tirto.id - Alfred Sitorus, pendiri Koalisi Pejalan Kaki, mengkritik Gubernur DKI Anies Baswedan yang hendak membikin Pedagang Kaki Lima (PKL) bisa secara legal menggelar lapak di trotoar. Bagaimanapun, katanya kepada reporter Tirto, Senin (2/8/2019), "trotoar adalah hak pejalan kaki".
Anies sedang menyusun roadmap atau peta jalan penataan PKL di seluruh Jakarta setelah kalah dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI)--partai baru yang kini sudah menempatkan kadernya di DPRD DKI periode 2019-2024--di Mahkamah Agung (MA).
Dalam putusan bernomor 38/P.PTSVIII/2019/42 P/HUM/2018 yang dibacakan pada 18 Desember 2018 itu, MA memenangkan PSI yang mengajukan uji materi Pasal 25 ayat 1 Perda DKI Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Lewat beleid tersebut, Jalan Jatibaru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, ditutup dan dipakai untuk PKL berdagang. Setelah diputus MA, beleid itu sudah tak lagi berlaku karena bertentangan dengan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dalam UU LLAJ itu, jalan hanya bisa ditutup karena alasan kegiatan keagamaan, kegiatan kenegaraan, kegiatan olahraga, dan kegiatan budaya. Menyediakan tempat untuk para PKL berdagang jelas tidak termasuk di dalamnya.
Dalam penyusunan roadmap itu, Pemprov DKI berupaya sedinamis mungkin, kata Anies. Ia berharap lewat kebijakan ini para PKL tidak lagi dilihat sebagai biang keladi kekumuhan.
"Kita ini harus setara pada semuanya. Jangan alergi pada sekelompok. Jangan," katanya, Kamis (29/8/2019) pekan lalu.
Anies juga bilang, alasannya mengusulkan PKL dagang di trotoar adalah lebar trotoar di Jakarta yang berbeda-beda. Inilah, yang menurutnya, membikin penataan trotoar tidak boleh 'template'--satu pendekatan untuk semua situasi.
Kepala Dinas Bina Marga Hari Nugroho mengatakan roadmap ini masih dalam tahap pembahasan. Dia menegaskan kembali apa yang sudah dinyatakan Anies: lebar trotoar beragam, maka pendekatannya pun perlu berbeda.
"Kalau memang kondisi dan jalannya sempit, enggak mungkin dan enggak boleh [PKL dagang]. Trotoar itu prinsipnya memang hak pejalan kaki. Namun, apabila ada space, ada tempat lagi, otomatis kami akomodir PKL," katanya kepada reporter Tirto.
Ada trotoar yang lebarnya satu meter, kata Hari, tapi di tempat lain ada yang sampai empat hingga lima meter. Trotoar dengan lima meter, di masa depan, sangat mungkin diisi para PKL. "Karena apa? Tidak mengganggu hak pejalan kaki."
Salah satu contoh adalah trotoar di Taman Langsat, Barito, Jakarta Selatan. Hari bilang, khusus di tempat itu, saat ini PKL sudah boleh berdagang.
Ia lantas mengambil referensi dari kota-kota lain di dunia, dari mulai Singapura hingga Hong Kong. "Di sana ada PKL tapi ramah lingkungan dan tidak kumuh," klaimnya.
Alternatif Solusi
Trotoar, bagaimanapun, harus dibikin senyaman mungkin karena itu "adalah roh sebuah kota"--mengutip peneliti di Pusat Penelitian Perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga dalam tulisannya berjudul Kota Ramah Pejalan Kaki.
"Berjalan kaki adalah hak asasi manusia paling mendasar dan bentuk kemerdekaan warga dalam berkota. Hanya dengan berjalan kaki di trotoar, kita dapat merasakan langsung kondisi kota sebenarnya. Membangun trotoar yang aman dan nyaman adalah wujud kota yang beradab. Itulah mengapa kota-kota dunia yang maju sangat memanjakan pejalan kaki dengan menyediakan trotoar yang lebar, teduh, aman, dan nyaman," tulisnya.
Barangkali apa yang disampaikan Nirwono tetap dapat dicapai meski ada PKL. Tapi, meski sah-sah saja jika Pemprov DKI mengambil referensi dari kota mana pun, Alfred Sitorus mengatakan masalahnya adalah tidak ada regulasi yang memungkinkan untuk itu.
"Apa di luar negeri memang ada reguLasi yang memperbolehkan PKL berjualan di trotoar?" tanyanya.
"Ada aturan eksplisit yang memperbolehkan PKL berjualan di trotoar? Kan enggak ada. Kalau memang [regulasi] enggak membolehkan, ya dihormati," kata Alfred.
Pernyataan Alfred benar. PKL diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Dalam aturan ini tidak ada keterangan spesifik bahwa PKL bisa dagang di trotoar. Dalam Pasal 9 ayat (1), PKL bisa berdagang di antaranya di: lokasi sementara; pujasera (pusat jajanan serba ada); dan kawasan terpadu PKL.
Malah dalam Pasal 13 dijelaskan PKL yang menempati lokasi tidak sesuai "dapat dilakukan pemindahan atau relokasi."
Ia lantas meminta Anies mencari lokasi alternatif di luar trotoar. Salah satunya adalah penyediaan lahan khusus--yang memang sudah diatur dalam Pergub 10/2015.
"Dan juga, harusnya semua gedung-gedung di Jakarta ini ditagih oleh pemprov tiga persen ruang mereka digunakan oleh PKL. Kalau contoh ada 300 ribu PKL, ternyata cuma 200 ribu PKL yang tertampung dari seluruh jatah 3 persen per gedung di Jakarta, ya, pemprov cari solusi lain. Harusnya begitu. Bukannya membiarkan mereka melanggar aturan," katanya.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Hari Nugroho mengatakan usul tersebut mungkin diakomodasi. Menurutnya memang sempat dibicarakan alternatif tempat dagang selain trotoar.
"Pembahasan ke arah sana [menyediakan lahan khusus PKL bukan di trotoar] ada. Cuma, kan, finalnya belum. Pembicaraan seperti itu, kan, enggak bisa cepat," pungkasnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri