tirto.id - Dalam novel Angels and Demons (2000) yang kontroversial, Dan Brown menggunakan antimateri--objek istimewa yang memiliki potensi menghancurkan yang luar biasa--sebagai elemen sentral dalam cerita. Protagonis fiktifnya, Dr. Robert Langdon, dilibatkan dalam sebuah misi yang berkejaran dengan waktu untuk mendapatkan kembali satu gram antimateri yang telah dicuri dari laboratorium Conseil Européen pour la Recherche Nucléaire (CERN, Badan Riset Nuklir Eropa) di Swiss.
Antimateri yang dicuri itu disembunyikan di suatu titik di areal Vatikan. Langdon harus mendapatkannya tepat waktu setelah bergulat dengan berbagai teka-teki yang dibuat oleh sang pencuri. Satu gram benda tersebut dapat membawa kehancuran total bagi pusat gereja Katolik dunia.
Antimateri identik dengan materi penyusun dunia kita sekarang, tapi dengan muatan yang bertolak belakang. Sebagai contoh, salah satu komponen penyusun atom umum yang dikenal keberadaannya dan dapat ditemukan di sekitar kita dengan mudah antara lain adalah elektron yang bermuatan negatif.
Pada tahun 1932, dalam pengamatannya terhadap perilaku sinar kosmik atau partikel bermuatan energi tinggi yang bergerak sangat cepat di ruang angkasa, Profesor Carl Anderson dari Institut Teknologi California menemukan bekas lintasan dari “sesuatu yang serupa dengan elektron, namun bermuatan positif”. Temuannya itu ia sebut positron atau elektron positif, yang memiliki kesamaan penuh dengan elektron kecuali pada muatannya. Inilah salah satu contoh antimateri.
Dengan kata lain, sesuai dengan penjelasan David John Baker dan Hans Halvorson dalam “Antimatter” (The British Journal for the Philosophy of Science, 2010), antimateri adalah partikel cerminan dari materi yang umum kita temukan dengan muatan yang sebaliknya. Lewat skema ini, bahkan atom pun memiliki saudara antiatomnya, misalnya antiatom antihidrogen yang memiliki muatan bertolak belakang dengan atom hidrogen.
Konsep yang dibawa oleh Dan Brown dalam novelnya merupakan gambaran yang cukup akurat. Antimateri memiliki potensi untuk melepaskan energi yang luar biasa ketika bersinggungan dengan materi. Reaksi ini disebut sebagai penghancuran total (annihilation). Satu gram antimateri dapat menghasilkan kehancuran dua puluh kali lipat dari bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki. Namun, daya imajinasi Dan Brown belum dapat diikuti oleh perkembangan ilmu pengetahuan zaman ini.
Hingga kini, hanya beberapa nanogram dari antimateri yang dapat diproduksi di dunia. Untuk mendapatkan satu gram antimateri, laboratorium-laboratorium paling maju di dunia akan membutuhkan waktu ribuan tahun.
Riwayat pemikiran yang membawa terang kepada penemuan antimateri sebenarnya berasal dari periode yang oleh ilmuwan Alfred North Whitehead disebut sebagai era ortodoks sains, yakni pada paruh kedua abad ke-19. Whitehead dalam karyanya, Science and the Modern World (1925:148), menyebut bahwa sains pada masa itu sama sekali tidak mencoba membebaskan diri dari kekangan pendapat-pendapat konvensional, sebuah zaman pemikiran yang “paling tumpul sejak Perang Salib Pertama (1096–1099)”.
Namun, di tengah masa ortodoks inilah muncul dua gagasan “nyeleneh” tentang potensi keberadaan antimateri. Seperti diungkap dalam Quantum Generations: A History of Physics in the Twentieth Century (1999) karya Helge Kragh, gagasan pertama muncul dari ilmuwan Inggris, William Hicks, yang pada 1895 mengungkapkan tentang kemungkinan adanya materi yang berperilaku melawan gravitasi, bertolak belakang dengan materi normal yang seharusnya mengikuti gravitasi. Tentu saja, pendapat ini kini banyak disanggah karena antimateri tampaknya tetap mengikuti gravitasi. Namun arti penting pendapat Hicks adalah memberikan indikasi bahwa ada suatu objek, cerminan dari materi, yang berperilaku berlawanan dengan materi.
Pendapat kedua juga diajukan oleh ilmuwan Inggris, Arthur Schuster, lewat surat-suratnya yang “nyeleneh” kepada jurnal Nature pada 1898. Schuster menawarkan kemungkinan tentang adanya tata surya lain yang mirip dengan tata surya kita namun terdiri dari sepenuhnya antimateri. Ia juga berpendapat bahwa sifat materi-antimateri adalah saling menjauh, bukannya mendekat, karena persentuhan akan menghasilkan penghancuran total keduanya.
Kedua hipotesis itu terdengar sangat asing dan aneh pada zamannya. Memang, kedua simpulan yang ditarik oleh Hicks dan Schuster bukan merupakan temuan konkret dan lebih sebagai spekulasi. Namun, paling tidak pemikiran mereka menghadirkan zaman spekulasi bagi eksistensi antimateri.
Akhir zaman ortodoks sains terjadi pada awal abad ke-20 dan dilakukan salah satunya oleh ilmuwan tersohor Albert Einstein. Dengan teori relativitas yang dibawanya lewat makalah “Zur Elektrodynamik bewegter Körper [Tentang Elektrodinamik dari Benda-benda Angkasa]” (Annalen der Physik, 1905), Einstein membawa penemuan riil antimateri ke tahap selanjutnya. Persamaan matematis yang dicetuskan oleh Einstein memengaruhi cara pikir fisikawan Inggris, Paul Dirac.
Pada tahun 1928, Dirac menggunakan persamaan matematis Einstein untuk menjelaskan perilaku elektron yang bergerak dalam kecepatan relatif. Hasil yang ditemui Dirac untuk persamaannya rupanya menemui permasalahan. Ia menghasilkan dua penyelesaian yang memungkinkan, antara positif atau negatif (seperti x2=4 dapat memiliki dua kemungkinan jawaban antara x=2 dan x=-2). Hingga saat itu, fisika klasik mengharuskan penyelesaian persamaan itu—yang menggambarkan energi dari suatu partikel—untuk mengambil jawaban bentuk positif.
Namun, Dirac berpendapat berbeda. Ia mengambil simpulan berani yang menyatakan bahwa masalah persamaan matematisnya menandakan setiap partikel pasti memiliki kembaran yang bermuatan sebaliknya. Lewat gagasan Dirac inilah eksistensi antimateri mendapatkan pijakan ilmiahnya.
Dan benar saja, pada 1932 Carl Anderson kemudian menemukan eksistensi elektron bermuatan positif dalam pengamatannya terhadap sinar kosmik di kamar kabut, yakni sebuah alat untuk mendeteksi partikel dalam penelitian fisika. Sepanjang abad ke-20 yang penuh eksperimen, ilmuwan-ilmuwan secara bertahap menemukan bentuk antimateri lain dari komponen-komponen atom.
Pada tahun 1955, sekelompok peneliti dari laboratorium radiasi University of California di Berkeley menemukan antiproton atau proton yang bermuatan negatif, melalui kerja penelitian menggunakan mesin raksasa pemercepat laju proton bernama Bevatron di Berkeley. Akhirnya, peneliti-peneliti dunia berhasil memproduksi komponen lengkap atom (proton, neutron, dan elektron) dalam bentuk antimaterinya pada tahun 1965.
Perkembangan ilmiah juga memungkinkan produksi antiatom pertama (antihidrogen) oleh Walter Oelert di laboratorium CERN pada tahun 1995. Sederhananya, pembentukan antiatom dilakukan dengan menggabungkan antiproton, antineutron, dan antielektron/positron dalam komposisi yang tepat.
Produksi terhadap antimateri perlu dilakukan karena partikel-partikel ini tidak tersedia dalam jumlah yang memadai secara alami di sekitar kita. Dengan keberhasilan tahun 1965, halangan itu sudah dapat diatasi. Namun, masalah selanjutnya muncul. Sifat alami antimateri (antiatom atau antinukleus) yang saling menghacurkan ketika bertemu dengan materi (atom biasa) membuat masa hidup mereka menjadi sangat singkat dan sangat susah bagi ilmuwan untuk dapat mengamatinya.
Untuk mengatasi halangan ini, CERN atau Badan Riset Nuklir Eropa kemudian membangun berbagai fasilitas lintasan yang memperlambat laju antimateri, sehingga sepanjang perjalanan dapat diamati oleh ilmuwan sebelum akhirnya menghilang ketika bertumbukan dengan materi normal. Hingga 1997, CERN memiliki setidaknya tiga alat yang mendukung penelitian antimateri, yaitu Antiproton Accumulator (AC), Antiproton Collector, dan Low Energy Antiproton Ring (LEAR).
Ketiganya kemudian dimatikan untuk memberi pasokan energi yang cukup bagi sebuah mesin baru berskala besar, Large Hadron Collider (LHC) atau Penumbuk Hadron Raksasa, yang membentang di dalam tanah sepanjang perbatasan Swiss-Prancis dengan panjang sekitar 27 kilometer. LHC pertama kali diaktifkan di CERN pada 10 September 2008, tepat hari ini 13 tahun lalu. Mesin inilah yang di dalam novel Angels and Demons karya Dan Brown berperan sebagai alat yang memproduksi satu gram antimateri yang menghebohkan itu.
Namun, 21 tahun setelah novel itu terbit, LHC belum mampu mencapai produksi antimateri yang setara dengan imajinasi Dan Brown. Sebenarnya, tujuan LHC tidak sekadar berkaitan dengan penelitian antimateri, ia juga memberi sarana bagi penelitian dimensi tambahan dan hipotesis lainnya.
Dalam pandangan umum dan penggambaran populer lewat novel atau film, penelitian terhadap antimateri terkesan dibingkai dalam upaya pencarian energi atau senjata dengan potensi kehancuran yang luar biasa. Namun, ketika kita membaca sejarah penelitian tentang antimateri, kita mungkin akan menyimpulkan bahwa penelitian-penelitian itu dilakukan atas dasar eksplorasi sains daripada ambisi energi.
Menggunakan antimateri sebagai sumber energi merupakan usaha yang besar pasak daripada tiang. Daya listrik yang dibutuhkan untuk memproduksi dan mempertahankan antimateri dalam jumlah yang sangat kecil, misalnya satu gram seperti imajinasi Dan Brown, dapat melebihi konsumsi listrik seluruh Eropa. Dengan demikian, perkiraan untuk menggunakan antimateri sebagai senjata atau bahan bakar pesawat luar angkasa masih memerlukan pengembangan ilmiah yang lebih maju.
Editor: Irfan Teguh Pribadi