Menuju konten utama

Angka Stunting Menurun, Namun Tidak pada Anak Bawah Dua Tahun

Ada yang terlewat dalam menjaga tumbuh kembang anak di usia 12-23 bulan, yang ditunjukkan dengan kenaikan angka stunting sebanyak 978,930 anak.

Angka Stunting Menurun, Namun Tidak pada Anak Bawah Dua Tahun
Kader PKK mengukur berat badan balita di Posyandu Angger 2, Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Senin (25/10/2021). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/aww.

tirto.id - Survei status gizi Indonesia 2022 baru saja diterbitkan. Hasilnya? Angka stunting di Indonesia menurun menjadi 21.6% dari angka 24.4% pada tahun 2021.

Kabar positif ini selaras dengan arahan dari Presiden Joko Widodo yang menargetkan angka stunting mencapai 14% di tahun 2024. Untuk mencapai target ini, perlu ada penurunan yang konsisten sebanyak 3.8% setiap tahunnya, sampai tahun 2024 nanti.

Namun, dr. Maria Endang Sumiwi, MPH., Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, pada konferensi pers yang diadakan oleh Kementerian Kesehatan, Jumat (27/1) lalu, mengatakan bahwa angka stunting secara keseluruhan yang menurun tahun ini sayangnya dibarengi dengan kenaikan stunting pada anak usia di bawah 2 tahun.

Hal ini menurutnya adalah isu yang perlu diwaspadai. Karena keberhasilan mengekang stunting ternyata masih lemah justru pada saat anak baduta (bawah dua tahun).

Artinya, ada yang terlewat dalam menjaga perkembangan dan pertumbuhan anak di usia 12-23 bulan yang kini mencapai 978,930 anak.

“Stunting adalah ujung masalah. Sehingga pencegahannya tidak hanya pemenuhan gizi, namun ketahanan pangan sampai sanitasi. Dan pelaksanaannya tidak hanya inisiatif pemerintah pusat, namun membutuhkan kerja sama juga dengan pemerintah daerah. Salah satunya memastikan Posyandu tetap buka. Kemudian, memastikan pelaksanaan puskesmas yang membuat layanan lebih lancar,” ujar Endang.

Pencegahan stunting menurut Endang dimulai tidak hanya dilakukan saat persiapan hamil, namun jauh sebelumnya, yakni sejak perempuan masih remaja - kemudian berlanjut saat ia beranjak dewasa dan merencanakan pernikahan dan kehamilan, pada masa kehamilan, sampai setelah kelahiran.

Kecenderungan remaja sekarang yang ingin kurus dan berkulit putih menurut Endang bisa menjadi cikal kekurangan gizi pada perempuan, yang akhirnya berujung pada terjadinya stunting pada anak.

Banyak ibu menurutnya hanya memeriksakan berat badan anak pada saat imunisasi saja. Artinya, banyak ibu yang memberikan imunisasi beberapa bulan sekali. Padahal, berat badan anak, yang menjadi indikator pertama gejala stunting, harus diperhatikan secara rutin. Belum lagi pemberian protein nabati yang masih dianggap pelengkap saja, dan bukan keharusan.

“Para ibu perlu menerapkan pola konsumsi makanan berprotein hewani sebagai suatu pola makan anak sehari-hari. Bukan sebagai upaya pencegahan stunting saja,” ujar Endang.

Infografik Stunting Balita

Infografik Stunting Balita. tirto.id/Fuad

Pemenuhan Asupan Gizi

Sekitar 68% masyarakat Indonesia tidak mampu mengeluarkan biaya untuk membeli makanan bergizi seimbang. Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dirilis pada Maret 2021 ini tak ubahnya ironi bagi negeri yang berjuluk gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Terlebih, secara agregat sebenarnya Indonesia tidak punya masalah ketersediaan pangan di tingkat nasional.

Pernyataan itu disampaikan oleh Kepala Peneliti Bidang Pertanian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, dalam diskusi daring bertajuk "Tantangan Pangan: Komitmen Pemenuhan Gizi Seimbang di Indonesia" yang diadakan pada Rabu (25/1) bertepatan dengan Hari Gizi Nasional 2023. CIPS menyoroti fenomena keterkaitan ketersediaan pangan dan kondisi gizi masyarakat Indonesia.

Stunting dan malnutrisi sendiri secara umum adalah gambaran tidak terpenuhinya kebutuhan gizi yang seimbang selama seribu hari pertama kehidupan (HPK) manusia.

Kondisi gizi buruk ini, dikatakan Aditya, tersebar merata di mana 27 provinsi pada 2021 dikategorikan memiliki status gizi akut kronis, atau dengan kata lain tingkat stunting-nya 20% atau lebih, dan wasting-nya 25% atau lebih. Selain gizi buruk, keragaman asupannya pun cenderung memburuk. Beras, misalnya, masih menjadi pangan pokok utama dengan proporsi lebih dari 40% dari seluruh pangan yang tersedia.

Sementara proporsi jagung dan olahannya, kacang-kacangan, serta umbi-umbian, proporsinya terus menurun dari 34% pada 1960 menjadi kurang dari 20% pada 2019. Ini menunjukkan indikasi ada pergeseran pola konsumsi dan pergeseran budidaya: menjadi sama-sama didominasi beras. Padahal sebelumnya, menurut Aditya, petani atau masyarakat membudidayakan pangan lokal yang beragam.

Sejatinya, terkait stunting, Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kerangka kebijakan untuk mengoordinasikan kegiatan di berbagai Kementerian/Lembaga (K/L) dengan Pemerintah Daerah. Salah satunya, melalui Perpres No.72 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting.

Namun dalam sorotan CIPS, sebagaimana dikutip Aditya, belum ada agenda spesifik untuk menyasar keterjangkauan pangan. Di sisi lain, juga belum ada agenda terkait evaluasi kebijakan perdagangan dan pertanian. Untuk itu, Aditya menilai penting dilakukan evaluasi kebijakan mana yang mungkin bisa menjadi hambatan dalam penyediaan pangan yang seimbang dan beragam.

“Itu tantangan yang harus kita hadapi,” kata Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Pungkas Bahjuri Ali, yang menjadi narasumber diskusi daring ini. Kebijakan Pemerintah, menurut Pungkas, adalah kebijakan mengenai ketersediaan pangan dan distribusinya yang disebut sebagai sistem pangan.

Pungkas tak memungkiri, permasalahan utama gizi adalah akses yang tidak kuat. “Ketika pangan tidak cukup, asupan gizi tidak adekuat—cukup dalam segi jumlah dan seimbang, maka akan menimbulkan permasalahan-permasalahan gizi,” kata Pungkas. Permasalahan gizi ini bukan semata kekurangan gizi melainkan juga kelebihan gizi. Jadi tidak hanya stunting, tetapi juga obesitas, serta penyakit tidak menular.

Jelas, perbaikan gizi adalah kunci. Gizi yang cukup dan seimbang, menurut Pungkas, berpengaruh terhadap perkembangan sumber daya manusia. Sebaliknya, kekurangan gizi akan menyebabkan stunting. Anak yang stunting akan terkena dampak dari fisiologi otak sehingga kemampuan daya pikirnya menurun. Kelak dewasa akan terjangkit penyakit tidak menular yang menyebabkan disabilitas, bahkan kematian.

TARGET JAWA BARAT ZERO STUNTING

Kader PKK mengukur tinggi badan anak di Posyandu Angger 2, Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Senin (25/10/2021). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/aww.

Strategi Percepatan Gizi

“Kita meningkatkan komitmen, kampanye, dan pola asupan,” kata Pungkas seraya menegaskan ketiga hal tersebut sebagai sistem yang sustain dalam jangka panjang. “Kalau masyarakat sudah sadar, perilakunya baik, maka dia akan mencari sendiri [pangan bergizi yang cukup dan seimbang] yang didukung ketersediaan dan diversifikasi pangan yang cukup.”

Senada dengan Pungkas, Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi & Keamanan Pangan, Badan Pangan Nasional Andriko Noto Susanto pun menyatakan, “Promosi, kampanye, dan edukasi, masih menjadi faktor yang penting yang terus kita kerjakan. Karena memang keanekaragaman sumber daya lokal yang kita miliki, yang begitu banyak, harus kita promosikan terus, kita kampanyekan terus, kita edukasikan terus.”

Edukasi, diyakini Andriko, dapat mengubah pola pikir dan memperbaiki Pola Pangan Harapan (PPH), baik PPH ketersediaan maupun PPH konsumsi. Lebih jelasnya, Andriko mendefinisikan PPH sebagai, “Susunan beragam pangan berdasarkan proporsi keseimbangan energi dari sembilan kelompok pangan dengan mempertimbangkan segi daya terima ketersediaan pangan, ekonomi, budaya, dan lain-lain.”

PPH tak lain adalah alat ukur atau indikator pengukur yang digunakan Badan Pangan Nasional untuk mengukur pencapaian hidup sehat aktif dan produktif sesuai amanat Undang-undang No. 18 Tahun 2012.

Andriko menyebut, ada korelasi yang sangat kuat antara PPH konsumsi dengan stunting, mencapai minus 6,7-an. Singkatnya, jika satu wilayah PPH konsumsinya bisa tercapai, maka stunting-nya akan selesai.

“Dari situ sebenarnya kita bisa berasumsi atau berhipotesis bahwa stunting dapat kita selesaikan dengan PPH,” kata Andriko. “Makanya di Badan Pangan Nasional di Deputi Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, PPH ini menjadi satu indikator yang terus kita monitor.”

“Kami berharap, PPH konsumsi ini dapat segera kita wujudkan dan target [penurunan stunting hingga] 14% dapat kita capai dengan sebaik-baiknya,” kata Andriko. “Selain itu kami mempersiapkan berbagai regulasi untuk semua orang berperan di dalam mempercepat penganekaragaman [pangan bergizi] yang salah satu indikator utamanya adalah peningkatan angka PPH konsumsi kita.”

Pekerjaan rumah pemerintah masih berlanjut dengan adanya target yang harus dicapai dan kenaikan angka stunting pada anak di bawah dua tahun tahun ini. Di sisi lain orang tua juga memiliki pekerjaan rumah untuk selalu menjaga dan mengawasi berat badan anak secara periodik, bukan hanya sesekali.

Baca juga artikel terkait KASUS STUNTING atau tulisan lainnya dari Vega Probo

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Vega Probo
Penulis: Vega Probo
Editor: Lilin Rosa Santi