tirto.id - Politikus senior Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais menggungat Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Amien menggugat bersama 24 tokoh, beberapa di antaranya adalah Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin, Sri Edi Swarsono, mantan Menteri Kehutanan MS Kaban, mantan Penasihat KPK Abdullah Hemahua hingga Marwan Batubara dan Hatta Taliwang.
Dalam dokumen gugatan yang diakses Tirto dari laman Mahkamah Konstitusi, Kamis (16/4/2020), pemohon menuntut Pasal 2 ayat 1 huruf a angka 1, 2 dan angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Perppu Nomor 1 tahun 2020 dibatalkan karena bertentangan dan tidak punya kekuatan hukum mengikat.
“Menyatakan Pasal 2 ayat 1 huruf a angka 1, 2 dan angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan (lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 8) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi salah satu petitum dalam berkas gugatan pemohon [PDF].
Dalam dokumen sebanyak 34 halaman yang diterima MK, Rabu (14/4/2020), pemohon menyoalkan pasal-pasal tersebut dengan sejumlah argumen. Pemohon beralasan Pasal 2 Perppu 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 23 dan 23 A UUD 1945.
Selain itu, Perppu disebut melanggar ketentuan pemberian wewenang batas defisit anggaran dan bertentangan dengan karakter periodik UU APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat 1 UUD 1945.
Pemohon juga beralasan, pengaturan batas minimal defisit menjadi hal buruk dalam penyusunan APBN.
“Bahwa diaturnya batas minimal defisit tanpa menentukan batas maksimal sama saja dengan memberikan cek kosong bagi pemerintah untuk melakukan akrobat dalam penyusunan APBN setidaknya sampai dengan 3 tahun ke depan atau tahun anggaran 2022," demikian dikutip Tirto pada poin A nomor 7 gugatan tersebut.
Menurut pemohon, pemerintah bisa menggunakan skema UU APBNP atau menggunakan skmea belanja darurat tanpa harus menerbitkan Perppu Nomor 1 tahun 2020. Pemohon khawatir kalau ada agenda politik terutama legitimasi pinjaman utang ke luar negeri.
Mereka juga menyinggung Pasal 27 Perppu 1 Tahun 2020 yang memberikan imunitas hukum bagi para pelaksana Perppu.
Kemudian, mereka juga melihat Pasal 27 Perppu 1 tahun 2020 melanggar ketentuan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945. Menurut pemohon, Pasal 27 telah membuat legislatif tidak bisa bekerja sesuai Pasal 23E ayat 2 UUD 1945.
Pemohon juga beranggapan Pasal 28 Perppu 1 tahun 2020 juga bertentangan dengan Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 jo putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Pemohon beralasan Perppu 1 Tahun 2020 bisa dibatalkan jika permasalahan pandemi COVID-19 berakhir.
Kemudian, persyaratan kegentingan dalam Perppu 1 tahun 2020 meminta defisit anggaran selama 3 tahun padahal pemerintah wajib menyelesaikan pandemi COVID-19. Pemohon menyinggung aksi pemerintah sebagai bailout dan khawatir bailout akan berakhir kepada korupsi.
Selain itu, pemohon mengacu pada putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 bahwa Perppu 1 tahun 2020 harus memenuhi unsur kegentingan sesuai Pasal 22 ayat 1 UUD 1945.
Namun Pasal 28 Perppu 1 tahun 2020 justru mengesampingkan UU tertentu sehingga bertentangan dengan Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 jo putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Pemohon beranggapan bahwa Pasal 28 Perppu 1 tahun 2020 sebagai alat pemerintah berkuasa secara absolut.
"Pasal 28 Perppu 1 tahun 2020 jelas telah membuat wewenang presiden berlebihan dan berkembang menjadi kekuasaan absolut dan sewenang-wenang namun berlindung dari kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat 1 UUD 1945," demikian kutipan permohonan tersebut.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz