tirto.id - Jika Anda orang Indonesia, ada kemungkinan Anda bakal dirasuki amarah dan disusupi harimau siluman. Lalu dibikin gelap mata dan berubah menjadi penjagal kesetanan ringan tangan. Begitu pun jika Anda dilahirkan sebagai orang Korea, Anda bakal diwarisi semacam kemarahan campur melankolia terpendam tak terjelaskan. Kemarahan yang mengakar ini, kalau kadarnya kelewat batas, bakal mendatangkan maut.
Secara etimologis dan patofisiologis, hal ini bukan mengada-ada. Tapi kasusnya nyata. Kemarahan kultural tadi bahkan masuk dalam daftar edisi keempat Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV). Kedua kemarahan itu, yakni "amuk" dan "hwabyeong", dikategorikan sebagai culture-bound syndrome oleh American Psychiatric Association.
Culture-bound syndrome, atau sindrom budaya-terikat, merupakan kombinasi gejala psikiatrik dan somatik yang dianggap sebagai penyakit yang dapat dikenali hanya di dalam masyarakat atau budaya tertentu. Biasanya tidak ada perubahan biokimia atau struktural yang objektif dari fungsi atau organ tubuh penderita, dan penyakit ini tidak dikenali dalam budaya lain.
- Baca juga: Serial Artikel tentang Kesehatan Jiwa
Istilah sindrom budaya-terikat ini masih diperdebatkan karena mencerminkan perbedaan pendapat antara sisi antropologis dan psikiatris. Antropolog memiliki kecenderungan menekankan dimensi budaya (berikut relativismenya) terkait gejala-gejala, sementara psikiater lebih memusatkan perhatian pada dimensi universal dan neuropsikologisnya. Guarnaccia & Rogler (1999) berusaha menengahi dan berpendapat bahwa sindrom budaya-terikat ini memiliki integritas kultural yang cukup kuat untuk diperlakukan sebagai objek penelitian independen.
Bagaimana pun, antara "amuk" dan "hwabyoung" juga sekaligus mengencingi ilmu pasti yang belum banyak menjawab, dalam kerangka ilmiah, beragam persoalan dan pola perilaku nyeleneh manusia. Kedua gejala kemarahan kultural ini pula yang menjadi premis bagi dua novel yang masuk nominasi Man Booker Prize 2016: Lelaki Harimau dan The Vegetarian.
Amuk: Gejala Psikopat Berkat Harimau Siluman
Deskripsi dari Barat paling awal soal gejala ini muncul dalam jurnal Kapten James Cook, seorang penjelajah Inggris, yang melihat amuk secara langsung pada 1770. Cook menulis tentang orang-orang yang berperilaku tidak waras dan brutal, tanpa alasan dan "membunuhi dan membuntungi penduduk desa dan hewan-hewan secara serampangan".
Tak lama setelah laporan Cook, peneliti-peneliti antropologis dan psikiatris mengamati amuk pada suku primitif yang berada di Filipina, Laos, Papua Nugini, dan Puerto Rico. Pengamatan ini memperkuat keyakinan bahwa faktor budaya yang unik pada suku primitif menyebabkan amuk, membuat budaya menjadi penjelas yang diterima sebagai patogenesisnya. Pada 1849, amuk secara resmi diklasifikasikan sebagai kondisi kejiwaan.
Sebuah penjelasan yang diterima secara luas berkaitan dengan amuk adalah keterkaitannya dengan kehormatan laki-laki. Amuk menjadi cara melarikan diri dari dunia, karena pelaku biasanya sudah berencana untuk terbunuh. Tujuan menjadi beringas dan membunuhi orang adalah untuk membangun kembali reputasi seseorang sebagai orang yang harus ditakuti dan dihormati.
Dalam perspektif keilmuan kontemporer, DSM-IV memecah amuk menjadi dua kategori resmi. Pertama, amuk yang tercipta dari depresi dan kesedihan akibat kehilangan sesuatu; kematian pasangan atau orang yang dicintai, perceraian, kehilangan pekerjaan, uang, jabatan, dan sebagainya. Kategori pertama ini yang umum terjadi: mengamuk.
Amuk bentuk kedua lebih jarang, dihubungkan dengan masalah mental berupa depresi berat atau gangguan mood lainnya. Amuk diyakini berasal dari kemarahan, penghinaan, atau dendam terhadap seseorang, masyarakat, atau objek karena berbagai alasan. Amuk sering dikaitkan dengan psikosis, gangguan kepribadian, gangguan bipolar, dan delusi.
Novel Eka Kurniawan yang terinspirasi kejadian di Pangandaran mengambil gejala ini. Dalam Lelaki Harimau, Margio tiba-tiba berani menghabisi seorang bandot culas. Pembunuhan yang benar-benar brutal. Motifnya karena yang dibunuhnya seorang yang telah meniduri ibunya, namun bukan sebatas itu.
- Baca juga: Eka Kurniawan di Mata Pembaca Indonesia
Margio sendiri adalah pemburu terampil yang baik dan sopan, namun memiliki sesuatu di dalam dirinya. Suatu amarah terpendam, yang bukan hanya dihasilkan dari tekanan kondisi ekonomi dan episode kekerasan yang dilancarkan ayahnya, yang berasal dari sesuatu yang di luar logika.
“Ada harimau di dalam tubuhku,” belanya. Harimau betina seputih angsa sebengis ajak.
Di wilayah kebudayaan Melayu, amuk diyakini berakar pada kepercayaan spiritual yang dalam. Amuk dipercaya disebabkan hantu belian, yang merupakan roh harimau jahat yang masuk ke tubuh seseorang dan menyebabkan tindakan keji tersebut. Selain jadi bengis, seseorang yang terkena amuk akan lebih kuat dan kebal, juga munculnya sikap berani mati.
Dalam perbandingan historis dan lintas budaya, amuk sering juga dikaitkan dengan militer. Amuk bisa berperan mengubah kekalahan yang tak terelakkan menjadi hiruk-pikuk kekerasan yang sangat mengejutkan musuh. Sehingga mereka dapat menghasilkan kemenangan, atau setidaknya memastikan mendapat kematian yang terhormat.
Contohnya adalah saat Pertempuran Bukit Chandu di Singapura pada Perang Dunia II. Ketika jumlah tentara resimen Melayu cuma 41, yang dipimpin oleh Adnan Saidi, berusaha melawan 13.000 tentara Jepang yang menginvasi. Mereka terus melanjutkan pertarungan dengan hanya bersenjata pisau dan bayonet selama tiga hari sebelum akhirnya dikalahkan.
Hwabyeong, Han dan Kemarahan Kolektif Orang Korea
Korea telah mengalami berbagai peristiwa pahit dalam lima ribu tahun. Semenanjung ini telah diinvasi empat ratus kali. Hasilnya kemarahan yang spesifik secara kultural, yang oleh orang Korea disebut "han". Hanya orang Korea yang punya "han", yang muncul dari fakta bahwa alam semesta tidak akan pernah bisa melunasi semacam utang bagi bangsa Korea.
“Han hanya terjadi ketika kita tidak bisa melampiaskan dendam dengan sesuai, ketika pembalasan dendam kita gagal,” ujar Park Chan-wook sutradara dari Oldboy (2003) dan The Handmaiden (2016).
Para cendekiawan menyebut "han" sebagai rasa kepahitan yang mencakup segala. Campuran kecemasan, daya tahan dan kerinduan untuk membalas dendam yang menguji jiwa seseorang. Sebuah kondisi yang ditandai kesedihan yang dalam dan rasa ketidaklengkapan yang dapat berakibat fatal.
Mati karena "han" inilah yang disebut hwabyeong. Keduanya terkait rasa ketidakadilan yang tak terselesaikan, yang timbul dari ketegangan dalam masyarakat Korea sebagai akibat penganiayaan dan restriksi sosial.
Gejala hwabyeong berkisar dari depresi dan insomnia hingga pikiran yang penuh kebencian. Sementara penderita dapat mengalami ledakan amarah dahsyat, sindrom ini biasanya bermanifestasi secara somatik sebagai respons terhadap akumulasi kemarahan yang ditekan.
- Baca juga: artikel-artikel tentang budaya pop Korea
"Han" tak pernah berakhir. Ini bukan sekadar dendam biasa. Juga tak bisa diterjemahkan. Penyair, novelis dan pembuat film Korea telah berusaha menangkap konsep ini. "Han" memiliki sejumlah makna dalam bahasa Korea; "Han" adalah nama keluarga yang umum dan nama sebuah sungai besar yang melewati Seoul. Tapi "han" yang ini benar-benar sulit diterjemahkan dan tak bisa dihayati orang non-Korea.
Selain Chan-wook lewat film-filmnya yang bertema dendam yang menghadirkan eksternalisasi brutal dari hwabyeong dan "han", ada juga penulis Han Kang. Novel The Vegetarian mengikuti akibat mengerikan dari keputusan Yeong-hye untuk berhenti makan daging. Keputusan absurd seorang ibu rumah tangga ini dapat dibaca sebagai usaha seorang wanita untuk mereklamasi tubuh di bawah sistem konservatif dan patriarkis.
Namun Yeong-hye bukanlah satu-satunya karakter yang berjuang dalam "han". Adik perempuannya "menyerap semua penderitaannya di dalam dirinya, jauh ke dalam sumsum tulangnya", "tiba-tiba saja mendapati dirinya ingin menikam diri tepat di mata dengan sumpitnya". Sementara ipar laki-lakinya, yang seorang seniman, khayalannya juga merugikan dirinya sendiri: "Dia ingin memukul pipinya sendiri sampai darahnya merembesi jenggot hitamnya."
"Han" berkebalikan dengan karma. Karma bisa berkurang dari satu kehidupan ke kehidupan lain, sedangkan "han" tidak. Namun, orang Korea tidak menganggap "han" sebagai kekurangan. Tak ada dalam sifat mereka, keinginan untuk mengubah hal ini dalam diri mereka.
Bahkan banyak orang Korea menganggap kesuksesan Korea hari ini berasal dari "han", tulis Euny Hong dalam The Birth of Korean Cool. Selama melakukan wawancara untuk bukunya tersebut, Hong selalu mendapati kemunculan istilah "han". Ketika ia bertanya kenapa drama Korea mengandung begitu banyak kesedihan pada pencipta seri popular Winter Sonata, dan kenapa lagu-lagu balada Korea begitu menyedihkan pada seorang eksekutif musik, Hong mendapat jawaban serupa: “Orang-orang Korea memiliki banyak 'han'.”
Lebih jauh, cerita tentang han yang dimiliki Korea terhadap Jepang merupakan penjelasan terbaik dan paling ringkas soal kesuksesan Korea Selatan hari ini, ulas Bloomberg Businessweek terhadap buku Hong tadi.
Sepintas antara "amuk" dan "han" punya kesamaan mendasar: inferiority complex. Sekaligus amarah yang jika dikelola dengan benar bisa menjadi energi penggerak. Amuk yang dimiliki pasukan Adnan Saidi tadi sama kasusnya seperti "han" bangsa Korea terhadap Jepang.
Penulis: Arif Abdurahman
Editor: Zen RS