Menuju konten utama

Amar Pengganda Kaset Pita: Jaya karena Bajakan, Terselamatkan Punk

Amar sempat jaya saat kaset bajakan sedang banjir di pasaran. Kini ia sudah beralih, dari pop dan dangdut ke punk serta sejenisnya.

Amar Pengganda Kaset Pita: Jaya karena Bajakan, Terselamatkan Punk
Amar memantau proses duplikasi kaset. Memastikan semua panel merekam suara dengan sempurna. (FOTO/Dok. Amar)

tirto.id - Ruangan berukuran 3x6 meter itu tak lazim sebagai ruang tamu kecuali ada foto keluarga di dinding seperti banyak rumah lain. Televisi, cangkang kaset, mesin penghapus suara, pemutar kaset, mesin mastering, dan mesin duplikasi berjubel. Di sanalah Amar bekerja berjam-jam memperbanyak kaset.

Hari itu pesanan kaset sedang kosong dan Amar punya banyak waktu memikirkan hal lain. Ia berencana membuat video tutorial merakit mesin duplikasi kaset dan mengunggahnya ke Youtube, sebagai sarana promosi jasa duplikasi sekaligus jualan mesin. “Gue mau bikin yang 60 [panel]. Tapi nunggu modal dulu dah,” ujar Amar di kediamannya di Ciledug, Kota Tangerang, Rabu 18 November 2020.

Sudah 26 tahun Amar menekuni jasa duplikasi kaset dan kerap menghadapi pertanyaan: masih adakah peminatnya ketika medium musik sudah beralih ke cakram padat dan kini digital? Terkadang ia menjawab dengan senyum, tak jarang dengan menunjukkan puluhan cangkang kaset kosong siap produksi.

Ia masih cukup waras untuk tidak menjual sesuatu yang tak ada peminatnya. “Gue jelasin, gue sudah enggak bikin [kaset] bootleg lagi. Sekarang bikinnya musik begini. Begitu didengerin, mereka kaget,” ujar Amar berseloroh. “Makan tuh musik punk.”

Sejak 2008, Amar memutuskan memproduksi kaset dari komunitas--paling sering dari kalangan punk. Ia tidak lagi membajak album pop dan dangdut. Selain peminatnya tak ada, Amar kapok berurusan dengan polisi.

Kontrakan Amar di Cideng menjadi saksi pertama penyitaan mesin duplikasi pada 1996 oleh kepolisian. Amar tak jera. Ia merakit mesin duplikasi kembali pada tahun yang sama dan polisi kembali menyitanya dan Amar dipenjara selama dua hari dua malam. Penyitaan pamungkas terjadi pada 2005. Ketika itu polisi menyita alat produksi terbaik Amar, mesin berkapasitas 100 panel yang mampu memproduksi ratusan hingga ribuan kaset dalam hitungan hari.

Setelah itu ia sempat menganggur beberapa bulan. “Tapi gue bikin lagi saja sampai sekarang,” ujar pria kelahiran 1970 itu. “Enggak pusing gue soal rakit mesin.”

Untung dengan Membajak

Amar menyukai pelajaran elektronika ketika masih menjadi murid SMP di Kuningan, Jawa Barat. Ia mengetahui jalur kelistrikan dan bisa membuat lampu hingga radio. Tapi sekolah ternyata terlalu membosankan. Amar merasa cukup berilmu sampai kelas 2 dan memutuskan merantau ke Jakarta pada 1985.

Di ibu kota, Amar bekerja serabutan: ikut pengrajin kayu, percetakan, dan menjadi kurir jasa duplikasi kaset di Petojo, Jakarta Pusat. Pekerjaan terakhirlah yang membuka jalan sampai hari ini.

Melihat tempatnya bekerja banjir pesanan kaset, Amar tertarik membuka usaha sejenis. Si bos juga menyarankan Amar buka mandiri dengan membeli mesin duplikasi pabrikan, namun naluri teknik elektronik mendorongnya membuat mesin sendiri.

Suatu saat, mesin pabrikan milik si bos rusak termakan usia dan ia menugaskan seorang teknisi untuk merakit mesin sendiri. Amar mengenang teknisi itu sebagai orang yang jenius, namun kerjanya lamban dan mudah capek lantaran sudah berusia lanjut. Pesanan si bos mangkrak berbulan-bulan sementara uang terus mengalir ke teknisi. Si bos lalu menugaskan Amar untuk membantu sekaligus mengawasi kerja teknisi. Kesempatan bagus, pikir Amar, untuk belajar merakit mesin sendiri.

Amar mempelajari jalur kelistrikan beserta detail komponennya. Kadang ia diminta teknisi menyolder papan sirkuit cetak (PCB).

Suatu siang teknisi pergi belanja alat ke Glodok. Amar geratak dan menemukan buku catatan teknisi. “Ada skema mesin, gue catat. Sampai rumah gue beli alat-alat di Glodok,” ujarnya. Cerdik.

Dalam waktu satu bulan, Amar berhasil membuat mesin duplikasi sendiri dengan kapasitas 5 panel. Setelah disempurnakan, ia membuat untuk kapasitas 30 panel. Secara sembunyi-sembunyi, Amar membuka jasa duplikasi kaset bajakan. Target konsumen Amar adalah para pedagang di Glodok yang masih terbiasa memperbanyak rekaman melalui alat pemutar kaset.

Alat pemutar kaset memiliki kemampuan menggandakan, hanya saja jumlah panelnya terbatas sekitar satu-dua saja. Butuh waktu lama untuk menggandakan dalam jumlah ratusan hingga ribuan. Sedangkan Amar mampu menggandakan 100 kopi dalam 4 jam. “Hari ini naro [pesan] besok kelar,” demikian cara Amar menyakinkan.

Setelah pesanannya kian banyak, Amar keluar dari tempat kerja pada 1994. Si bos sempat heran dan menyangka Amar akan pulang ke kampung. Selama tiga bulan Amar tidak keluar rumah, ia menghindar dari radar si bos untuk mengerjakan pesanan album pop, dangdut, lagu anak, hingga ceramah Zainuddin MZ.

Untuk menambah pemasukan, Amar memberanikan diri menjadi produsen kaset bajakan. Ia mulai dengan band-band rock mancanegara seperti Deep Purple, Queen, dan Scorpions. Seiring banyaknya permintaan, Amar juga membajak album-album pop dan dangdut lokal.

Ia mencetak sampul album sekaligus menyablon cangkang kaset sendiri, mengikuti standar album original, berikut dengan stiker lunas PPN palsu yang ia pesan dari seorang kawan.

Album-album itu terdistribusi skala perorangan dan pertokoan--salah satunya ke Glodok. Untuk skala perorangan, Amar bisa menyuplai 100-300 kopi; sementara toko bisa 1.000-3.000 kopi untuk waktu seminggu.

“Pas bootleg, cetak dikit mah diketawain. Waktu [debut album] Peterpan aja bisa 500 [kopi] untuk satu orang. Belum yang ecek-ecek 100-an. Seribu enggak sampai seminggu sudah habis,” ujarnya.

Amar juga menjual mesin rakitannya kepada para 'pemain' di Pulau Jawa dan Sulawesi. Ia menerima permintaan merakit mesin beragam panel. Untuk harga, mesin dengan 10 panel dipatok 5-6 juta. Semakin banyak panel hitung-hitungannya akan semakin murah.

Merujuk data Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekamanan Indoensia (PAPPRI), terjadi pembajakan kaset dan cakram padat sebanyak 700 juta kopi selama 2007, meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 400 juta kopi. Itu merugikan artis dan produser sebesar Rp 2,5 triliun.

Fase pembajakan turut mengubah kehidupan Amar menjadi tertutup pada orang lain terutama orang baru. Setiap transaksi dilakukan di luar rumah dan ia memanipulasi data diri. Ia tidak akan mengaku tinggal di Jakarta kepada para konsumennya. Dengan para tetangga, Amar mengaku sebagai pedagang sandal.

“Hidup jadi enggak ada tenangnya,” aku Amar.

Bertahan Hidup dengan Menggandakan Kaset Pita

Amar merakit mesin duplikasi kaset 24 panel dengan modal pelajaran elektronik di SMP. (tirto.id/Alfian Putra Abdi)

Terselamatkan Punk

Amirudin Hakiki, pemilik label rekaman Budjangan Kolektif Records, mendatangi Amar pada awal November kemarin. Ia membawa dua keping master album untuk digandakan: master album band lokal dan band asal Amsterdam, Belanda. Semua bergenre hardcore punk. Masing-masing album hanya diproduksi 20 kopi saja.

Amir kenal Amar dari kawan-kawan komunitasnya, sesama pegiat musik punk dan sejenisnya. Ia menggemari kaset karena mempunyai nilai keantikan.

Kehadiran Amar cukup membantu Amir, sebab jasa duplikasi kaset mulai punah dan harga produksi Amar murah. “Gua mulai duplikasi di dia dari masih harga Rp 7 ribu per kaset. Bisa bikin minimum juga,” ujar Amir.

Merosotnya popularitas kaset sejak 90-an akhir membuat pabrik-pabrik duplikasi--legal dan ilegal--ikut gulung tikar. Terakhir pabrikan legal CV Tropic di Bandung yang hanya bertahan sampai 2012. Pendapatan Amar pun terus menurun sejak 2000 hingga 2010. “2007 kaset kalah sama CD bajakan. Gue udah ada rencana mau berhenti,” aku Amar.

Seorang teman lama mengenalkan Amar ke kawanan punk di Bintaro, Tangerang Selatan. Masing-masing band dalam komunitas itu masih tertarik merilis album kaset. Amar mulai kebanjiran pesanan dari mereka, termasuk band-band asal Bandung. Rata-rata per band menggandakan paling sedikit 50 kopi sampai 350 kopi, jumlah yang tidak sebanding dengan apa yang dikerjakan Amar di masa lalu.

Namun karena punk, Amar berhenti menjadi pembajak kaset. “Sekarang gue enggak takut berurusan lagi sama polisi. Kan, musiknya punya anak-anak [kawanan komunitas]. Ada apa-apa tinggal gua kontak mereka,” ujarnya.

Amar juga mulai kedatangan pesanan dari berbagai komunitas: hip hop hingga reggae. Cakupan konsumennya tersebar dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Selain karena jasa duplikasi semakin langka, harga murah dan pesanan tanpa batas minimum membuat orang-orang memesan ke Amar.

Untuk kaset dengan durasi 60 menit ke bawah, Amar mematok harga Rp 14 ribu per kaset. Untuk durasi 60 menit sampai 90 menit, seharga 15 ribu per kaset. Jika cangkang ingin disablon, cukup bayar Rp 1 ribu untuk minimal 100 kopi.

Amar sadar ketika 'bermain' di ranah komunitas dengan pasar yang juga terbatas, ia tidak bisa memberikan harga tinggi karena akan memberatkan para konsumen.

Namun terkadang Amar menjadi korban penipuan oknum-oknum komunitas tak bertanggungjawab. Awalnya mendekati, kemudian memesan sekian kopi tanpa pembayaran dimuka. Begitu kasetnya selesai digandakan, si oknum menghilang dan ujung-ujungnya Amar terpaksa bekerja gratis. “Lucunya, orang begini kadang suka mesen lagi ke gua, tapi melalui orang lain,” katanya.

Persoalan lainnya mengenai ketersediaan bahan baku. Beberapa tahun terakhir, Amar mulai khawatir dengan stok pita dan busa yang perlahan menipis. Busa miliknya belum lama mengeras dan beberapa kali ia ditawari gulungan pita, tapi begitu dicek ternyata sudah berjamur.

Hanya ada dua hal yang dapat menghentikan Amar: habisnya bahan baku dan ketiadaan umur. Selebihnya ia akan terus menggandakan kaset.

Sambil terkekeh, ia mengaku: “Mau enggak mau gue harus bertahan, habisnya enggak ada keahlian selain ini. Dan, yang lain kan saingannya banyak. Ini kan jarang.”

Baca juga artikel terkait INDUSTRI MUSIK atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino