Menuju konten utama

Apa yang Sebenarnya Terjadi di Balik Hari Tanpa Bayangan?

Hari tanpa bayangan bukan hari sembarangan. Fenomena itu menjadi salah satu ilham bagi manusia memahami alam semesta.

Ilustrasi hari tanpa bayangan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pada abad ke-3 SM, Erastothenes dikenal sebagai ilmuwan serba bisa. Karyanya mencakup beragam topik, mulai dari matematika, astronomi, geografi, filsafat, hingga puisi. Suatu saat, Erastothenes berambisi membuat peta dunia. Untuk itu, hal pertama yang menurutnya dia perlu tahu adalah ukuran bumi.

American Physical Journal melansir Erastothenes tahu ada sebuah sumur istimewa di Syene (kini Aswan, Mesir) dari para musafir. Setiap 21 Juni tengah hari, cahaya Matahari masuk dan menerangi seluruh lubang sumur tanpa membuat bayangan.

Laki-laki yang lahir di Shahhat (kini masuk wilayah Libya) pada sekitar 276 SM ini pun bersiasat dengan mengukur sudut proyeksi bayangan sebuah tiang di kota Alexandria pada tanggal yang sama. Alhasil, cahaya Matahari dan tiang tersebut membentuk sudut sekitar 7,2 derajat.

Alexandria terletak sekitar 800 km arah utara Syene. Jika jarak Alexandria-Syene dianggap sebagai panjang dan 7,2 derajat sebagai sudut busur, hasil perhitungan Erastothenes menyatakan keliling lingkaran Bumi sekitar 40.000 km.

Perhitungan tersebut memang kasar, akan tetapi apa yang dilakukan Erastothenes membuktikan bahwa dua informasi sederhana, waktu hari tanpa bayangan di Syene dan jarak Alexandria-Syene, bisa melahirkan pengetahuan baru yang luar biasa.

Antara melaporkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mengumumkan Matahari bakal melintas tepat di atas Kota Pontianak pada 21 Maret 2018.

Perhitungan SunCalc menyebutkan Matahari akan berada tepat di atas kepala pada pukul 11.49 WIB. Saat itu, panjang bayangan benda setinggi 1 meter di Pontianak hanya sebesar 0,1 meter. Saking pendeknya, bayangan benda-benda tegak pun seolah lenyap.

Tentu, fenomena itu tidak bisa dilewatkan begitu saja. Namun, sebelumnya menikmatinya, sebenarnya mekanisme alam apa yang terjadi di balik "hari tanpa bayangan"?

Disebabkan "Posisi" Bumi yang Miring

Matahari memang bisa melintas tepat di atas kepala orang-orang Pontianak dan Syene. Namun, peristiwa tersebut tidak terjadi berbarengan. Di Pontianak peristiwa itu terjadi pada 21 Maret, sementara di Syene terjadi pada 21 Juni. Nyatanya, tidak semua titik di Bumi berkesempatan mengalami hal serupa.

Sun Kwok dalam Our Place in the Universe (2017) menjelaskan Matahari menempuh suatu lintasan yang berbeda setiap hari. Ia tidak hanya terbit pada waktu dan ketinggian yang berbeda, tetapi juga terbit di lokasi berbeda setiap hari. Misalnya pada Mei, seorang pengamat di Pontianak bakal melihat Matahari terbit di arah timur laut. Sedangkan pada Januari, pengamat itu bakal melihat Matahari terbit di tenggara.

Itu terjadi karena dua hal. Pertama, karena Bumi berotasi pada sumbunya, Matahari tampak terbit di horizon timur dan kemudian terbenam di horizon barat. Kedua, di saat bersamaan, Bumi juga meniti lintasan elips mengelilingi Matahari. Yang membuatnya istimewa adalah sumbu rotasi Bumi miring sekitar 66,6 derajat terhadap bidang orbit Bumi mengelilingi Matahari (ekliptika) atau dengan kata lain sumbu khatulistiwa Bumi miring sekitar 23,4 derajat terhadap ekliptika.

Dengan begitu, selama enam bulan, Matahari seolah-olah berada di Bumi belahan utara. Lalu, enam bulan berikutnya ia seakan-akan berada di Bumi belahan selatan. Karena kemiringan Bumi itu pula, sinar Matahari yang diterima kedua belahan Bumi tersebut tidak merata.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/03/19/bumi-itu-bulat--mild--quita-01_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1527" alt="INFOGRAFIK HARI TANPA BAYANGAN" /

Pada 20 atau 21 Maret, Matahari berada di khatulistiwa. Peristiwa ini disebut juga ekuinoks bulan Maret. Ekuinoks berakar dari kata Latin aequus (setara) dan nox (malam). Istilah itu merujuk kesamaan panjang durasi siang dan malam yang terjadi pada hari tersebut di semua titik di Bumi.

Kemudian, ia akan bergeser perlahan ke utara hingga mencapai 23,4 derajat lintang utara pada 20 atau 21 Juni. Garis lintang itu disebut juga Tropic of Cancer dan melintasi kota Syene. Peristiwa ini juga menandai dimulainya musim panas di Bumi belahan utara dan musim dingin di Bumi belahan selatan.

Setelah itu, Matahari beranjak pergi ke selatan. Pada 20 atau 21 September, dia berada tepat di khatulistiwa. Pada peristiwa yang disebut ekuinoks bulan September tersebut, orang-orang Pontianak dan Kota Bonjol di Sumatera Barat lagi-lagi dapat menikmati "hari tanpa bayangan".

Lalu, Matahari akan bergeser perlahan ke selatan hingga mencapai 23,4 derajat lintang selatan atau yang kerap disebut Tropic of Capricorn pada 21 atau 22 Desember. Momen ini menandai dimulainya musim dingin di Bumi belahan utara dan musim panas di Bumi belahan selatan.

Kemudian, Matahari akan bergerak lagi ke utara dan mencapai ekuinoks bulan Maret. Siklus serupa pun terulang selama tahun-tahun berikutnya.

Karena gerakan Matahari ke utara mentok sampai 23,4 derajat lintang utara dan paling selatan 23,4 derajat lintang selatan, orang-orang yang tinggal di wilayah dengan lintang di luar interval itu tidak berkesempatan menikmati Matahari melintas di atas kepalanya. Wilayah itu mencakup Eropa, Amerika Utara, Afrika Selatan, serta sebagian Chili, Agentina, dan Australia.

Baca juga artikel terkait ASTRONOMI atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Mild report
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan