Menuju konten utama

Apa Itu Golput dan Serangan Fajar di Pilkada 2020?

Serangan fajar adalah istilah yang dipakai untuk menyebut bentuk politik uang dalam membeli suara.

Apa Itu Golput dan Serangan Fajar di Pilkada 2020?
Ilustrasi Golput. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Golput ramai menjadi pembicaraan di media sosial jelang dan pada saat Pilkada Serentak 2020 yang tetap dilakukan meski di tengah pandemi Covid-19.

Tak sedikit orang yang memutuskan untuk tak menggunakan hak suaranya, alias golput.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, golput memiliki arti golongan putih. Fenomena golongan putih alias golput kerap terjadi menjelang penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

Golput biasa terjadi akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap politik baik dalam bentuk partai maupun kandidat pemimpin yang akan bersaing.

Secara umum, tingkat golput di era Orde Baru (1955-1997) cenderung lebih rendah dibandingkan era setelahnya, yaitu berada pada rentang 3 hingga 6 persen. Hal ini terjadi karena pemilihan pada era ini berupa pengalaman mobilisasi, bukan partisipasi.

Pada era reformasi, tingkat golput semakin memprihatinkan. Angkanya melambung hingga puncaknya pada Pileg 2009 yang mencapai 29,1 persen. Meningkatnya angka golput berarti partisipasi pemilih semakin menurun. Selain itu, ini juga mengindikasikan tingkat kepercayaan kepada proses demokrasi yang menurun.

Salah satu warga yang memutuskan untuk menjadi golput pada Pilkada 2020 ini adalah Prananda. Saat dihubungi redaksi Tirto, Prananda mengatakan tak akan menggunakan hak pilihnya karena khawatir risiko penularan Covid-19.

"Saya memutuskan golput, khawatir kena Covid dan ini cara saya melindungi keluarga," kata Prananda.

Selain Prananda, adapula Hanifa Hirmaningtias, mahasiswa asal Malang yang tak menggunakan hak pilihnya.

"Saya enggak nyoblos karena enggak bisa pulang ke Malang, lagian ini kan corona juga," ujarnya kepada redaksi Tirto.

Selain istilah golput serangan fajar juga ramai dibicarakan netizen di media sosial. Tak sedikit meme yang beredar dan menyinggung soal serangan fajar atau politik uang dalam Pilkada Serentak 2020.

Beberapa meme-meme yang ramai menjadi pembicaraan di media sosial di antaranya,

"Maaf tidak terima serangan fajar, tapi kalau maksa taruh aja di bawah keset."

"Ambil uangnya, jangan pilih orangnya, biar kapok."

"Harga diri dan harga surat suara. Jika Anda mau dibayar Rp100.000 untuk memilih calon, maka ketahuilah: Rp100 ribu dibagi 5 tahun sama dengan Rp20 ribu. Rp20 ribu dibagi 12 bulan sama dengan Rp1.666. Rp1.666 dibagi 30 hari sama dengan Rp55,5 per hari. Lebih murah dari harga sebuah permen karet."

Lantas apa sebenarnya yang dimaksud dengan serangan fajar?

Apa itu serangan fajar?

Serangan fajar adalah istilah yang dipakai untuk menyebut bentuk politik uang dalam membeli suara. Serangan fajar bisa dilakukan oleh satu atau beberapa orang dengan tujuan memenangkan calon peserta pemilihan umum. Pada umumnya, serangan fajar sering terjadi menjelang pemilihan umum dan menyasar kelompok masyarakat menengah ke bawah.

Serangan fajar sudah dikenal luas oleh para pemilih dan kontestan pemilu di Indonesia. Ia merupakan kunjungan rahasia ke pemilih yang dilakukan pada pagi hari untuk mendistribusikan uang dan kebutuhan sehari-hari sebelum masyarakat menuju tempat pemungutan suara (TPS).

Biasanya, para kontestan akan menggunakan pihak ketiga untuk mengunjungi calon pemilih di rumah mereka, tempat nongkrong atau pemilih yang sedang dalam perjalanan ke TPS. Mereka kemudian menawarkan atau memberikan sejumlah uang dengan harapan orang-orang ini akan memberikan suaranya kepada para kontestan.

Akan tetapi, serangan fajar juga bisa dilakukan oleh para tim kampanye sebelum masa kampanye, saat masa kampanye, pada masa tenang atau pun malam hari menjelang pencoblosan ke TPS.

Lantas apa yang dimaksud dengan politik uang?

Apa itu politik uang?

Seperti dikutip buku Badai Politik Uang dalam Demokrasi Lokal (2020) oleh Ahmad Hudri disebutkan, politik uang atau money politics adalah suatu upaya mempengaruhi orang lain (masyarakat) dengan menggunakan imbalan materi, atau dapat juga diartikan sebagai jual-beli suara dalam proses politik dan kekuasaan. Bisa juga diartikan sebagai tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih.

Politik uang juga bisa diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku politik orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Juga bisa diartikan sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan, hal ini bisa terjadi dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum presiden.

Pada umumnya, politik uang ini dipakai untuk menarik simpati pemilih dalam menentukan hak suaranya. Dengan demikian, politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang untuk menentukan pilihannya. Pemberian bisa dilakukan menggunakan barang dan uang.

Masih di dalam buku itu, pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menyebutkan istilah money politics sendiri masih kurang jelas. Sebab, di dalam banyak kesempatan, politik uang sering dipakai untuk merangkum seluruh praktik, mulai dari korupsi, jual beli suara sampai kriminal. Oleh sebab itu, politik uang beroperasi pada dua ranah. Akan tetapi, praktik politik uang bisa disamakan dengan uang sogok dan suap.

Pertama, terjadi di tingkat elit seperti calon Presiden, DPR, DPRD, Gubernur, Bupati atau Wali Kota yang maju dalam pemilihan umum. Sebab, setiap calon harus mengeluarkan uang lebih untuk menyewa "perahu" partai, kampanye, konsultan sampai biaya berperkara di Mahkamah Konstitusi. Kedua, politik uang yang terjadi di tingkat massa dalam bentuk jual beli suara ke pemilih.

Ada banyak strategi dalam menjalankan politik uang dalam pemilu, namun yang paling umum adalah istilah serangan fajar.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2020 atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Politik
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Agung DH