tirto.id - Serangan terhadap dua fasilitas minyak utama milik Saudi Aramco yang dilakukan kelompok militan Houthi nyatanya tak mengurungkan niat perusahaan tersebut untuk merealisasikan penawaran saham secara perdana ke publik—atau dikenal dengan istilah Initial Public Offering (IPO).
Sebagaimana diberitakan Bloomberg, rencana IPO Aramco dimulai pada 17 November 2019. Saham yang dijual yakni satu sampai dua persen. IPO tersebut diprediksi bakal menjadi yang terbesar sepanjang sejarah, dengan total uang yang dikumpulkan sebanyak $40 sampai $45 miliar, mengalahkan capaian Alibaba pada 2015 ($25 miliar). Pihak Kerajaan Saudi meyakini valuasi Aramco setelah IPO bisa mencapai $1,6 hingga $1,8 triliun.
Dalam sembilan bulan pertama 2019, Aramco mengumpulkan laba bersih senilai $68,2 miliar—menurun ketimbang tahun lalu ($83,1 miliar). Hal yang sama juga terjadi pada pendapatan keseluruhan mereka tahun ini yang "hanya" berkisar $217 miliar—selisih $16 miliar dari 2018. Meski begitu, pendapatan Aramco masih lebih besar daripada pendapatan gabungan antara Apple, Google, dan Exxon.
“Hari ini menandakan tonggak penting dalam sejarah perusahaan dan kemajuan penting menuju pencapaian Visi Saudi 2030, sebuah cetak biru kerajaan untuk diversifikasi ekonomi yang berkelanjutan,” tegas Yasir al-Rumayyan, Ketua Saudi Aramco, kepada The Guardian.
Perusahaan yang Mengelola Negara
Kisah kebesaran Aramco bermula dari penjelajahan yang ditempuh Standar Oil, perusahaan minyak yang dimiliki klan Rockefeller, pada 1938. Eksplorasi itu bisa terjadi berkat kesepakatan konsesi yang diteken antara Arab Saudi dan SOCAL.
Hasilnya: ditemukan ladang minyak terbesar yang berlokasi di Ghawar. Pengeboran pun segera dilakukan. Pada 1949, minyak mentah yang diproduksi mencapai 500 ribu barel per hari.
Perlahan, Aramco menancapkan kekuatannya. Sebuah pipa sepanjang lebih dari seribu kilometer bernama Trans-Arabian (Tapline) dibangun guna menunjang kinerja perusahaan. Pipa ini menjadi yang terpanjang di dunia, menghubungkan timur Arab Saudi dengan Laut Mediterania.
Memasuki warsa 1950-an, perusahaan menemukan ladang minyak lepas pantai terbesar di dunia, Safaniyah. Hal ini, tak pelak, berpengaruh pada kinerja mereka: produksi minyak mentah kumulatif menyentuh 5 miliar barel (1962).
Dua dekade berselang, 1973, pemerintah Saudi memutuskan membeli 25 persen saham di Aramco. Angkanya terus meningkat sampai di titik 100 persen pada 1980. Perusahaan tak lagi bernama Aramco, melainkan “Saudi Aramco,” dengan Ali Al-Naimi ditunjuk sebagai Presiden Aramco sekaligus CEO (1984 dan 1988).
Sejak itu kekuatan Aramco kian tak dapat dibendung. Mereka menancapkan investasinya di berbagai penjuru dunia dan lintas perusahaan: dari Texaco (AS), S-Oil (Korea Selatan), hingga Petron Corporation (Filipina). Bahkan, dua tahun lalu, Aramco menjadi pemilik tunggal kilang minyak mentah terbesar di Amerika Serikat yang berlokasi di Port Arthur, Texas.
Cadangan minyak Aramco, pada 2017, mencapai 260,2 miliar barel—lebih besar dari cadangan gabungan Exxon, Chevron, British Proteleum, Shell, dan Total. Cadangan tersebut diperkirakan awet sampai 54 tahun ke depan.
Tahun lalu, produksi minyak mentah Aramco mencapai 10,3 juta barel per hari, yang berimbas pada rendahnya harga minyak—sekitar $2,80 per barel. Hampir tiga perempat ekspor minyak mentah Aramco, 5,2 juta barel per hari, dikirim ke wilayah Asia: Cina, India, Korea Selatan, Jepang, serta Taiwan. Sedangkan untuk wilayah Amerika Utara dan Eropa, Aramco mengekspor masing-masing satu juta barel per hari dan 864 ribu barel per hari (2018).
Statistik tersebut menjadikan Aramco sebagai penopang kekayaan Arab Saudi. Sekitar 90 persen pendapatan pemerintah berasal dari minyak. Tak hanya itu, selama beberapa dekade terakhir, posisi Aramco juga membuat Saudi terlibat dalam penentuan harga minyak global.
“Ini bukan perusahaan biasa. Ini adalah perusahaan yang mengelola sebuah negara yang punya posisi penting di kawasan Timur Tengah,” ungkap Osama bin Javaid dari Al Jazeera. “Saudi Aramco tak sekadar berada di jantung politik, tapi juga ekonomi dan kehidupan sosial di Arab Saudi.”
Demi Visi 2030
Tiga tahun silam, langkah penting diambil Kerajaan Saudi. Sang Putra Mahkota, Mohammed bin Salman (MBS), menginginkan Saudi lepas ketergantungan dari minyak dan berfokus pada sektor industri, teknologi, sampai pariwisata. Keinginan MBS kemudian dikenal sebagai “Visi 2030.”
“Jika Aramco tidak IPO, itu artinya kami membutuhkan waktu 40-50 tahun untuk mengembangkan sektor pertambangan. Kami akan membutuhkan waktu 40 tahun hingga kami mengembangkan produk lokal sampai layanan logistik. Ini sama seperti kami menyia-nyiakan 40 tahun di masa lalu ketika mencoba mengembangkan sektor-sektor ini,” ungkap MBS dalam wawancara dengan Al Arabiya.
Sejak ditunjuk sebagai penerus kekuasaan Raja Salman, MBS langsung membangun kekuatan politiknya. Arab Saudi, dalam imajinasinya, harus menjadi negara maju. Beberapa langkah yang telah diambil antara lain menyingkirkan ulama-ulama konservatif yang dinilai kolot terhadap perubahan, memberi hak yang setara bagi perempuan (mengemudi), sampai memutuskan untuk mengurangi ketergantungan negara akan minyak.
Keputusan Aramco untuk melantai di bursa saham tak bisa dilepaskan dari faktor uang. MBS sadar ia perlu modal yang tak sedikit guna merealisasikan visinya dan ‘menjual’ saham Aramco dapat jadi jalan keluar itu semua. IPO Aramco, pendek kata, akan memberikan kekuatan politik yang cukup agar tujuannya tercapai.
Namun demikian, upaya ke sana tak mudah. Steven Cook, dalam “Mohammed bin Salman Is Having a Fire Sale of His Political Power” yang terbit di Foreign Policy (2019), menjelaskan bahwa IPO Aramco berisiko untuk gagal—tidak sesuai target.
Pertama, tulis Cook, IPO dilakukan di akhir tahun, yang dinilai bukan waktu yang tepat. Pasalnya, mayoritas investor maupun perusahaan internasional sudah tutup buku dan enggan mengambil risiko dengan membeli saham, sekalipun saham tersebut berasal dari perusahaan minyak terbesar di dunia. Kedua, IPO hanya berfokus untuk penawaran domestik sehingga kurang menarik minat dari pelaku bisnis internasional.
Terakhir, IPO diambil ketika kondisi geopolitik di Timur Tengah sedang tidak kondusif—konflik dengan Iran sampai pertempuran di Yaman. Ketidakstabilan tersebut tentu saja meninggalkan kegelisahan di benak para (calon) investor. Terlebih, fasilitas minyak Aramco baru saja kena serangan drone.
Kemungkinan IPO tak memperoleh hasil sesuai perkiraan juga disebabkan oleh perubahan iklim. Dalam laporannya, The Guardian menyebut bahwa tidak ada perusahaan di era kiwari yang punya jejak karbon lebih besar ketimbang Aramco. Aramco, berdasarkan perhitungan yang ada, menyumbang 59 miliar ton karbondioksida sejak 1965—sepertiga lebih banyak dari para pesaingnya.
Status tersebut seketika menjadi ganjalan bagi para calon pembeli. Di tengah tekanan kuat untuk merawat bumi, memberikan suntikan uang kepada perusahaan yang tak ramah lingkungan bisa jadi blunder tersendiri. Oktober silam, sepuluh LSM lingkungan beserta kepala eksekutif dari bank ternama—HSBC sampai Goldman Sachs—menandatangani kesepakatan yang berisi desakan agar tidak turut berpartisipasi dalam IPO Aramco.
Kondisi kian buruk manakala citra Saudi yang lebih dulu tercoreng akibat pembunuhan jurnalis The Washington Post, Jamal Khashoggi. Kuat dugaan, Khashoggi dibunuh dan dimutilasi orang-orang Saudi di Turki. Peristiwa itu membuat reputasi Saudi—atau MBS—ambyar. Mereka dianggap sebagai rezim yang brutal oleh dunia internasional.
Dalam “Privatization in Saudi Arabia: Vision 2030 Ready to Sell” (2018), Karen Young menulis IPO tak serta merta membantu transformasi perekonomian Arab Saudi yang selama ini ditopang oleh ketergantungan akan minyak. Dalam jangka waktu pendek, masalah tetap akan muncul seperti, misalnya, kurangnya lapangan pekerjaan. Bila pemerintah Saudi tak mampu mengatasi kondisi tersebut, tekanan dari masyarakat dipastikan akan kuat dan IPO hanya akan jadi pepesan kosong.
IPO Aramco, terang Karen, tidak bisa dipungkiri telah menyilaukan media dengan segala potensi keuntungan yang kelak diperoleh. Akan tetapi, tantangan nyata bagi pemerintah Saudi adalah bagaimana menciptakan lingkungan maupun regulasi keuangan yang proporsional agar dapat menyambut modal asing dengan baik.
Tak sebatas itu, pemerintah Saudi juga perlu lebih bekerja secara transparan. Pembangunan sekaligus ambisi Saudi, yang wajahnya dapat dilihat lewat Visi 2030, hanya akan jadi formalitas belaka selama tak dibarengi keterbukaan. Terlebih sebelumnya ada Kasus Khashoggi yang mencoreng reputasi Saudi. Kesuksesan IPO Aramco ini pun sejatinya juga selalu dibayangi kegagalan.
Maka pertanyaannya: Siapkah MBS jika kembali mendapat malu?
Editor: Eddward S Kennedy