bagi pemenang,” tulis Jokowi di akun Instagram-nya.
Kemarahan Kolektif
Rakyat Korea yang mengalami kepahitan dalam riwayat panjang perjalanan bangsa mereka mempunyai kemarahan kolektif yang mengakar yang disebut han. Perasaan ini timbul karena ketidakmampuan untuk membalas dendam atas segala penderitaan yang telah dialami.
Menurut Park Chan-wook, sutradara Oldboy (2003), han hanya terjadi ketika seseorang tidak bisa melampiaskan dendam dengan sesuai alias balas dendam yang gagal. Sementara sebagian orang Korea lain, seperti dikutip Tirto, menyebut han sebagai “Rasa kepahitan yang mencakup segala. Campuran kecemasan, daya tahan dan kerinduan untuk membalas dendam yang menguji jiwa seseorang. Sebuah kondisi yang ditandai kesedihan yang dalam dan rasa ketidaklengkapan yang dapat berakibat fatal.”
Euny Hong dalam Korean Cool (2016) menyebutkan bahwa salah satu contoh han terdapat dalam “Arirang”. Menurutnya, lagu ini tidak diketahui usianya karena sudah sangat lama hadir dalam keseharian orang Korea.
"Kamu yang telah mengabaikan dan meninggalkanku, aku harap kamu mendapat penyakit kaki sebelum mencapai sepuluh li [satu li sekitar 500 meter]," demikian bait pertamanya. Sementara bait-bait berikutnya menggambarkan pernyataan cinta yang konvensional.
Orang Korea Utara memainkannya dalam siaran berita dan menganggapnya sebagai simbol negara mereka. Bahkan di negara itu perhelatan publik tiap tahun yang diadakan secara besar-besaran disebut Arirang Games.
“Han mengingatkanku pada konsep memori rasial Carl Jung—ide bahwa pengalaman kolektif sebuah ras bersifat turun-temurun. Maka, memori nenek moyang kami tercetak dalam DNA kami, atau setidaknya dalam alam bawah sadar kami. Neurosis yang dialami generasi sekarang disebabkan oleh penderitaan nenek moyang mereka,” tulis Euny Hong.
Ragam Versi "Arirang"
Saking terkenalnya, pada 2012 “Arirang” dimasukkan ke dalam daftar warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Sebagai warisan budaya rakyat Korea yang telah hadir sangat lama, menurut Hyunjin Park dari Arizona State University dalam Korean Arirang: History, Genres, and Adaptations (2011), “Arirang” mempunyai beberapa versi yang penamaannya disesuaikan dengan wilayah masing-masing. Misalnya Jindo Arirang, Miryang Arirang, Jeongseon Arirang, dan Seoul/Gyeonggi Arirang.
Meski berbeda-beda versi, menurutnya semua “Arirang” mewakili kehidupan sehari-hari tentang kesedihan dan kepahitan.
Sebagai salah satu versi “Arirang”, Seoul/Gyeonggi Arirang cukup poluler. Pada 1990, versi ini dijadikan sebagai “lagu kebangsaan” Korea Bersatu, tapi Korea Utara tentu saja tidak mau menyebutnya sebagai Seoul Arirang karena Seoul adalah ibukota Korea Selatan.
Meski banyak orang Korea, seperti catatan Euny Hong dalam Korean Cool (2016), tidak mengetahui secara pasti kapan “Arirang” pertama kali lahir, tapi ada beberapa versi yang mencoba menerangkan asal-usul lagu ini.
Versi yang paling tua menyebutkan bahwa “Arirang” adalah sebuah puisi kuno yang ditulis untuk memuji keutamaan Alyeong, istri pendiri kerajaan Silla, Park Hyeokeose, yang berkuasa dari 57 SM-4 M.
Sementara menurut Keith Howard dalam Preserving Korean Music: Intangible Cultural Properties as Icons of Identity (2006), “Arirang” tercatat pertama kali dalam sebuah manuskrip tua dari 1756 M.
Ada pula yang mengatakan bahwa “Arirang” berkaitan dengan proses pemulihan Istana Gyeongbok selama pemerintahan Heungseon Daewongun (1820-1898) pada 1860-an. Menurut versi ini, “Arirang” diambil dari bahasa Cina “Airang” yang berarti “Aku meninggalkan kekasihku”. Makna ini merujuk pada kesedihan rakyat jelata dari seluruh negeri saat mereka berpisah dengan istri dan kekasihnya karena dibawa ke Seoul untuk mengerjakan proyek pembangunan kembali Istana Gyeongbok di bawah pemerintahan Heungseon Daewongun.
Dalam versi lain, “Arirang” benar-benar menjadi sangat populer dan dicintai rakyat Korea pada abad ke-19. Saat itu, mereka berada di bawah pemerintahan dinasti Joseon yang didirikan oleh Yi Seong-gye pada 1392. Dinasti ini berkuasa sampai 1897.
Begitu pula saat Korea diduduki Jepang pada 1910-1945. “Arirang” yang liris menjadi lagu perlawanan terhadap penjajah. Sampai sekarang, menurut para ahli, “Arirang” mempunyai 4.000 variasi dari 60 macam.
“Fakta bahwa ada begitu banyak dongeng tentang asal-usul ‘Arirang’ menunjukkan bahwa lagu rakyat tradisional ini merangkul dengan baik kegembiraan dan kesedihan rakyat Korea,” tutur Lee Dong-bok, Kepala Pusat Gugak Nasional, lembaga yang dibentuk untuk melestarikan dan mengembangkan musik dan tarian tradisional Korea.
Editor: Ivan Aulia Ahsan