Menuju konten utama

Jalan Tengah Bagi Pengunduh Musik Bajakan

Selama ini, banyak orang sulit membedakan tentang apa itu pembajakan karya dan pencurian karya. Bagaimana Indonesia bisa belajar dari fenomena ini dan menyiasatinya?

Jalan Tengah Bagi Pengunduh Musik Bajakan
Ilustrasi pemusnahan CD bajakan. GETTY IMAGES

tirto.id - MusicWatch, sebuah firma yang fokus pada industri musik di Amerika, pada 2016 menurunkan laporan bahwa ada 57 juta orang di Amerika yang berbagi musik secara ilegal. Melalui data person to person (P2P), mereka membagi musik yang diunduh atau diretas dari CD untuk kemudian dibagikan kepada orang lain. Beberapa di antaranya meretas lagu tersebut dari layanan lagu streaming yang ada. Temuan tersebut juga menunjukkan beberapa tren selera musik dan perilaku belanja para pendengarnya.

Banyak dari pengunduh ilegal ini yang kemudian membeli secara legal musik yang mereka sukai. Polanya: mereka mengunduh album di situs file sharing, mendengarkan lagunya secara utuh, jika kemudian bagus atau disukai, para pengunduh ini akan membeli lagu musisi tersebut secara legal. MusicWatch mengajak 1.000 partisipan di Amerika dari rentang usia 13-50 tahun yang melakukan pengunduhan musik secara ilegal. Hasilnya dari 57 juta pengunduh ilegal, 25 juta di antaranya rela membeli musik yang disukai dengan kualitas lebih baik.

Bagaimana perspektif hukum di Indonesia tentang musik yang diunduh secara ilegal? Putri Fallissa, konsultan hukum ekonomi kreatif & hiburan, mengatakan kita perlu paham konsep ilegal dan tidak. Menurut Putri, pembajakan di Indonesia hubungannya adalah dengan hak ekonomi. “Kalau gue menggandakan kaset tanpa izin, terus gue jual lagi, itu pembajakan. Itu ilegal. Tapi kalo gue rekam lagu-lagi dari kaset untuk bikin mixtape, untuk keperluan pribadi saja, atau kasih 1-2 teman, itu relatif enggak apa-apa,” katanya kepada Tirto.

Masalah muncul jika file itu dibagikan lewat situs berbagi data P2P (person-to-person) seperti Torrent. Ada perdebatan soal bagaimana mengukur niat seseorang, cara mendapatkan data yang kemudian dibagikan, dan pemanfaatan data yang dibagikan tersebut. Apakah ia digunakan sendiri atau dijual kembali? Pemilik situs Torrent merasa mereka tidak membajak, sebab yang mereka lakukan adalah memfasilitasi pengguna untuk berbagi file yang sudah mereka punya, tanpa biaya apapun dengan niat berbagi data non-komersil.

Radiohead adalah salah satu band yang dikenal membagikan musik mereka secara gratis di situs Torrent. Mereka secara terbuka membagikan karya mereka untuk didengarkan dan diunduh seluas-luasnya. Dari data unduhan mereka bisa mengetahui negara atau daerah mana saja yang secara spesifik paling banyak mengunduh. Di situ mereka bisa memanfaatkan dengan tur konser dan penjualan pernak-pernik band. Ada keuntungan ekonomi yang didapat di luar sekedar menjual album.

Untuk di Indonesia, menurut Putri, demi keamanan dan kesadaran hukum masyarakat perlu tahu asal usul file yang mereka share. “File-nya adalah hasil membajak, apa memang itu file orisinal? Dalam kasus Radiohead, itu file orisinal dia sendiri. Jadi, memang hukum yang harus berkembang dalam mendefinisikan ulang apa itu pembajakan,” katanya.

Sejauh ini, pembajakan punya dampak hukum yang ketat. Di Indonesia, seseorang bisa mengalami masalah hukum jika membajak lagu, namun itu ada dalam delik aduan. Artinya, seseorang yang diduga melakukan pembajakan dapat diproses hukum atas pembajakan jika ada aduan dari pemegang hak cipta yang merasa dirugikan.

Infografik Pembajakan Musik 2016

Jalan Tengah

Pry S. adalah pendiri Ripstore Asia, platform digital untuk legal music sharing di Indonesia. Ia menyebutkan masalah terbesar Torrent adalah kita tak pernah bisa benar-benar tahu file yang dibagikan berasal dari pembelian legal atau dari unduhan ilegal. Banyak musik yang kita temui di Torrent memang ilegal karena ada pengguna yang membagikan karya berhak cipta kepada pengguna lain yang tidak membeli/ mengunduhnya secara legal.

“Dalam konteks apapun, hal ini jelas tidak bisa ditolelir. Dan sialnya memang agak susah—untuk tidak mengatakannya mustahil—men-shutdown atau menghapus (content removal) sebuah link file yang beredar di Torrent,” katanya.

Namun, bukan berarti kita tak bisa menikmati layanan musik gratis secara legal. Pry menyebutkan banyak juga konten musik legal dengan lisensi bebas yang bisa kita temui di Torrent, biasanya menggunakan lisensi Creative Commons yang memungkinkan pengguna membagikan ulang kepada pengguna lainnya tanpa dibatasi ketentuan mengikat.

“Hollywood Studios, Sub Pop Records, Radiohead, Nine Inch Nails adalah contoh publisher, label, dan musisi yang mendistribusikan musik secara legal via Torrent,” jelasnya.

Contoh terbaru yang cukup membikin heboh adalah layanan BitTorrent Now, sebuah proyek konten legal dari perusahaan pengembang software Torrent bernama BitTorrent asal US sejak 2013 lalu. Linkin Park, Pixies, Public Enemy, Madonna, dan Thom Yorke adalah contoh artis yang membagikan musiknya di sana. Pry selalu menggunakan website BitTorrent Now untuk mencari konten musik bagus berlisensi bebas dan file berukuran besar—sampai sekian giga—tanpa kesulitan mengunduhnya. Mereka bahkan punya aplikasi sendiri yang memudahkan user mengunduhnya dari gajet. Semua kontennya legal, diterbitkan oleh musisinya sendiri.

“Posisi BitTorrent Now dalam hal ini jelas sebagai platform, dan hal seperti ini yang sedang saya kembangkan di Ripstore Asia sebagai platform berbagi musik secara legal di Indonesia,” kata Pry.

Putri memperingatkan penikmat musik Indonesia tentang Pasal 113 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang berpotensi bisa memenjarakan pengunduh ilegal, meski ada celah yang bisa digunakan untuk mengunduh musik secara gratis. “Yang bisa dipidana adalah kalau pelanggaran hak ekonominya itu dalam rangka penggunaan secara komersial.

"Penggunaan secara komersial" ini bisa mengundang perdebatan lagi. User yang share file-nya mungkin relatif aman, karena dia kan ga cari untung dari nge-share file,” jelasnya.

Seperti Putri, Pry juga menganggap perlu ada definisi ulang tentang makna legal dalam berbagi file di dunia digital khususnya musik. Maka, yang perlu dikembangkan adalah edukasi dan pemahaman publik tentang konsep file sharing dan bagaimana pemanfaatannya. “Torrent hanya sekedar alat/teknologi P2P dengan metode file sharing. Ibarat pisau, apakah dia digunakan untuk memotong wortel atau menusuk seseorang, semua tergantung pelakunya,” jelasnya.

Budaya Berbagi

Pry punya pandangan menarik soal apa yang ia sebut sebagai budaya berbagi. “Bahwa kita senang ketika kesukaan kita menjadi kesukaan orang lain, hal yang kita nikmati juga dinikmati orang lain, apa yang kita buat disimak oleh orang lain,” katanya. Dengan pendekatan ini, maka akan lahir etos guyub di mana berbagi pengetahuan, hobi, dan ilmu bisa dilakukan kepada siapapun. “Sharing culture di internet ini, entah kenapa cocok sekali dengan budaya Timur. Budaya sharing ini saya pikir akan cukup dominan menentukan nasib musik digital di Indonesia ke depannya,” jelas Pry.

Para musisi semestinya mulai mengembangkan kesadaran baru dalam distribusi musik mereka. Pry melalui Ripstore Asia menggelar Tribute to Efek Rumah Kaca pada Juli tahun lalu bersama pihak Creative Commons Indonesia. Hasilnya mengejutkan. Ada 65 lagu cover atas 23 lagu Efek Rumah Kaca yang tersebar di 3 album, digubah ke dalam 15 genre/subgenre oleh 63 partisipan yang terdiri dari 29 proyek solo, 30 band, dan 4 kolaborasi dari 25 wilayah, yakni 17 kotamadya dan 8 kabupaten di Indonesia bagian barat, tengah, dan timur.

“Hal ini mungkin terjadi karena ERK dibesarkan oleh internet dengan kultur file sharing-nya. Cholil Mahmud dalam salah satu wawancara juga mengatakan bagaimana ia berhutang banyak pada internet, hal yang membuat dia memutuskan untuk menggratiskan karyanya via internet,” katanya.

Putri juga beranggapan musisi juga bisa berperan dalam melakukan edukasi penggemarnya tentang file sharing dan legalitas musik di dunia digital. Musisinya bisa mendidik penggemarnya, bukan hanya soal file sharing, tapi juga tentang aktivitas mengunduh musik yang legal.

“Untuk yang satu ini gue jujur aja meneladani model idol group Korea Selatan. Ada rasa cinta antara si idol dan fans, sampai fansnya enggak tega buat membajak. Maunya beli album asli,” katanya.

Mengapa edukasi penting? Sejauh ini banyak masyarakat yang susah membedakan tentang apa itu pembajakan karya dan pencurian karya. “Soalnya kalo gue perhatikan, orang itu sebetulnya ga ngerti kerugian dari membajak itu apa. Mereka paham harus beli orisinal. Tapi mereka enggak benar-benar paham soal pembajakan dan konsekuensinya,” lanjutnya.

Ihwal perdebatan seperti "pembajakan sama dengan pencurian", menurut Putri, masyarakat semestinya diajari bahwa mengunduh lantas menjualnya kembali adalah pembajakan dengan tujuan ekonomi. Dan seperti mencuri, ia bisa dikenai sanksi hukum.

Melalui Ripstore Asia, Pry berusaha mengembangkan soal fair trade music, yakni bagaimana pengguna dapat mengunduh lagu secara cuma-cuma di situsweb-nya, dan musisi mendapat fans baru lewat lagu yang digratiskannya. Dengan begitu, musisi akan mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang fansnya ketimbang sekadar menggratiskannya di Soundcloud. Gambaran umum tentang fans pengunduh inilah yang ke depannya berguna bagi musisi untuk mengembangkan karirnya di musik.

Pry sendiri menilai pembajakan merupakan ancaman untuk musik di masa lalu. “Saya rasa istilah pembajakan musik di era internet ini perlu didefinisikan ulang,” jelasnya.

Baca juga artikel terkait PEMBAJAKAN atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Musik
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani