tirto.id - Campur tangan dan desakan kepentingan anti tembakau asing dalam penyusunan kebijakan pertembakauan nasional membuat ekosistem industri hasil tembakau (IHT) terus terpuruk. Petani tembakau dan legislator minta pemerintah mengedepankan kepentingan nasional guna melindungi ekosistem pertembakauan.
Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo menjelaskan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang berlaku saat ini sudah mengatur ekosistem pertembakauan di Indonesia. Dia mengklaim aturan itu mencerminkan poin-poin diatur dalam kerangka pengendalian tembakau global seperti Framework Convention of Tobacco Control (FCTC).
"PP 109/2012 yang berlaku saat ini pun sudah cukup dalam mengendalikan ekosistem pertembakauan. Dengan adanya rencana revisi untuk regulasi pengendalian yang semakin ketat lagi, pasti akan mengancam keberlangsungan seluruh ekosistem tembakau,” ujarnya di Jakarta, Senin (25/7/2022).
AMTI meminta kepada pemerintah untuk menjamin dan melindungi ekosistem IHT melalui penyusunan kebijakan yang transparan serta partisipatif. Mereka juga meminta untuk pemerintah menghentikan proses revisi PP 109/2012, karena akan menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan hidup ekosistem IHT.
AMTI juga mendesak pemerintah untuk bersikap independen dari pihak-pihak yang mendiskreditkan IHT. Melihat fakta hari ini, proses revisi masih berlangsung secara tertutup serta hanya melibatkan kelompok- kelompok yang mengatasnamakan kesehatan dan tidak akan bertanggung jawab terhadap kelangsungan mata rantai sektor tembakau di Indonesia.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Soeseno mengatakan kebijakan-kebijakan pertembakauan yang terbit karena tekanan kelompok anti tembakau seringkali bersifat sangat eksesif. Antara lain, kenaikan cukai yang sangat tinggi dan tidak terprediksi, yang dapat melemahkan seluruh segmen dalam ekosistem IHT. Berbagai kebijakan tersebut berdampak juga ke hulu mata rantai, serapan panen berkurang, serta penurunan produktivitas.
“Regulasi pertembakauan yang ditetapkan sangat eksesif, dan petani menjadi sasaran yang selalu dirugikan. Oleh karenanya, kami akan terus menolak FCTC dan segala bentuk kepentingan-kepentingan dari luar yang ingin mengendalikan IHT di dalam negeri,” ungkapnya.
Saat ini, pengaruh dan tekanan kelompok anti tembakau asing juga mulai merembet ke sejumlah LSM lokal yang menjadi perpanjangan tangan kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam kesempatan serupa, Anggota Komisi IX DPR RI Yahya Zaini menjelaskan jejaring kelompok anti tembakau ini tidak hanya mengintervensi kebijakan makro, melainkan juga melakukan kampanye-kampanye hitam terhadap ekosistem IHT untuk mendorong kebijakan anti tembakau di tingkat daerah.
“LSM-LSM di lokal ini juga misalnya mendorong penerapan Perda KTR (Kawasan Tanpa Rokok). Saat ini yang paling berat ada pada dorongan penerapan Perda KTR DKI Jakarta. Kita harus bersatu dan kompak, karena dorongan Perda KTR ini tidak murni dari pemerintah daerah, ada desakan asing. Kami di DPR memiliki bukti bagaimana Bloomberg (Philanthropies) memengaruhi penerbitan perda-perda KTR,” jelas Yahya.
Yahya juga mendorong para pelaku dalam ekosistem IHT untuk aktif berjuang dan kritis, baik dari aspek politik, hukum, dan juga sosial. Ini dibutuhkan untuk menangkal tekanan-tekanan kelompok anti tembakau asing dalam mendorong kebijakan pertembakauan yang tidak berpihak pada IHT nasional.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin