tirto.id - Mantan Presiden Myanmar, Win Myint memberikan kesaksian pertamanya setelah masa kepemimpinannya digulingkan oleh rezim junta militer pada awal Februari. Kesaksian itu ia sampaikan pada hari Selasa (12/10) lalu.
CNNmelaporkan, Win Myint mengaku kalau militer telah mencoba memaksanya untuk melepaskan kekuasaan beberapa jam sebelum melakukan kudeta. Bahkan, ia mengaku akan sangat dirugikan secara serius kalau menolak permintaan itu, demikian menurut keterangan pengacaranya.
Dalam konteks ini, Win Myint mencoba memberi kesaksian setelah pihak junta militer mengatakan kalau tidak terjadi kudeta. Dan kekuasaan itu telah dialihkan secara sah, dari seorang penjabat Presiden kepada para jenderal.
Kesaksian itu disampaikan Win Myint bersama Aung San Suu Kyi dalam persidangan hari Selasa lalu terkait berbagai tuduhan, termasuk tudingan penghasutan yang berasal dari surat yang memuat nama mereka dan isinya mendesak tidak mengakui junta militer.
Sebagai kepala negara waktu itu, Win Myint bersaksi di pengadilan ibu kota Naypyidaw sembari mengatakan pejabat senior militer mendekatinya pada tanggal 1 Februari dan menyuruhnya mengundurkan diri karena sakit.
"Presiden menolak proposal mereka, dengan mengatakan dia dalam keadaan sehat," kata pengacara pembela Khin Maung Zaw dalam pesan teks berbahasa Inggris yang dikirim kepada wartawan.
"Para petugas memperingatkannya bahwa penolakan itu akan menyebabkan banyak kerugian, tetapi presiden mengatakan kepada mereka bahwa dia lebih baik mati daripada menyetujuinya," ungkapnya.
Kendati demikian, saat ingin diminta memberi komentar tentang pernyataan itu, seorang juru bicara dewan militer Myanmar tidak menjawab panggilan telepon.
Tapi Khin Maung Zaw mengatakan, pembela menolak tuduhan terhadap Win Myint dan Suu Kyi karena mereka ditahan tanpa komunikasi.
Win Myint dan Suu Kyi menolak beberapa tuduhan terhadap mereka sebagai orang yang ber salah. Pengacara pembela, yang mewakili mereka berdua, mengatakan Suu Kyi telah menyarankan agar kesaksian hari Selasa diumumkan.
Awal Mula Kudeta Militer Myanmar
Negara Myanmar mengalami guncangan sejak militer mengambil alih kekuasaan pada Senin, 1 Februari 2021 lalu. Dalam kudeta itu, militer menangkap Kanselir Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint, dan beberapa tokoh senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dalam sebuah penggerebekan dini hari.
Panglima Tertinggi Tatmadaw, Jenderal Min Aung Hlaing langsung mengambil alih kekuasaan selama satu tahun dan mengumumkan keadaan darurat. Ketegangan ini terjadi karena tentara menuduh pemerintah mencurangi pemilihan parlemen pada November 2020 lalu, di mana partai Suu Kyi memperluas mayoritas parlemennya dengan mengorbankan perwakilan militer.
Atas hal itu, tentara mempromosikan Wakil Presiden Myint Swe menjadi penjabat presiden pada Februari 2021 setelah mereka menggulingkan Presiden Win Myint dan kepala pemerintahan de facto Aung San Suu Kyi dalam sebuah kudeta militer.
Menurut BBC, angkatan bersenjata di Myanmar melanggar konstitusi yang dijanjikan oleh militer. Semua otoritas telah diberikan kepada komandan tertinggi militer dan keadaan darurat telah diumumkan.
Sementara televisi militer mengumumkan bahwa tentara telah mengambil alih negara selama satu tahun. Kudeta tersebut terjadi karena kemenangan telak Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Suu Kyi dalam pemilihan umum.
Militer mengatakan, pihaknya telah menyerahkan kekuasaan kepada Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing atas apa yang mereka tuding sebagai "kecurangan" pemilu itu.
Namun, pihak Suu Kyi mendesak para pendukungnya untuk tidak menerima begitu saja langkah militer tersebut dan meminta untuk "memprotes kudeta". Dalam sebuah surat, dia mengatakan tindakan militer itu telah membuat negara kembali di bawah kendali diktator.
Editor: Iswara N Raditya