tirto.id - World Health Organization (WHO) baru saja mengeluarkan rangkuman statistik terbaru soal Infeksi Menular Seksual (IMS) di dunia. Laporan tersebut menggambarkan bahwa penyebaran penyakit ini menunjukkan tren peningkatan. Selain itu, usaha memerangi IMS semakin sulit karena beberapa bakteri telah menunjukkan gejala resistensi antimikrobial.
Badan kesehatan PBB itu menyebut ada lebih dari satu juta IMS terjadi setiap hari. Saat ini, IMS diderita oleh satu dari 25 orang di dunia, dengan jumlah infeksi baru (antara klamidia, gonore, sifilis, dan trikomoniasis ) per tahun sebanyak 276 juta. Mirisnya, IMS tak hanya membikin masalah pada orang dewasa saja, tapi bisa memengaruhi harapan hidup janin, atau anak yang baru dilahirkan.
Pada 2016, sekitar 1 juta ibu hamil diperkirakan memiliki sifilis aktif. Akibat IMS yang diderita, sekitar 350 ribu dari kehamilan tersebut berisiko tinggi. Sebanyak 200 ribu kehamilan berujung janin gugur dalam kandungan atau kematian neonatal. Jikapun anak yang dikandung berhasil berjuang sampai kelahiran, penularan IMS dari ibu dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan pada anak.
“Berat badan lahir rendah, prematuritas, sepsis, pneumonia, konjungtivitis neonatal, dan kelainan bawaan,” demikian WHO melaporkan.
IMS dapat menular terutama melalui kontak seksual, termasuk hubungan seks vaginal, anal, dan oral. Lebih dari 30 bakteri, virus, dan parasit penyebab IMS ditularkan melalui kontak seksual. Delapan di antaranya merupakan insiden terbesar penyakit menular seksual.
Empat dari delapan infeksi tersebut (sifilis, gonore, klamidia, dan trikomoniasis) sudah bisa disembuhkan. Sementara empat lainnya merupakan infeksi virus yang tidak dapat disembuhkan, termasuk di antaranya hepatitis B, virus herpes simpleks (HSV atau herpes), HIV, dan human papillomavirus (HPV).
Namun, selain menular secara seksual, beberapa jenis IMS juga bisa menular dengan cara non-seksual, seperti melalui darah atau produk darah. Banyak IMS — termasuk sifilis, hepatitis B, HIV, klamidia, gonore, herpes, dan HPV —dapat ditularkan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan.
Kendala Pengentasan IMS
Selama ini salah satu faktor penyebab yang membikin penyakit ini sulit ditekan jumlahnya adalah minimnya pengetahuan terkait IMS. Individu yang mengalami gejala IMS, seringkali enggan memeriksakan diri kepada tenaga kesehatan karena malu. Yang paling parah, mereka tidak menyadari telah terjangkit IMS, karena penyakit menular tersebut tak memiliki gejala yang jelas.
Gejala umum IMS termasuk keputihan, keputihan pada uretra atau rasa terbakar pada pria, bisul kelamin, dan sakit perut. Penyakit asli IMS seringkali bersembunyi di balik gejala-gejala penyakit semu tersebut, sehingga kurang bisa dibedakan jika hanya dengan pengetahuan awam. IMS, jika tidak dikonsultasikan segera dengan dokter, maka penanganannya akan semakin sulit.
Namun, di samping permasalahan-permasalahan klasik seperti itu, muncul hambatan lain yang lebih besar dalam upaya pengobatan IMS. Kini dunia sedang menghadapi Resistensi Antimikrobial (AMR) di segala sektor pengobatan antimikrobial, dan beberapa patogen IMS mulai menunjukkan kekebalannya terhadap obat-obatan antimikrobial.
AMR merupakan kondisi ketika mikroorganisme (bakteri, jamur, virus, dan parasit) bermutasi karena terpapar obat antimikroba (antibiotik, antijamur, antiviral, antimalaria, dan anthelmintik). Akibatnya, obat antimikroba tidak lagi bisa mengatasi mikroorganisme baru dalam tubuh, sehingga membuat infeksi terus berlanjut, dan meningkatkan risiko penyebaran kepada orang lain.
“Gonococcal AMR Surveillance Programme (GASP) menunjukkan resistensi kuinolon, azitromisin, azitromisin (antibiotik) yang tinggi,” tulis WHO.
Beberapa tahun belakangan, AMR dari IMS terhadap antibiotik meningkat pesat dan telah mengurangi pilihan pengobatan, juga membikin biaya pengobatan jadi lebih mahal. Berkurangnya kerentanan gonore terhadap antibiotik sudah terbukti pada penisilin, sulfonamid, tetrasiklin, kuinolon, dan makrolida. Padahal pengobatan tersebut merupakan lini terakhir untuk penanganan penyakit gonore.
Gonore kini menjelma menjadi organisme yang resisten terhadap banyak obat. Sementara kasus AMR pada jenis IMS lain mulai ditemukan satu-per satu, misal H.ducreyi sebagai bakteri penyebab ulserasi genital vagina. Meski kasusnya kurang umum, tapi kondisi itu tetap membuat pencegahan dan pengobatan IMS jadi kritis.
Resistansi gonore terhadap obat telah dilaporkan di banyak wilayah, termasuk Asia, Eropa, Afrika Selatan, Kanada, Australia, Jepang, dan Eropa. Bahkan fenomena ini terjadi di banyak kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Tangerang, Palembang, Yogyakarta, Pontianak, Samarinda, Makassar, dan Kupang.
Seperti kasus mikroorganisme pada penyakit lain yang telah bermutasi dan menjadi resisten, begitu juga AMR menjadi hambatan utama pengentasan IMS. Lantaran laju resistensi mikroba tak sebanding dengan penemuan antibiotik terbaru, kini dunia hanya perlu bersiap menghadapi dunia tanpa antibiotik.
Editor: Nuran Wibisono