tirto.id - Amazon, raksasa e-commerce Amerika Serikat, sebagaimana diungkap Institute for Taxation and Economy Policy (ITEP), tidak membayar pajak federal atas keuntungannya senilai $11,2 miliar pada 2018.
DilansirThe Washington Post, maksud dari tidak membayar pajak federal ialah Amazon, sebagai perusahaan AS, memperoleh beragam keringanan pajak, seperti tax rebate, yang membuatnya tidak mengeluarkan kocek sedikitpun. Amazon, misalnya, memperoleh pengembalian pajak senilai $129 juta pada 2018.
Selain memperoleh keringanan dalam bentuk tax rebate, Amazon memanfaatkan celah dalam aturan perpajakan untuk meringankan tagihan mereka. Amazon, misalnya, memberikan sebagian sahamnya kepada para karyawan di luar pekerja eksekutif untuk memperoleh keringanan pajak penghasilan hingga beragam retribusi nasional. Dalam tubuh Amazon, sebagaimana diungkap The New York Times, lebih dari setengah karyawan menggenggam saham perusahaan.
Tentu saja, memiliki saham perusahaan bukan berarti memiliki kekuatan mengendalikan. Di Amazon, untuk dapat “bersuara” dalam tubuh perusahaan, seseorang setidaknya harus memiliki saham senilai $2.000. Menurut perkiraan ITEP, hasil dari praktik ini adalah lenyapnya $1 miliar dari tagihan pajak mereka.
Amazon menampik pertanyaan soal apakah perusahaannya menghindari pajak. “Amazon membayar semua pajak yang diwajibkan di AS dan setiap negara di mana kami beroperasi. Pembayarannya mencakup $2,6 miliar untuk pajak perusahaan dan $3,4 miliar piutang pajak dalam tiga tahun terakhir," juru bicara Amazon, Jodi Seth, kepada The Post.
Dari data yang dirilis Statista, Amazon, pada 2017, adalah salah satu perusahaan penyumbang pajak terbesar, jika didasarkan dari rasio pendapatan yang diperolehnya. Pada tahun itu, Amazon harus membayar pajak senilai $1,4 miliar alias 36,6 persen dari pendapatan mereka. Sementara itu, Alphabet, induk usaha Google, misalnya, harus membayar pajak senilai $4,7 miliar, yang senilai dengan 19,3 persen atas pendapatan mereka.
Dalam analisis yang dilakukan Bank of America Merrill Lynch, rata-rata perusahaan AS, khususnya yang terdaftar dalam S&P 500 Index, membayar pajak sebesar 19,3 persen dari penghasilan yang mereka peroleh.
Menurut aturannya sendiri, tarif pajak yang dikenakan pemerintah federal AS ialah 35 persen dari pendapatan. Perbedaan persentase yang terjadi pada tubuh-tubuh perusahaan dipengaruhi banyak faktor, termasuk keringanan pajak dan besaran pajak yang berbeda di tiap-tiap negara yang jadi wilayah kerja.
Sejak Donald Trump naik ke kursi kepresidenan, tarif pajak perusahaan di AS diturunkan menjadi hanya 15 persen. Kebijakan itu efektif diterapkan pada 2019.
Presiden Trump, sebagaimana diberitakan BBC, menyebut pemotongan pajak yang ditetapkannya merupakan yang terbesar dalam sejarah Amerika. “Kami telah melakukan pemotongan pajak terbesar dalam sejarah. Lebih besar dibandingkan kebijakan pemotongan pajak yang dilakukan Presiden Ronald Reagen. Pokoknya, lebih besar dari pemotongan pajak apapun,” demikian Trump.
Namun, dalam penelusuran BBC, pemotongan pajak era Trump hanyalah yang terbesar kedelapan. Ini dihitung berdasarkan nilai PDB yang dimiliki Amerika Serikat saat ini.
Meski tidak sebesar sesumbar Trump, penurunan persentase pajak jelas berpengaruh besar bagi perusahaan. Apple, misalnya, pada 2017 harus membayar pajak senilai $15,7 miliar pada Pemerintah AS dan berbagai negara yang jadi tempat operasionalnya, atas ketentuan pajak sebesar 26,6 persen yang dibebankan padanya. Jika kebijakan Trump telah diterapkan, pencipta iPhone dan iPad itu bisa menghemat uang senilai $6 miliar.
Selain memperoleh tax rebate ataupun “bermain-main dengan aturan”, ada beragam cara lain yang bisa dilakukan perusahaan untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar. Yang paling populer ialah melarikan duit perusahaan ke perusahaan-perusahaan cangkang yang didirikan di negara tax haven alias suaka pajak.
Irlandia merupakan negeri yang umum dijadikan tempat parkir duit perusahaan-perusahaan dunia. Mengapa Irlandia? Negara ini menerapkan tarif pajak yang kecil. Di AS, pajak perusahaan dipatok sebesar 35 persen, sementara Irlandia hanya mematok tarif pajak sebesar 12,5 persen.
Pada perusahaan yang berhubungan dengan paten atau karya intelektual, pemerintah Irlandia hanya mematok pajak 6,25 persen. Bagi perusahaan teknologi, ini tentu sangat menguntungkan, karena dekat dengan paten.
Apple, misalnya, pada 2014, melarikan uang senilai $181,1 miliar ke tiga perusahaan cangkang yang didirikannya. Microsoft, di sisi lain, memilih memboyong uang senilai $108,3 miliar ke 5 perusahaan cangkang agar selamat dari kejaran petugas pajak.
Selain itu, Google, pada 2016, misalnya, hanya membayar pajak sebesar £36,4 juta pada Pemerintah Inggris. Padahal, pendapatan Google di kerajaan Ratu Elizabeth itu mencapai £1 miliar. Namun, dari hasil perhitungan laba sebelum pajak, Google mengklaim hanya memperoleh uang senilai £148 juta. Dalam laporan The Independent, angka £148 juta tercipta atas strategi “complex accounting structure” yang dilakukan Google di Inggris.
Lalu, bagaimana soal urusan pajak perusahaan IT Indonesia?
Di Indonesia belum ada aturan yang khusus tentang pemungutan pajak pada perusahaan IT. Namun, di dunia e-commerce, dunia yang dinaungi Amazon, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Dalam aturan yang dikeluarkan Sri Mulyani tersebut, penyedia platform maupun penjual yang memanfaatkan platform terkena pajak.
Pada pengguna platform, misalnya, dikenakan kewajiban terkait PPh sebesar 0,5 persen dari omzet yang tidak lebih dari Rp4,8 miliar. Sementara bagi pengguna platform yang beromzet melebihi angka tersebut, akan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang memiliki aturannya tersendiri.
Untuk platform, selain dipungut pajak, mereka pun diberi kewenangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang dibebankan pada penggunanya.
E-commerce di Indonesia umumnya masih berupa entitas privat. Sulit untuk melacak berapa pembayaran pajak yang telah mereka lakukan. Bukalapak, melalui Evi Andarini, Public Relation Manager Bukalapak, menolak memberi komentar terkait pajak Bukalapak.
Sementara itu, Tokopedia, lewat VP of Public Policy & Government Relation Tokopedia, Astri Wahyuni, tidak merinci berapa pajak yang telah dibayarkan Tokopedia. Namun, ia menjawab diplomatis bahwa perusahaannya "merupakan wajib pajak yang taat membayar pajak".
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani