tirto.id - Korea Utara semakin ganas akhir-akhir ini. Menurut berita terbaru, 3 November 2022, negara yang dipimpin Kim Jong un itu sudah meluncurkan 23 rudal dalam dua hari berturut-turut.
Bahkan, lokasi jatuhnya rudal Korut cukup dekat dengan NLL (Northern Limit Line), garis perbatasan maritim antara Korea Utara dengan Selatan, yang hingga kini masih bersengketa. Lantas, apa motivasinya?
Berdasarkan analisa, seperti dikutip AP News, Korea Utara akan meningkatkan provokasi sampai mendapatkan perhatian dari Amerika Serikat. Kemudian, Korut akan bernegosiasi soal sanksi dan konsesi lain.
Dalam hal ini, Korea Utara mendapat sanksi internasional berupa pembatasan program senjata nuklir dan rudal balistik. Selain itu, sejak 2017 lalu, Korut juga mendapat pembatasan jumlah impor minyak, larangan ekspor batu bara, tekstil dan ikan.
Tampaknya, langkah Korut untuk mendapatkan perhatian akan minim karena Amerika Serikat berfokus pada pemilihan umum. Sedangkan Rusia dan Barat sedang berfokus dalam perang di Ukraina.
Akan tetapi, perhatian itu bisa datang dari Korea Selatan. Sebab, sekarang ini sudah ada diskusi yang berkembang di Seoul tentang bagaimana Korut menyelesaikan semua persiapan teknis untuk uji coba nuklir, demikian menurut pejabat Korsel dan AS.
Dalam konteks ini, dunia internasional sudah menyepakati soal larangan senjata nuklir. Perjanjian itu melarang penggunaan, pengembangan, produksi, pengujian, penempatan nuklir dan lain-lain.
Apa Alasan Kim Jong Un Berambisi Uji Coba Nuklir?
Adam Mount, direktur Defense Posture Project di Federation of American Scientists mengatakan, kemungkinan Kim Jong Un lebih memilih melakukan uji coba nuklir karena beberapa alasan.
Pertama, Korut akan melihat respons Amerika dan sekutunya dalam memandang uji coba tersebut. Kedua, melemahkan respons internasional dan membantu Pyongyang meredakan China.
Sebab, Beijing tidak suka ada uji coba nuklir di depan pintunya. Otomatis, China akan menyalahkan AS dan Korsel karena memperburuk situasi.
"Dalam hal politik dan diplomasi, fokus Kim adalah menekan Amerika Serikat menjelang pemilihan paruh waktu untuk menarik kebijakan sanksi," kata Yang Moo-jin, seorang profesor di Universitas Studi Korea Utara di Seoul.
Caranya adalah: "dengan menekankan kepada pemilih bahwa kebijakan pemerintahan Biden telah gagal."
Sejumlah pengamat Korea Utara telah lama membuat gambaran terkait cara yang dipakai Pyongyang untuk mengekspresikan kemarahannya. Bahkan, ada retorika berapi-api di media yang dikendalikan negara, yang diduga, bisa berkembang menjadi peluncuran rudal jarak pendek.
Menurut analisis terbaru citra satelit, Korea Utara telah membuat kemajuan dramatis dalam pembangunan baru di Stasiun Peluncuran Satelit Sohae.
Selain memperluas kemampuannya untuk mengirim kendaraan peluncuran satelit, stasiun tersebut dapat “mendukung pengembangan teknologi program rudal balistik antarbenua Korea Utara,” tulis Joseph S. Bermudez Jr., Victor Cha dan Jennifer Jun, dari Center for think tank Studi Strategis dan Internasional di Washington.
Analisa lainnya, seperti diberitakan Reuters, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un tidak menyukai latihan bersama antara Korsel dan AS. Hal itu disampaikan Mason Rickey, seorang profesor di Universitas Studi Asing Hankuk, Seoul.
“Korea Utara benar-benar tidak menyukai latihan udara gabungan yang besar ini, karena menggunakan F-35 yang bisa memenggal kepala rezim dan sangat sulit untuk diambil oleh pertahanan udara Korea Utara,” kata Mason Richey.
Editor: Iswara N Raditya