tirto.id - Buka puasa tanpa arem-arem yang dilengkapi gorengan dan sambal kacang bukanlah buka puasa buat saya.
Eh, saya memang tidak menjalani ibadah puasa. Namun karena keluarga besar dan lingkungan kerja dulu mayoritas Muslim, saya tak pernah absen ikutan buka puasa. Dan pada saat begini, kehadiran arem-arem terasa istimewa buat saya.
Kenapa istimewa?
Pertama mungkin karena perut dalam kondisi sangat lapar. Ya, meski tidak puasa, saya tidak mungkin juga makan di depan teman-teman di kantor kan! Sesi ngemil di meja kerja otomatis berkurang dan sorenya lapar mencapai puncak. Jadilah saya antusias bergabung dengan teman-teman yang menantikan bedug buka puasa berkumandang. Makan bersama terasa lebih gimana seru dan istimewa.
Kedua, pada masa ini arem-arem selalu dihadirkan bersama sambal kacang dan bakwan. Ini unik, karena kalau hari biasa, saya seringnya menjumpai arem-arem ‘jomblo’. Kalaupun ada pasangan gorengan di dalam kotak snack, itu bukanlah bakwan. Seringnya justru tahu baso, risoles, atau sosis solo.
Sebenarnya bisa saja di hari-hari biasa mencari arem-arem yang dilengkapi sambal kacang. Kalau di Jakarta dan sekitarnya, cukup datang ke warung-warung nasi uduk atau penyedia menu sarapan di berbagai sudut jalan. Tapi sungguh, beda rasanya.
Pada bulan puasa, arem-arem yang disusun rapi diantara aneka takjil atau bahkan berbagai makanan berat lainnya, selalu menggoda saya. Ralat, bukan cuma saya sepertinya. Terbukti, arem-arem dan gorengan serta sambal kacang ini selalu ludes duluan.
Begini cara kami menikmatinya: buka daun pembungkus arem-arem, letakkan pada piring kecil. Selanjutnya ambil bakwan lalu potong-potong di sekitar arem-arem. Langkah terakhir, siram keduanya dengan sambal kacang, dan siap disantap. Aduh, itu nikmat sekali! Mengenyangkan pula. Bagi teman-teman yang berpuasa, cukup untuk mengganjal perut selama salat maghrib, bahkan mungkin hingga tarawih, sebelum kemudian dilanjut dengan makan besar.
Oncom, Sambal Goreng, atau Tumis Sayuran
Arem-arem (sebutan di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya), atau lontong isi (sebutan di Jakarta dan sekitarnya), adalah segulung nasi berisi aneka sayur atau lauk yang dibungkus daun pisang. Isinya bisa berbeda-beda.
Seperti namanya di Jawa, arem-arem konon berasal dari kata ‘marem’ atau puas. Merujuk pada sifatnya yang mengenyangkan. Ini salah satu alasan kenapa bentuk arem-arem tak pernah kecil dan langsing. Meski bentuknya sama dengan lontong isi, lontong isi di Jakarta memiliki lebih banyak variasi isinya. Ada yang berisi sambal goreng atau tumisan sayur seperti di Jawa Tengah, namun banyak juga yang diisi olahan oncom.
Variasi ini bisa jadi salah satu trik pemasaran. Karena di Jakarta dan sekitarnya banyak warga rantau dari Jawa Tengah yang sudah akrab dengan arem-arem isi tumisan sayur atau sambal goreng. Sementara masyarakat setempat yang sebagian besar berdarah Betawi, lebih familiar dengan lontong isi oncom.
Semacam kearifan lokal juga mungkin ya? Lontong berisi oncom berlimpah di Jakarta, Jawa Barat, dan sekitarnya, tapi tak mudah ditemukan di Jawa Tengah.
Di kampung halaman saya, para ibu selalu membuat bekal arem-arem jika ingin bepergian jauh. Untuk bekal ziarah atau menemani anak piknik, misalnya. Atau jika ada acara tertentu seperti kerja bakti maupun musyawarah desa. Arem-arem menjadi pilihan karena mengenyangkan dan terhitung praktis.
Untuk isian, umumnya mereka memasak tumisan wortel dan kentang. Terkadang ditambah hati dan ampela atau potongan daging ayam, jadi semacam sambal goreng. Tumisan ini diletakkan di atas nasi aron (setengah matang) dalam selembar daun pisang, lalu ditutup dengan nasi lagi. Supaya bulat, daun pisang lantas digulung dan dirapatkan dengan biting (potongan lidi). Seiring waktu dan perkembangan zaman, sebagian orang merapatkannya dengan stapler karena lebih praktis dan mudah disiapkan.
Nah, setelah kemasan daun rapat barulah dikukus untuk mematangkan dan memadatkan nasi di dalamnya. Tidak selama memasak lontong tanpa isi, mengukus arem-arem hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit hingga 1 jam, tergantung tingkat kepadatan yang diinginkan. Setelah matang, angkat arem-arem dan siap dibawa dalam perjalanan. Praktis, karena tak perlu membawa peralatan lain seperti piring dan sendok.
Lebih Nikmat dengan Pendamping
Jika di desa saya arem-arem adalah penganan spesial untuk bekal perjalanan atau suguhan untuk acara tertentu, di Jakarta arem-arem bisa ditemukan setiap hari di berbagai tempat. Mulai dari penjual nasi uduk, penjaja kudapan atau jajan pasar, hingga tenongan.
Arem-arem juga kerap hadir dalam kotak snack berbagai acara. Mulai dari seminar, pertemuan orang tua/wali murid di sekolah, pengajian, arisan dan sebagainya. Arem-arem luwes berbaur dengan aneka makanan manis dan gurih lainnya.
Saya sangat senang jika dalam sebuah acara pagi hari dibagikan kotak snack yang berisi arem-arem, karena saya sering melewatkan sarapan jika menghadiri acara pagi. Lebih gembira lagi kalau ditambahkan dengan gorengan seperti tahu baso, lunpia, sosis solo, atau makanan gurih lainnya.
Agak menghayal rasanya kalau mengharapkan bakwan. Sebab gorengan satu ini seperti mendapat stigma kurang layak untuk masuk dalam sebuah kotak snack. Kecuali bakwan udang Surabaya yang padat itu, mungkin.
Bagi saya, apapun wujudnya, gorengan yang bercita rasa gurih sangat pas menjadi pendamping arem-arem. Karena meski arem-arem telah diisi lauk, rasanya kurang nikmat jika disantap begitu saja. Ia tetap jadi lebih lengkap jika ada pendamping --dan sebisa mungkin cocolan berupa sambal kacang.
Editor: Nuran Wibisono