tirto.id - Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, Ajib Hamdani menilai, penurunan jumlah simpanan di perbankan atau dana pihak ketiga (DPK) akibat peningkatan suku bunga Bank Indonesia (BI) semakin agresif.
Untuk diketahui, pertumbuhan DPK perbankan pada Agustus 2022 sebesar 7,77 persen secara tahunan atau year on year (yoy) menjadi Rp7.608 triliun. Laju pertumbuhan ini melambat dibandingkan Juli 2022 yang tumbuh 8,59 persen yoy.
“Bahwa likuiditas akan berkurang di masyarakat sebagai efek dari peningkatan suku bunga acuan," kata dia kepada Tirto, Kamis (6/10/2022).
Ajib mengatakan kebijakan moneter dari pemerintah ini akan memberikan sentimen negatif. Terutama terhadap perputaran uang di masyarakat.
Sementara itu, Praktisi Perbankan BUMN dan Pemerhati Ekonomi, Sosial dan Ekosistem Digital, Chandra Bagus Sulistyo menilai, penurunan jumlah simpanan tabungan di perbankan karena bunga deposito ditawarkan perbankan masih relatif kecil. Sehingga nasabah mencari instrumen lain dengan imbal hasil lebih tinggi.
"Terkait penurunan tabungan simpanan di bank ini bukan karena masyarakat mengalihkan ke bank ke non-bank. Tetapi saya melihat cenderung para nasabah bunga yang ditawarkan bank ini sangat kecil," kata dia dihubungi terpisah.
Dia menuturkan sejak Bank Indonesia menyesuaikan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 4,25 persen, industri perbankan belum merespons penyesuaiannya. Perbankan dinilai justru masih menunggu momentum untuk menyesuaikan suku bunga acuan dari BI yang naik.
“Oleh karena itu, karena rendahnya rate deposito giro tabungan yang diberikan oleh perbankan, maka nasabah cenderung mencari imbal hasil yang tinggi. Dalam hal ini adalah surat berharga negara (SBN) ORI 022," jelasnya.
Menurutnya SBN ORI 022 rate-nya lebih tinggi dari pada bunga deposito. Hal itulah yang kemudian menyebabkan masyarakat lebih cenderung menempatkan dananya ke surat berharga negara.
“Ketika saat ini suku bunga acuan naik berangsur rate DPK diberikan oleh perbankan juga naik. Harapannya ini akan menarik minta para nasabah untuk kembali menempatkan dananya di perbankan," kata dia.
BI sebelumnya menyebut penurunan simpanan di bank terjadi karena perubahan preferensi penempatan dana pada aset keuangan lain yang terindikasi dari nilai kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN).
Meski ada penurunan simpanan, hasil simulasi Bank Indonesia menunjukkan bahwa ketahanan perbankan masih terjaga.
Namun, sejumlah faktor risiko, baik dari sisi kondisi makroekonomi domestik maupun gejolak eksternal, tetap perlu diwaspadai potensi dampaknya pada laju pemulihan intermediasi ke depan.
Bank Indonesia juga mencatat, permodalan perbankan tetap kuat dengan rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) Juli 2022 tetap tinggi sebesar 24,86 persen.
Seiring dengan kuatnya permodalan, risiko tetap terkendali yang tercermin dari rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) pada Juli 2022 yang tercatat 2,90 persen (bruto) dan 0,82 persen (neto).
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz