tirto.id - “Kita akan mengikuti dua aturan sederhana: BELI BARANG AMERIKA & PEKERJAKAN ORANG AMERIKA!”
“Kita akan mengembalikan lagi lapangan kerja. Kita akan mengembalikan lagi perbatasan. Kita akan mengembalikan lagi kesejahteraan – dan kita akan membawa kembali mimpi kita!”
Begitu unggahan Donald Trump di Twitter melalui akun @realDonaldTrump, setelah pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat. Ia seolah-olah ingin membakar semangat patriotisme dengan menjunjung tinggi produk-produk dan SDM Amerika Serikat. Itu sesuai dengan slogan pemerintahannya "America First"
Jika menilik data yang dirilis, tingkat pengangguran di AS sebenarnya sudah turun tajam. Angka pengangguran memang sempat mencapai puncaknya pada 2009 di angka 9,9 persen, seusai negara Adidaya tersebut dihantam krisis secara besar-besaran. Secara perlahan terus turun dan per Desember 2016 hanya sekitar 4,7 persen.
Sementara pertumbuhan ekonomi AS semakin membaik. Jika pada 2009 sempat mengalami kontraksi ekonomi hingga 2,8 persen, secara berangsur angkanya sudah membaik. Per akhir 2015 sudah mencapai 2,6 persen dan kuartal III-2016 sudah mencapai 3,5 persen.
Pernyataan Trump di hari inaugurasinya itu seakan pengulangan dari ancaman yang pernah dilontarkannya di Twitter, beberapa pekan sebelum pelantikannya. Ia mengancam Ford yang hendak memindahkan pabriknya ke Meksiko. Boeing dan Lockheed Martin dikritiknya habis-habisan karena dianggap menjual barang kemahalan. Ia juga membangunkan macan tidur dengan memicu konflik dengan Cina sehingga memunculkan kekhawatiran terjadinya perang dagang.
Gejolak Pasar Finansial
Semua kontroversi itu bahkan sudah dimulai ketika Donald Trump belum resmi menjadi Presiden Amerika Serikat (AS). George Soros pun menyebut pasar finansial akan memasuki masa-masa gelap akibat serangkaian ketidakpastian setelah kedatangan Trump.
“Saat ini ketidakpastian adalah di puncak. Saya tidak berpikir pasar akan berjalan dengan sangat baik,” kata George Soros kepada Bloomberg News, di sela-sela World Economic Forum di Davos.
Trump dan segala kontroversinya memang selalu membuat pasar finansial dan dunia usaha terkejut-kejut. Saat pemilihan presiden berlangsung, pasar saham bahkan naik turun mengikuti tren kemenangan Trump.
Sebelum pilpres AS, investor cenderung berpihak pada Hillary Clinton. Optimisme membuncah bahwa Hillary akan memenangkan pertarungan melawan Trump. Polling demi polling yang memenangkan Hillary membuat pasar semakin optimistis.
Pada Senin, 7 November, sehari sebelum pemilihan presiden, Dow Jones mencatat hari terbaiknya dalam delapan bulan terakhir, setelah FBI membebaskan Hillary dalam kasus surat elektronik pribadinya. Pada Selasa, 8 November, pasar masih positif dengan indeks Dow Jones ditutup menguat ke 18.332,740.
Namun pada Rabu (9/11/2016) pagi, pasar saham di Asia dan Eropa langsung jatuh merespons kemenangan Trump yang sangat mengejutkan, setelah pengumuman hasil Pilpres AS yang berlangsung Selasa (8/11/2016), Indeks berjangka Dow Jones sempat tumbang hingga 800 poin. Sebagai catatan, perhitungan hasil pilpres baru dilakukan setelah pasar saham AS tutup.
Anjloknya indeks berjangka itu ternyata tidak berkepanjangan. Pada perdagangan reguler pada 9 November, bursa Wall Street mulai kalem, sebelum akhirnya ditutup menguat ke level 18.589,689. Penguatan Dow Jones terjadi setelah Trump membuat pidato yang menjanjikan kerja sama yang erat, termasuk dengan negara-negara lain. Ia menjanjikan belanja infrastruktur besar-besaran. Janji itu membuat saham pertambangan dan konstruksi meningkat.
Ancaman via Twitter
Investor bisa jadi mulai tenang karena janji-janji Trump yang cukup menjanjikan. Namun, tidak demikian dengan dunia usaha khususnya perusahaan-perusahaan besar. Melalui cuitannya di Twitter, Trump berhasil “mempermalukan” sejumlah korporasi besar. Ia mengancam Toyota, Ford, General Motors (GM) hingga Boeing, Lockheed Martin. Mereka dilarang keras memindahkan pabrik dan dikritik karena dianggap menjual barang terlalu mahal.
Sebagai presiden negara Adidaya, dengan pengikut di Twitter mencapai 20,4 juta, apa yang diunggah Donald Trump melalui akunnya @realDonaldTrump menjadi sangat berpengaruh. Sudah banyak perusahaan besar yang pontang-panting dan akhirnya mengumumkan perubahan rencananya. Padahal, informasi yang dicuitkan itu tidak selamanya berbasiskan data yang benar. Misalnya dalam kasus kritikan terhadap Toyota.
“Toyota Motor mengatakan akan membangun pabrik baru di Baja, Meksiko, guna membangun mobil Corolla untuk AS. TIDAK BOLEH! Membangun pabrik di AS atau membayar pajak perbatasan (border tax) yang besar.” cuit Trump pada 5 Januari.
Sesaat setelah cuitan itu, harga saham Toyota langsung turun hingga 0,5 persen.
Toyota mengumumkan akan membangun pabrik baru di Guanajuato pada April 2015. Pabrikan dari Jepang itu menegaskan, pabrik baru di Meksiko tidak akan mengurangi jumlah tenaga kerja di pabrik AS. “Toyota berupaya untuk bekerja sama dengan pemerintahan Trump untuk melayani bagi kepentingan terbaik konsumen dan industri otomotif,” jelas juru bicara Toyota, Scott Vazin.
Trump rupanya bingung antara pabrik Toyota yang sudah ada di Baja, dengan rencana pembangunan di Guanajuato, di mana konstruksinya baru dimulai pada November. Reuters menuliskan, pabrik Toyota di Baja memproduksi sekitar 100.000 truk pick up dan truk per tahun. Pabrik di Guanajuato rencananya untuk memproduksi Corolla dan memiliki kapasitas tahunan hingga 200.000 unit ketika selesai dibangun pada 2019, untuk pengalihan produksi mobil kecil dari Kanada.
Toyota sudah membenamkan investasi yang tidak kecil. Mereka mengoperasikan 10 pabrik di 8 negara bagian dan merakit lebih dari 1,3 juta kendaraan di AS setiap tahunnya. Presiden Toyota, Akio Toyda mengatakan bahwa pihaknya belum berniat untuk mengurangi produksi di Meksiko. Mereka masih akan menunggu pelantikan Trump, sebelum akhirnya memutuskan berbagai perubahan.
Tidak hanya kepada perusahaan Jepang, Trump juga mengkritik keras perusahaan asli Amerika. Misalnya kepada Boeing yang dianggapnya membuat pesawat yang terlalu mahal.
“Boeing membuat 747 Air Force One baru untuk presiden berikutnya, tetapi biayanya di luar kontrol, lebih dari 4 miliar dolar. Batalkan pemesanan!” – Donald Trump pada 6 Desember 2016.
Pada Januari, Boeing memang memenangkan kontrak awal untuk pengadaan Air Force One baru. Reuters melaporkan bahwa nilai penggantian 2 Air Force One hanya 1,65 miliar dolar. Departemen Pertahanan sebelumnya melansir angka anggaran sebesar 2,8 miliar dolar hingga tahun fiskal 2021. Sementara Government Accountability Office sebelumnya mengatakan bahwa total biaya untuk Air Force One bisa mencapai 3,2 miliar dolar. Gedung Putih menyatakan bahwa angka yang disampaikan oleh Trump tidak sesuai dengan kesepakatan Boeing dan Departemen Pertahanan AS.
Meski data dan fakta tidak sesuai, tetap saja cuitan Trump membuat harga saham Boeing babak belur. Sebelum pernyataan Trump, harga saham Boeing tenang-tenang saja di level 152,16 per saham. Pernyataan Trump sempat membuat harga saham Boeing anjlok hingga 1 persen sebelum akhirnya pulih lagi.
Sementara Ford juga mengumumkan pembatalan rencana membuat pabrik di Meksiko dan mengumumkan investasi senilai 700 juta dolar untuk pabrik di Michigan pada 3 Januari. Keputusan itu diambil setelah Trump mengkritik Ford melalui Twitter.
Namun, CEO Ford, Mark Field menegaskan bahwa keputusannya itu merupakan bagian dari penyesuaian atas perubahan kondisi pasar, bukan karena desakan Trump. Namun kepada Fortune, ia mengakui bahwa rencana Trump terkait pajak membuat mereka termotivasi untuk menginvestasikan lagi dananya untuk produksi di AS.
Menjelang pelantikan Trump, sejumlah perusahaan mengumumkan penambahan lapangan kerja. NBC News melansir, GM menyatakan akan menambah 1.500 lapangan kerja, Wal-Mart 10.000 lapangan kerja, ribuan orang dari Hyundai. Sementara Bayer akan mempertahankan 9.000 dan akan menambah 3.000 dengan syarat pemerintah AS akan memberikan persetujuan untuk merger dengan Monsanto.
Amazon mengumumkan akan menambah 10.000 lapangan kerja, terutama untuk mengisi kebutuhan gudang. Hal itu diumumkan setelah CEO Amazon, Jeff Bezos bertemu dengan Trump di Trump Tower sebelum Natal.
Donald Trump memang menjanjikan pemotongan pajak dan beragam intensif kepada perusahaan yang mau berinvestasi dan membuka lapangan kerja di AS. Itulah yang membuat perusahaan-perusahaan tergiur. Namun, sebagian lagi akhirnya memutar haluan investasinya untuk menghindari public shaming oleh Trump di Twitter.
“Ketika produsen otomotif seperti Toyota mengumumkan strategi baru sebagai respons atas apa yang disebut ‘risiko Trump’, industri akan merasa gugup dan bertanya: ‘Siapa berikutnya?’” kata Kim Jin-woo, analis dari Korea Investment & Securities Co, kepada Bloomberg.
Terkena public shaming di Twitter akan berarti citra buruk, muncul krisis public relation yang bisa menyebabkan harga saham turun. Itu semua tentu tidak diinginkan, terutama oleh perusahaan-perusahaan yang sudah publik.
“Setiap orang sangat ketakutan menjadi subjek dari tweet,” kata Kristin Dziczek, Center for Automotive Research yang berbasis di Michigan kepada The Guardian.
“Terseret dalam penghakiman opini publik tanpa peringatan secara virtual bukan sesuatu yang seseorang ingin terlibat,” katanya.
Menurut survei NBC/Wall Street Journal poll, 69 persen responden meyakini bahwa cuitan Trump adalah buruk. Sepertinya, semua orang harus mulai membiasakan diri untuk melihatnya selama empat tahun ke depan.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Suhendra