tirto.id - Capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin melakukan sesuatu yang sepertinya belum pernah dilakukan politikus manapun sepanjang sejarah Indonesia. Mereka memanfaatkan teknologi hologram untuk berkampanye. Ini pertama kali ditampilkan di Lebak, Banten, Senin malam, 25 Maret 2019.
Hologram itu menampakkan wujud Jokowi, juga Ma'ruf. Jokowi pakai kemeja putih dan celana jeans, sementara Ma'ruf sarungan. Keduanya kemudian berpidato. Suaranya keluar lewat perangkat.
Hologram Jokowi kemudian mengajak warga untuk melawan fitnah dan hoaks yang beredar luas menyerang dirinya.
“Saya tegaskan, semua itu fitnah, bohong. Tidak usah dipercaya. Kita harus lawan fitnah-fitnah itu. Jelaskan kepada yang sudah termakan fitnah. Tegur dan ingatkan yang suka menyebar fitnah. Kalau tetap ngotot, laporkan saja ke polisi,” ujar hologram Jokowi dalam video yang dikirimkan tim medianya.
Sedangkan hologram cawapres Ma'aruf Amin bercerita soal masyarakat yang semakin terpolarisasi karena perbedaan pilihan politik.
"Islam hanya jadi jualan politik, ayat Alquran dipaksa dengan kepentingan politik, dalil-dalil dibuat untuk membela kepentingan politik. Orang-orang banyak menjadikan majelis taklim mimbar politik untuk menyerang."
Abdul Qodir, seorang warga Lebak yang datang menyaksikan hologram, mengaku "kagum" dengan apa yang dia saksikan karena itu adalah pengalaman baru.
"Baru kali ini saya menyaksikan video hologram semacam ini. Saya bangga. Karena baru pertama kali di Lebak baru diluncurkan. Saya kagum sekali pak," kata Qodir dalam video kiriman tim kampanye. Dia pun berharap Jokowi kembali menjadi presiden untuk periode 2019-2024 "untuk melanjutkan pembangunan."
Efektif?
Teknologi hologram, selain menunjukkan bagaimana petahana secara apik memanfaatkan kemajuan teknologi, juga dapat diartikan untuk menyiasati waktu kampanye yang pendek, sementara titik-titik yang mesti dikunjungi relatif banyak. Tapi bukan berarti masalah selesai begitu saja.
Dalam berbagai kesempatan kampanye, baik Jokowi dan Ma'ruf--juga lawannya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno--tak hanya berpidato di atas panggung. Mereka juga, berfoto, bersalaman. Ringkasnya: berinteraksi dengan masyarakat. Ini tentu tak bisa dilakukan hologram yang hanya satu arah.
Jadi pertanyaannya, apakah hologram dapat benar-benar menggantikan sosok asli keduanya, misalnya membangkitkan kedekatan emosional para pemilih?
Bagi pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Brawijaya (Unbraw), Anang Sujoko, jawabannya jelas tidak. Menurutnya masyarakat Indonesia umumnya masih mengedepankan satisfied communication atau kepuasan berkomunikasi secara langsung. Ini juga berlaku dalam momen kampanye.
"[Pengaruh hologram] tidak akan sesignifikan kalau masyarakat bersentuhan langsung [dengan kandidat]. Artinya bahwa kehadiran teknologi yang super canggih pun masih mengalami distorsi. Sehingga berbeda ketika dia bertemu langsung," ujar Anang kepada reporter Tirto, Selasa (26/3/2019).
"Bahwa interaksi sosial itu masih menjadi hal yang sangat penting bagi masyarakat kita. Hologram hanya menarik, tetapi tidak secara langsung mempengaruhi seseorang," tambahnya.
"Mempengaruhi" yang Anang maksud adalah mereka yang belum menentukan pilihan dalam Pilpres 2019. Hologram memang menarik dan bahkan mampu membuat orang-orang yang telah mantap memilih Jokowi-Ma'ruf semakin terkesan, tapi tidak bagi mereka yang belum tahu akan mencoblos siapa.
Tapi Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Raja Juli Antoni punya pendapat berbeda. Menurutnya, meski memang belum dapat diukur seberapa jauh efektivitasnya, hologram Jokowi-Ma'ruf tetap bermanfaat. Dia percaya hologram efektif mewakili Jokowi-Ma'ruf di beberapa daerah yang tak bisa dikunjungi.
"Saya kira bisa [membangun ikatan emosional] dengan kemajuan teknologi ini. Apalagi kalau orang yang tidak tahu kalau itu hologram, karena mirip sekali," kata Juli kepada reporter Tirto.
Raja Juli, yang juga politikus dari PSI, membenarkan bahwa hologram adalah taktik agar jangkauan kampanye bisa lebih luas. Dia bilang nanti hologram ini akan dipasang di truk yang disebar di 540 kabupaten di seluruh Indonesia, termasuk di basis pemilih lawan semisal Jawa Barat.
"Bahkan bisa di-breakdown sampai ke kecamatan dan desa. Nanti akan libatkan relawan-relawan. Bisa di mana saja dengan adanya teknologi," tuturnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino