Menuju konten utama
Kasus George Floyd

Apakah Larangan Aksi Antirasisme Tetap Berlaku di Olimpiade Tokyo?

Kasus kematian George Floyd telah memicu protes antirasisme besar-besaran di AS dan juga dunia, termasuk oleh para atlet. Apakah IOC masih akan melarang aksi antirasisme di Olimpiade Tokyo? 

Apakah Larangan Aksi Antirasisme Tetap Berlaku di Olimpiade Tokyo?
Seorang demonstran mengangkat tangannya saat protes atas kematian George Floyd yang meninggal 25 Mei setelah ia ditahan oleh polisi Minneapolis, Rabu, 3 Juni 2020, di pusat kota Los Angeles. (Foto AP / Marcio Jose Sanchez)

tirto.id - Komite Olimpiade Internasional (IOC) melarang atlet mengekspresikan protes mereka, terkait isu politik, agama, maupun rasial di ajang olimpiade.

Oleh karena itu, larangan tersebut juga berlaku bagi atlet yang berniat mengangkat isu soal kasus kematian George Floyd, seorang warga kulit hitam yang tewas akibat kebrutalan polisi di AS, saat Olimpiade Tokyo 2021 mendatang.

Meski kasus George Floyd memantik aksi warga Amerika Serikat bahkan dunia dalam menentang rasisme, tetap saja isu ini tak diperkenankan masuk dalam ranah Olimpiade Tokyo tahun depan.

Siapa pun yang berniat membawa isu kematian George Floyd ke ajang olahraga multievent empat tahunan itu, bakal terbentur dengan aturan nomor 50 Olympic Charter (Piagam Olimpiade) yang salah satunya mengatakan larangan aksi atau propaganda terkait isu rasial.

"Tidak ada satu pun aksi demonstrasi terkait isu politik, isu agama, atau isu rasial yang diizinkan di seluruh tempat atau area penyelenggaraan Olimpiade," tulis peraturan tersebut.

Sebelumnya, pada Januari 2020 IOC juga mengeluarkan pedoman yang melarang aksi protes yang diwujudkan melaui gestur tubuh, temasuk gerakan berlutut atau yang lainnya.

Seperti diketahui, salah satu wujud protes mengenai kasus George Floyd kerap ditampilkan dengan gestur berlutut. Atlet yang kedapatan tak mengindahkan peraturan bakal dikenai sanksi sesuai kasus pelanggarannya.

Namun demikian, Reuters mengabarkan bahwa isu gerakan anti-rasisme diperkirakan bakal turut dibahas dalam pertemuan Dewan Eksekutif IOC pada hari Rabu (10/6/2020).

Protes yang disuarakan para atlet usai kasus kematian George Floyd memang telah menyebar luas ke seluruh dunia.

Federasi Sepakbola Dunia (FIFA) yang sebelumnya sama sekali tidak memberikan toleransi terkait isu di luar lapangan hijau, belakangan mulai melunak dengan meminta penyelenggara liga agar lebih mengutamakan “akal sehat” terkait isu George Floyd.

Sementara itu, Komisaris Liga Nasional American Football, Roger Goodell, mengakui NFL sempat membikin kesalahan karena tidak memperhatikan isu yang disuarakan para pemain.

Hal itu terjadi pada 2016 silam, saat seorang pemain NFL, Colin Kaepernick, menyampaikan protes anti-rasisme dengan cara berlutut ketika momen lagu kebangsaan Amerika Serikat.

Selepas itu, Goodell menyerukan agar pemain dapat menyampaikan aspirasi mereka lewat aksi protes yang damai.

Dalam sejarah, aksi protes oleh atlet di ajang Olimpiade sempat terjadi pada edisi 1968. Kala itu sprinter berkulit hitam asal Amerika Serikat, Tommie Smith dan John Carlos, mengangkat sarung tinju hitam di podium sebagai ekspresi menentang rasisme.

Sementara pada Olimpiade 2016, pelari marathon asal Ethiopia, Feyisa Lilesa, menyilangkan kedua tangan saat menyentuh garis finish sebagai protes atas penggusuran lahan pertanian milik suku Oromo.

Baca juga artikel terkait OLIMPIADE atau tulisan lainnya dari Oryza Aditama

tirto.id - Olahraga
Kontributor: Oryza Aditama
Penulis: Oryza Aditama
Editor: Addi M Idhom