tirto.id - Romusha merupakan panggilan pekerja paksa di masa penjajahan Jepang, yakni tahun 1942 hingga 1945.
Orang yang dipekerjakan saat itu adalah masyarakat Indonesia dengan tujuan memenangkan perang Asia Timur Raya. Terdapat beberapa dampak yang diakibatkan oleh Dai Nippon ini.
Menurut L. de Jong atau Bey dalam buku Pendudukan Jepang di Indonesia: Suatu Ungkapan Berdasarkan Dokumentasi Pemerintah Hindia Belanda (1987), pihak Belanda bisa dikalahkan oleh Jepang pada 28 Februari 1942. Saat itu, anggota militer Nippon berhasil mendarat di Banten, Indramayu, dan Rembang.
Tujuan Romusha Jepang
Pendaratan mereka awalnya dipersilakan dengan hangat oleh penduduk Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Jepang berhasil mengusir Belanda, penjajah yang telah lama menjarah.
Namun, hal tersebut tidak sepemikiran dengan Jepang yang berniat meraup keuntungan dari berbagai komoditas yang ada di Indonesia.
Menurut Suwano dalam buku Romusha Daerah Istimewa Yogyakarta (1999), Jepang ingin memperoleh sumber daya manusia serta alam demi kepentingan ekonomi belaka.
Tokoh nasionalis, belum menyadari akan tujuan pendudukan Jepang saat itu. Awalnya, mereka yang dipekerjakan hanya berperan sebagai tenaga sukarela. Namun, dalam buku Ilmu Pengetahuan Sosial 3, dijelaskan bahwa Jepang menjadikan mereka pekerja tambahan paksa.
Pihak penjajah Jepang saat itu mengambil penduduk dari sejumlah desa. Seseorang yang tingkat pendidikan rendah serta tidak bersekolah menjadi santapan utama untuk dihasut.
Dampak Romusha
Secara cepat di tahun yang sama ketika Nippon datang dan mulai mengatur Indonesia, ekonomi mengalami kelumpuhan.
Dalam Sejarah Nasional Indonesia VI “Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia 1942-1970” (1993), Marwati dan Nugraha Susanto menerangkan, setelah ekonomi menurun, diubah sistemnya menganut ekonomi perang.
Kebutuhan sumber daya untuk menyokong pertempuran melawan sekutu membawa Jepang mengeluarkan berbagai penerapan yang menyiksa para Romusha.
Mulai dari anak kecil, hingga orang dewasa, diberikan tugas secara paksa untuk mengurus lahan kosong agar pangan bisa berlipat ganda.
Bukan hanya ekonomi, bahkan pada awal 1943, militer Dai Nippon yang terpojok oleh kubu musuhnya malah mengajak para petani untuk ikut serta di medan pertempuran sebagai prajurit cadangan.
Dalam Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1941-1945 (2015), Kurasawa menjelaskan, Jepang yang tidak memiliki transportasi untuk bisa menjangkau berbagai daerah di pulau Jawa, menarik penduduk Indonesia untuk membangun rel kereta.
Salah satu hasil kerja Romusha adalah jalur Saketi menuju Bayah yang digunakan ketika mengangkut barang. Selama masa pembuatannya, rel yang dijuluki “Death Railway” ini telah menelan banyak korban jiwa karena musti bekerja tanpa henti.
Lalu, ada lagi Romusha seks (Iugun Yanfu) yang diambil dari para wanita Indonesia dan beberapa negara asia lainnya.
Wanita yang telah diambil paksa oleh Jepang dalam bidang ini, akan ditugaskan untuk memuaskan nafsu para prajurit Nippon.
Mereka yang dibawa, seperti dikutip melalui tajuk “Muda Bersama Saudara Tua”, pertamanya dibawa untuk disekolahkan di Jepang. Namun, ternyata mereka malah ditempatkan di sebuah pulau, seperti kata Pram dalam Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer (2001). Di sana mereka diperkosa berulang-ulang setiap harinya.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Yandri Daniel Damaledo