tirto.id - Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan mengubah sejumlah aturan dalam mekanisme pengangkatan direksi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hal itu tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 5 Tahun 2018 yang menggantikan Pergub 180 Tahun 2015 yang dikeluarkan mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Dalam Pasal 5 huruf (f) beleid tersebut, Anies menetapkan bahwa calon direksi yang berasal dari perseorangan (di luar pemerintahan serta pejabat direksi dan karyawan BUMD) hanya boleh mengikuti seleksi jika diusulkan oleh gubernur.
Anies juga menghilangkan syarat-syarat perseorangan yang berniat maju sebagai calon direksi BUMD yang ditetapkan Ahok. Jumlah syarat tersebut terdiri dari 15 poin mulai dari integritas, riwayat kesehatan, batas minimal dan maksimal usia, hingga larangan bagi anggota TNI dan kepolisian.
Bahkan, syarat bahwa "setiap orang dalam pengurusan BUMD dalam 1 (satu) daerah dilarang memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga berdasarkan garis lurus ke atas, ke bawah, atau ke samping, termasuk hubungan yang timbul karena perkawinan" juga dihilangkan.
Dalam Pergub itu, Anies hanya menambahkan rincian uji kelayakan dan kepatutan (UKK) yang diturunkan dari Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017. UKK tersebut antara lain psikotest atau assessment serta paparan rencana kerja dan wawancara.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Lisman Manurung, menyampaikan, kebijakan yang dikeluarkan Anies pada 26 Januari lalu tersebut dinilai membatasi kesempatan bagi orang lain untuk membangun BUMD di Jakarta.
"Meritokrasi itu kan juga menghargai seluruh standar profesi. Kalau kita intervensi dengan harus mengusulkan nama, kan, berarti menutup kesempatan bagi yang lain yang barangkali lebih kompeten," ungkap Lisman saat dihubungi Tirto, Jumat (9/3/2018).
Ia juga menilai bahwa aturan baru tersebut terlalu mengintervensi BUMD dan dapat membuat proses pemilihan direksi menjadi tidak akuntabel dan transparan.
Meski memiliki hak prerogatif untuk menentukan jabatan direksi, kata Lisman, Anies tak seharusnya mengeluarkan kebijakan yang justru akan merepotkan dirinya di kemudian hari.
"Kalau seperti itu, ya, tanggungjawabnya akan lebih besar di belakang. Bisa saja nanti, misalnya, akan ada pihak-pihak inspektorat atau KPK mau tahu kenapa mengusulkan nama calon sedangkan tidak memenuhi standar kepatutan dan akuntabilitas," ujarnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Yuliana Ratnasari