Menuju konten utama

Apa Itu Mukhabarah dan Bagaimana Contohnya dalam Islam?

Mukhabarah adalah pelayanan ekonomi di bidang pertanian yang diatur dalam Islam. Simak pengertian mukhabarah beserta hukum, rukun, dan contohnya.

Apa Itu Mukhabarah dan Bagaimana Contohnya dalam Islam?
Sejumlah petani mengolah tanah menggunakan traktor di area persawahan Desa Undaan, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (18/10). Memasuki musim penghujan sejumlah petani di wilayah itu mulai mengolah lahan sawah mereka untuk memulai musim tanam padi pertama (MT1) secara serentak. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/kye/16.

tirto.id - Mukhabarah adalah salah satu bentuk kerja sama di bidang pertanian yang diatur Islam. Kerja sama ini dipraktikkan dengan sistem bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap. Dalam mukhabarah, pemilik tanah menyediakan lahan dan penggarap memberikan modal dan tenaga kerja.

Secara etimologi, kata mukhabarah berasal dari bahasa Arab yang berarti menumbuhkan. Dari segi istilah dalam syariat Islam, pengertian mukhabarah adalah kerja sama bagi hasil panen antara petani penggarap dengan pemilik lahan yang dikakukan sesuai kesepakatan kedua belah pihak, sementara benih tanaman disediakan oleh penggarap.

Menurut syariat Islam, kerja sama mukhabarah termasuk kategori tolong-menolong. Hal ini karena pemilik tanah dan penggarap saling membantu dengan menguntungkan satu sama lain. Pemilik tanah mendapatkan keuntungan dari hasil panen tanpa harus bekerja keras, sedangkan penggarap mendapatkan akses ke lahan untuk bertani.

Hukum Mukhabarah

Mukhabarah adalah pelayanan ekonomi di bidang pertanian. Hukum mukhabarah adalah mubah menurut mayoritas ulama. Jadi, hukum mukhabarah diperbolehkan dalam Islam. Hukum mubah untuk kerja sama mukhabarah ini sebagaimana hadits berikut:

Artinya: "Dari Thawus r.a, bahwa ia suka ber-mukhabarah. Umar r.a. berkata: Lalu aku katakan kepadanya: Ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi SAW telah melarang mukhabarah. Lalu Thawus berkata: Hai Umar, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: Seseorang yang memberikan manfaat kepada saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu." (HR.Muslim).

Hadits tadi menekankan nilai kedermawanan dan saling menguntungkan dalam menjalin kerja sama ekonomi. Memberikan manfaat bagi orang lain, seperti membantu mereka yang membutuhkan, dinilai lebih mulia daripada hanya mengambil manfaat dari mereka.

Menurut hadits tersebut, kerja sama bagi hasil lebih baik dibandingkan mempekerjakan sesama muslim dan memberinya upah. Dalam konteks akad mukhabarah, prinsip tadi tercermin dalam kerja sama antara pemilik lahan dan petani.

Contoh Mukhabarah

Akad mukhabarah dapat menjadi solusi bagi pemilik lahan yang tidak mampu mengelola sendiri tanahnya. Dengan kerja sama ini, pemilik lahan tetap mendapatkan keuntungan dari aktivitas pertanian, sementara penggarap mendapatkan penghasilan dari sebagian hasil panen. Contoh mukhabarah dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut:

Seorang petani memiliki kebun sayur luas, tetapi karena lanjut usia, ia tidak mampu lagi mengelola lahannya. Lantas, ia kemudian mengajak buruh tani untuk bekerja sama.

Pemilik lahan tadi menyerahkan pengelolaan kebunnya kepada buruh tani dengan sistem mukhabarah. Dalam akad mukhabarah, pemilik tanah menyediakan lahan pertanian.

Sementara itu, penggarap lahan menyediakan modal (seperti bibit, pupuk, hingga alat pertanian) beserta tenaga dan keahlian untuk mengelola kebun sayur. Dalam pandangan ulama fikih, ciri khas akad mukhabarah adalah bibit disediakan oleh penggarap.

Hasil panen dari kebun kemudian dibagi sesuai dengan kesepakatan. Misalnya, petani si pemilik lahan memperoleh 60% dari hasil panen, sedangkan penggarap mendapat 40%.

Perbedaan Muzara'ah dan Mukhabarah

Muzara'ah dan mukhabarah adalah dua bentuk kerja sama dalam bidang pertanian yang memiliki banyak kesamaan. Keduanya mirip karena muzara'ah dan mukhabarah sama-sama merupakan bentuk kerja sama bagi hasil antara pemilik tanah pertanian dengan penggarap lahan.

Perbedaan muzara'ah dan mukhabarah hanya terletak pada asal benih. Dalam muzara'ah, benih yang akan ditanam berasal dari pemilik lahan. Sementara itu, dalam mukhabarah, benih atau bibit tanaman disediakan oleh penggarap lahan.

Hal ini juga bisa dimaknai bahwa dalam muzara'ah, pemilik lahan tak hanya menyediakan tanah, tapi juga benih, pupuk, dan alat pertanian. Adapun penggarap lahan memberikan tenaga bekerja dan waktu untuk mengelola lahan pertanian.

Sebaliknya, dalam mukhabarah, penggarap lahan memberikan tenaga bekerja dan waktu sekaligus menyediakan bibit, pupuk, hingga alat pertanian. Pemilik lahan menyerahkan hak untuk pengelolaan tanah pertaniannya kepada penggarap.

Rukun Mukhabarah

Mengenai rukun mukhabarah, terdapat perbedaan pendapat antara ulama Mazhab Hanafi dan jumhur ulama.

Ulama Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa ijab dan qabul, yakni kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap mengenai bagi hasil, cukup menjadi rukun mukhabarah.

Mereka melihat akad sebagai pernyataan jelas dari pemilik tanah untuk menyerahkan lahan dengan imbalan bagi hasil, dan diteruskan dengan penerimaan atau persetujuan dari penggarap.

Sebaliknya, jumhur ulama berpandangan bahwa rukun mukhabarah ada empat, yaitu:

  • Ada pemilik tanah atau orang yang memiliki lahan tetapi tidak memiliki kemampuan atau kesempatan dalam mengelola lahannya.
  • Ada petani penggarap, orang yang memiliki kemampuan untuk mengelola lahan dan kesempatan tetapi tidak memiliki lahan.
  • Ada objek mukhabarah, yaitu manfaat lahan dan hasil kerja sama pengelolaannya.
  • Ada ijab dan kabul dalam proses kerja sama mukhabarah.

Adapun syarat sah mukhabarah adalah sebagai berikut:

  • Orang yang berakad mukhabarah harus baligh dan berakal
  • Benih harus jelas keberadaannya sehingga hasil tanaman juga jelas
  • Kondisi tanah layak ditanami
  • Batas-batas tanah harus jelas
  • Pembagian hasil panen antara kedua belah pihak harus jelas
  • Hasil panen benar-benar milik bersama orang yang berakad (tanpa unsur dari luar)
  • Pembagian hasil panen sudah ditentukan sejak awal saat berakad
  • Jangka waktu pengelolaan lahan harus dijelaskan dalam akad.

Baca juga artikel terkait EKONOMI SYARIAH atau tulisan lainnya dari Ruhma Syifwatul Jinan

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ruhma Syifwatul Jinan
Penulis: Ruhma Syifwatul Jinan
Editor: Addi M Idhom