tirto.id - Tidak perlu heran dengan preferensi yang dipilih oleh pasangan swinger. Pada zaman ini, banyak sekali pilihan untuk menjalankan hubungan dengan pasangan, yang tidak bisa kita pandang secara hitam dan putih saja.
Seperti yang dilakukan pasangan swinger, mereka berpendapat hubungan yang dianggap tabu oleh masyarakat ini justru menjadi pendorong yang memperkuat komunikasi dan hubungan dengan pasangannya.
Swinger, julukan yang disematkan pada pasangan atau lajang yang memiliki hubungan terbuka, membebaskan pasangannya melakukan hubungan seksual dengan orang lain. Mereka mendapatkan kepuasan ketika melihat atau melakukan aktivitas seks bersama pasangan lain.
Sebagaimana dituliskan seorang perempuan di The Guardian, “Kami melakukannya satu atau dua kali dalam sebulan. Setelah melakukannya, kami pulang dan melakukan seks yang membara.”
Suaminya kala itu meminta sang istri melakukan hubungan intim bersama pria lain. Mereka mencari partner swing secara daring. Profesi swinger yang mereka temui beragam, mulai dari guru, dokter, hingga bankir. “Tak ada jatuh cinta, tak ada cemburu,” akunya.
Selain mendapat kenikmatan menonton pasangan berhubungan seks dengan orang, ada beberapa alasan lain pada pelaku swinger. Salah satunya karena ketidakpuasan seksual dari pasangan resmi. Bisa jadi karena lelah atau sedang dalam masa jeda setelah melahirkan.
Dalam paparan di laman Our Everyday Lifeyang mengutip tulisan "The History of Swinging from the 1950's Until Now" karya Dr. Robert McGinley, di Amerika Serikat, pertukaran istri menjadi terkenal pada tahun 1950-an seiring dibukanya klub swinger di California dan New York pada dekade 1970-an.
Terlepas dari “keuntungan” yang didapat dari menjadi pasangan swinger, aktivitas swinging cukup berisiko. Syarat yang diajukan oleh penulis The Guardian di atas menunjukkan ia menjaga diri dari risiko penyakit menular seksual (STD) yang bisa ditimbulkan.
Mereka juga berisiko terkena HIV yang merupakan virus penyebab AIDS. Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi.
Swinger juga berisiko menderita klamidia, penyakit menular seksual yang salah satunya disebabkan hubungan seks tanpa kondom. Masalah kesehatan ini kerap diderita perempuan muda yang aktif secara seksual. Terakhir, gonore atau kencing nanah, yang umumnya disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae.
Dalam penelitian berjudul "Older and swinging; need to identify hidden and emerging risk groups at sti clinics" yang terbit di British Medical Journal (2010) tersebut, tim peneliti mengumpulkan data dari sembilan ribu kunjungan pasien di tiga klinik kesehatan pada 2007 hingga 2008 di Limburg Selatan.
Hasilnya, sebanyak 50 persen diagnosis penyakit klamidia dan gonore ditemukan pada swinger. Jumlah ini lebih besar dibanding yang diidap oleh kelompok laki-laki gay, yakni sebesar 31 persen. Secara keseluruhan, satu dari 10 swinger menderita klamidia, sementara satu dari 20 swinger dinyatakan positif gonore.
Pada laki-lakidi atas 45 tahun, prevalensi penyakit menular seksual pada swinger jauh lebih tinggi daripada yang heteroseksual (2,4 persen) namun lebih rendah daripada yang gay atau biseksual (14,6 persen).
Sementara pada perempuan di atas 45 tahun, prevalensi penyakit yang diidap swinger sekitar 14-15 poin lebih tinggi daripada pekerja seks (2,9 persen) dan yang berorientasi heteroseksual (4 persen).
Sayangnya, karena melakukan aktivitasnya secara tersembunyi, penyakit menular seksual pada para swinger cenderung sulit teridentifikasi. Bahkan banyak di antara mereka kurang menyadari penularan penyakit tersebut.
Swingers Date Club, situs kencan untuk swinger, memperkirakan ada jutaan swinger di seluruh dunia. Di Belanda saja ada 30 ribu orang telah menjadi anggota dan mengunggah profil daring dalam situs tersebut.
Masih dikutip dari The Swinger Symbol, Dr. Cynthia Krause, asisten profesor klinis kebidanan dan ginekologi di New York City, mengatakan banyak swinger tidak mempraktikkan seks yang aman.
Padahal, menggunakan kondom amat disarankan jika melihat risiko klamidia dan gonore pada swinger lebih tinggi dibanding kelompok lain. Setidaknya, kondom efektif dalam mencegah penyakit menular seksual yang disebarkan oleh cairan tubuh, terutama klamidia, gonore, dan HIV.
Meski demikian, tak semua bisa dicegah oleh kondom. “Ia kurang efektif dalam mencegah infeksi yang menyebar melalui kontak kulit ke kulit, seperti virus HPV, kutil kelamin, kanker serviks, dan herpes,” kata Krause.
*Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.
Editor: Maulida Sri Handayani & Lilin Rosa Santi