tirto.id - Mahkamah Agung (MA) menjelaskan alasan uji materi tentang Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dikabulkan. Putusan MA itu menyebabkan paralegal tak bisa memberi pendampingan kepada pihak berperkara di persidangan.
Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah, uji materi itu dikabulkan agar ada pembatas wewenang antara paralegal dan advokat dalam memberikan pendampingan hukum di persidangan.
"Kalau advokat sama dengan paralegal, tanpa harus pendidikan bisa beracara, lalu apa bedanya? [...] Seharusnya paralegal ini tak bisa bekerja sendiri, tapi [harus] atas tanggung jawab advokat," ujar Abdullah di Pusat Pendidikan dan Pelatihan MA, Bogor, pada Selasa (17/7/2018).
Putusan MA dalam uji materi Permenkumham1/2018 membatalkan Pasal 11 dan Pasal 12. Kedua pasal itu mengatur wewenang paralegal mendampingi dan memberikan bantuan hukum baik di dalam atau di luar pengadilan.
Sementara berdasarkan definisi yang diterangkan LBH Apik di laman resminya, Paralegal adalah seseorang yang mempunyai keterampilan hukum namun bukan seorang pengacara. Ia bekerja di bawah bimbingan seorang pengacara atau orang berkemampuan hukum.
Putusan MA soal kewenangan paralegal itu dikeluarkan pada 31 Mei 2018. MA menganggap pasal 11 dan 12 Permenkumham 1/2018 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
"Semakin banyak paralegal itu semakin baik, tidak apa-apa [...] Tetapi tetap pengampunya advokat. Mendampingi siapa pun itu sah saja, yang tidak boleh [ialah] untuk beracara di persidangan. Kalau hanya mendampingi saja kenapa dilarang? Boleh," kata Abdullah.
MA mengibaratkan paralegal dan advokat seperti mantri dan dokter. Abdullah mencontohkan, mantri dalam menangani pasien tetap dapat memberi obat. Akan tetapi, pengobatan yang diberikan tetap di bawah kendali dokter.
Langkah Mundur
Keputusan MA mendapat kritik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FH UI), LBH Masyarakat, Indonesia Legal Roundtable, dan LBH APIK Jakarta.
Dalam siaran resmi aliansi organisasi-organisasi itu, putusan MA dinilai merupakan langkah mundur terhadap upaya perluasan layanan bantuan hukum dan prinsip akses keadilan. Mereka beralasan selama ini masih banyak kebutuhan sumber daya manusia untuk memberikan layanan bantuan hukum.
"Hingga kini sedikitnya ada 405 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang memberikan pelayanan kepada 28.005.410 orang penduduk miskin [...] ke-405 OBH tersebar di 127 Kabupaten dan Kota. Artinya, masih ada 389 Kabupaten dan Kota yang tidak ter-cover oleh OBH," demikian siaran pers yang diterima Tirto dari Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur.
Sejumlah lembaga bantuan hukum itu menganggap bantuan hukum cuma-cuma atau pro bono, yang diberikan advokat, selama ini belum maksimal. Karena itu, keberadaan paralegal masih dibutuhkan untuk membantu masyarakat yang tak bisa mengakses bantuan hukum berbayar.
Mereka juga menyebut hingga kini tidak ada data yang dapat memverifikasi apakah seorang advokat telah menjalankan kewajiban pro bono atau belum. Menurut mereka, masih banyak advokat yang belum menjalankan kewajiban pro bono.
Mereka mendesak agar Kemenkumham merevisi Permenkumham 1/2018 dengan memperjelas definisi, fungsi, dan cakupan kerja paralegal dan tetap mempertimbangkan Putusan MA Nomor 22 P/HUM/2018. Hal ini agar akses bagi masyarakat terhadap bantuan hukum dari paralegal tetap terbuka.
Selain itu, pemerintah diminta memastikan standar yang baik terhadap kualitas layanan bantuan hukum yang dilaksanakan paralegal.
Muhammad Isnur juga menyebut bahwa advokat dan lembaganya harus mempertegas komitmen pemenuhan kewajiban mereka dalam memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat tidak mampu.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Addi M Idhom