Menuju konten utama

Angkatan Laut Belanda Takut kepada Sarekat Islam dan Komunis

Para pelaut bumiputra yang bergabung dengan Angkatan Laut Belanda rata-ratanya berpangkat rendah dan bergaji kecil.

Angkatan Laut Belanda Takut kepada Sarekat Islam dan Komunis
Ilustrasi Kapal perang. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Angkatan Laut Belanda atau Koninklijk Marine (KM) sangat membutuh orang-orang bumiputra untuk berdinas di kesatuannya. Tahun 1914, Kweekschool voor Inlandsche Schepelingen (KIS), sekolah yang mendidik para calon pelaut dibuka di Makassar. Mula-mula, para siswanya hanya berasal dari Ambon dan Minahasa. Belanda kemudian mengharapkan juga agar orang-orang Jawa sebagai etnik mayoritas di Hindia Belanda turut belajar di sekolah tersebut.

Kehadiran KIS membuat orang Indonesia yang berdinas di KM jadi meningkat. Menurut catatan Sudono Jusuf dalam Sedjarah Perkembangan Angkatan Laut (1971:6) yang ia kutip dari Rapport Koninklijk Marine in Nederlandsch Indie 1925, pada 1913 jumlah orang Indonesia yang berdinas di KM baru 1.257 personel. Tahun 1924 jumlahnya meningkat menjadi 2.402 orang.

Orang-orang Indonesia lulusan KIS biasanya akan menjadi kelasi kelas tiga terlebih dahulu. Setelah itu akan naik pangkat pada tahun-tahun berikutnya. Di luar golongan kelasi yang bertugas di dek, ada juga golongan orang yang bekerja di ruang mesin yang disebut stoker alias juru api dan olieman alias juru minyak yang dilatih di Surabaya. Setelah itu ada pula bedinde alias pelayan.

Para pelaut bumiputra yang mayoritas pangkatnya rendah dan gajinya kecil menjadi sahabat golongan komunis macam Hendricus Joseph Francois Marie Sneevliet dan kawan-kawan. Selain itu, sebagian dari mereka juga dekat dengan Sarekat Islam.

Hal tersebut tidak disukai oleh otoritas Angkatan Laut Belanda. Mereka pernah melakukan razia bacaan di kapal perang terhadap para anggotanya, termasuk buku-buku yang ada kaitannya dengan Sarekat Islam. Akibat razia tersebut, pada 1916 seorang kelasi kelas tiga bernama Mas Arga--awak kapal latih Hr Ms Zeven Provincien--kena hukum kurungan delapan hari karena kedapatan memiliki bacaan yang dilarang.

Mas Arga, seperti dicatat Bataviaasch Nieuwsblad (06/05/1915) dan De Preangerbode (05/05/1915), adalah salah satu pendiri organisasi pelaut militer KM yang berdiri pada Mei 1915 di Surabaya dan Sinar Laoetan. Ia awalnya akan dijadikan sebagai pemimpin Sinar Laoetan meski pangkatnya kala itu masih kelasi kelas tiga. Namun, Sinar Laoetan keburu dibubarkan Belanda. Meski tak punya ijazah, Mas Arga bisa menuliskan penderitaan dan ketidakadilan yang terjadi di Angkatan Laut Belanda dalam surat kabar Oetoesan Hindia.

“Selamanya penulis memegang dinas militer, belum tahu di dalam satu kapal perang lamanya satu tahun, tidak lama terus dipindah ke lain kapal, sebab banyak opsir yang cemburuan. Tidak lain cuma sebab penulis suka turut campur dari pergerakannya bumiputra,” tulis Mas Arga dalam Oetoesan Hindia (29/05/1916).

Ia merasa bahwa orang Jawa begitu dihinakan di Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Dalam korn tersebut ia menulis, “tentu dan lebih baik pembesar Marine tidak usah mengambil lagi bangsa Jawa buat keperluannya militer.”

Tentang Sinar Laoetan, Kees van Dijk dalam Hindia Belanda dan Perang Dunia 1: 1914 – 1918 (2014:618) menulis bahwa para pemimpin Sinar Laoetan ingin anggotanya mendekat kepada Sarekat Islam. Nmaun, otoritas Angkatan Laut Belanda dengan keras menolaknya.

Ketika KM ketakutan jika sejumlah personelnya yang bumiputra bergabung dengan Sarekat Islam, orang-orang komunis lewat Het Vrije Woord (17/03/1917) berusaha membelanya. Surat kabar tersebut mengabarkan bahwa pada 18 Februari 1917, semua bumiputra di kapal dan lembaga Angkatan Laut Belanda diperintahkan untuk membongkar kotak ransel mereka. Belanda hendak mencari tahu hubungan antara para pelaut Jawa dengan Sarekat Islam. Menurut Het Vrije Woord, meski para pelaut bumiputra pernah mengadakan pertemuan di gedung milik Sarekat Islam, tetapi mereka tidak punya hubungan dengan organisasi tersebut.

Infografik Angkatan Laut Bumiputera

Infografik Angkatan Laut Bumiputera dan Pergerakan Nasional. tirto.id/Fuadi

Setelah organisasi Sinar Laoetan dihancurkan, seperti dicatat Basilius Triharyanto dalam Pers Perlawanan, Politik Wacana Antikolonialisme Pertja Selatan (2009: IX), Mas Arga tidak lagi berdinas di Marine. Ia terjun ke dunia jurnalistik yang mula-mula bertugas sebagai korektor. Selanjutnya ia duduk dalam dewan redaksi di beberapa surat kabar, salah satunya Pertja Selatan.

Seperti dilaporkan De Preangerbode (31/08/1919), ketika peristiwa SI Afdelling B terjadi pada 1919, Mas Arga tengah berada di Serang, Banten, sebagai editor Mimbar. Di sana ia menjadi pendukung Hasan Djajadiningrat yang menjadi tokoh Sarekat Islam Banten.

Warsa 1925, sebagai pengganti Sinar Laoetan, berdirilah sebuah organisasi awak kapal bumiputra di Marine yang bernama Inlandsche Marine Bond (IMB) yang banyak disebut dalam sejarah Angkatan Laut Republik Indonesia. Salah satu orang penting di perkumpulan ini adalah Kromo Lawi, yang belakangan ikut Partai Nasional Indonesia (PNI). Anggota IMB sekitar 110 orang. Selain IMB, untuk pelaut bumiputra yang beragama Kristen, ada juga organisasi lain yang bernama Inlandsche Christelijke Marine Bond (ICMB).

IMB mempunyai surat kabar yang bernama Sinar Laoetan yang dipimpin oleh Martin Marseha Paradja, yang belakangan terlibat dalam pemberontakan di atas kapal Zeven Provincien.

Setelah pemberontakan tersebut, banyak pelaut Indonesia yang dipecat dan dihukum penjara beberapa tahun. Bahkan salah seorang bekas anggota Angkatan Laut Belanda bernama Soekardjo Prawirojoedo dibuang ke Boven Digoel.

Beberapa surat kabar kolonial termasuk Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië (08/08/1935) merilis keputusan Dewan Hindia Belanda tentang nasib Raden Mas Soekardjo Prawirojoedo.

Dalam keputusan itu disebutkan bahwa yang bersangkutan berusia 29 tahun, mantan stoker di Angkatan Laut. Ia lahir di Kampung Danurejan, Yogyakarta, dan telah ditahan di penjara demi ketenteraman umum dan ditetapkan akan ditempatkan di Boven Digoel.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh