tirto.id - Mantan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, mengancam mogok sidang setelah permohonan eksepsinya ditolak Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Fredrich mengajukan keberatan atas dakwaan jaksa yang menyebutnya melanggar Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tentang Menghalangi Penyidikan, tapi hakim menolak.
"Jadi kalau majelis hakim berpendapat begini, kami tidak akan menghadiri sidang lagi. Silahkan, Pak. Ini hak saya sebagai terdakwa," kata Fredrich kepada Majelis Hakim, Senin (4/3) kemarin.
Ahli Pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, mengatakan rencana mangkir Fredrich akan sia-sia karena hakim bisa memerintahkan jaksa untuk menghadirkan paksa terdakwa.
Hal itu diatur dalam Pasal 154 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: "hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya."
Jika pemaksaan tidak dilakukan, kata Hibnu, maka peradilan tidak bisa dilanjutkan karena tidak memenuhi asas, yakni didengar oleh seluruh pihak. "Ketika semua [terdakwa] tidak hadir, ya harus ditunda. Ditunda sampai Fredrich mau hadir. Ini suatu hal yang baru ini memang," ujarnya.
Ia juga menganggap bawah ketidakhadiran Fredrich justru dapat memperberat hukuman yang menjeratnya. Lantaran itu lah dibutuhkan sikap kooperatif Fredrich dalam menjalani seluruh proses hukum.
"Saya kira harus dipahami itu. Makanya di sini jeli-jelinya penuntut umum untuk bisa menghadirkan Frederich karena kalau tidak, jalannya persidangan bisa lambat," tutur Hibnu.
Dugaan Pelanggaran Etik
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menyayangkan sikap Fredrich Yunadi yang mengancam tidak hadir di persidangan. Sekretaris Komisi Pengawas Peradi Victor Nadapdap mengatakan, hal tersebut menunjukkan ketidakpahaman Fredrich sebagai seorang yang mengaku "mengerti hukum."
Menurut Victor, Fredrich seharusnya melakukan banding setelah sidang pemeriksaan pokok perkara selesai, bukan malah mengajukan nota keberatan di sela pembacaan putusan dan mengancam mangkir.
"Dia bisa banding, tapi nanti bersama pokok perkara dan selanjutnya hakim akan memanggil saksi-saksi untuk pemeriksaan lebih lanjut untuk pokok perkara itu. Seperti itu lah hukumnya. Kalau dia enggak datang, dasarnya apa dia?" kata Victor kepada Tirto.
Victor juga berpendapat bahwa terdakwa tak memiliki hak untuk mangkir melainkan hak untuk mungkir (tidak mengakui, mengiyakan atau membantah) dalam persidangan. Hal itu diperbolehkan sebab dalam Pasal 158 KUHAP, dijelaskan bahwa "hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa."
"Orang sakit saja bisa dipaksa oleh pengadilan, ini diperiksa di persidangan. Kenapa tidak?" tegas Victor.
Menurut Victor, sikap Fredrich yang tak kooperatif juga dapat dikategorikan pelanggaran kode etik dan mempengaruhi statusnya sebagai seorang pengacara. Namun, hal itu baru bisa dinilai setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperbolehkan Peradi melakukan pemeriksaan terhadap Fredrich.
"Tidak menghargai peradilan bisa [melanggar kode etik]. Tapi kami harus periksa persisnya bagaimana," kata Victor. "Komisi Pengawas harus memeriksa yang bersangkutan, harusnya klarifikasi ke dia. Cuma ya itu, tolong KPK buka akses ke kami supaya bisa periksa Fredrich," tambahnya.
Jaksa Tetap Hadirkan Fredrich di Persidangan
Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah, mengatakan bahwa ancaman Fredrich pada Senin lalu tak akan membuat kasus yang menjeratnya ditunda, apalagi ditutup. Sebab, jaksa akan tetap menghadirkannya di persidangan dengan atau pun tanpa paksaan.
Sebab hal serupa juga pernah terjadi ketika penyidik berencana melimpahkan berkasnya ke tahap penuntutan. Waktu itu, Fredrich mangkir saat memanggilnya untuk diperiksa atas kasus yang menjeratnya. Akhirnya, KPK membuat berita acara penolakan pelimpahan berkas dan melimpahkan berkas tersebut ke jaksa
"Saya kira tidak [tidak bakal datang], ya. Tentu [Fredrich] akan hadir di sidang berikutnya. Jaksa KPK akan membawa terdakwa ke ruang sidang, sesuai dengan hukum acara (pidana) yang berlaku," kata Febri saat dikonfirmasi Tirto.
Mantan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu berharap Fredrich kooperatif sebagai seorang pengacara yang seharusnya paham bagaimana caranya menghormati persidangan.
"Kalaupun terdakwa diam di sidang, meskipun hal tersebut tidak akan mempengaruhi KPK dalam membuktikan, tapi hal tersebut akan merugikan terdakwa sendiri karena hukum sudah memberikan ruang untuk membuktikan atau menyangkal bukti KPK," kata Febri.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Hendra Friana