Menuju konten utama

Alasan MA Cabut Larangan Motor di Thamrin: HAM atau Teknis?

Ada perdebatan, apakah kebijakan lalu-lintas harus didasarkan pada HAM atau pertimbangan teknis seperti kemacetan.

Alasan MA Cabut Larangan Motor di Thamrin: HAM atau Teknis?
Pengendara sepeda motor melintasi Jalan MH Thamrin, Jakarta, Rabu (15/11/2017). ANTARA FOTO/Galih Pradipta.

tirto.id - Mahkamah Agung (MA) melalui putusan bernomor 57P/HUM/2017 telah membatalkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 195 Tahun 2014 Tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor yang dibuat di era kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Dengan putusan itu, larangan sepeda motor melintasi Jalan MH Thamrin tidak lagi berlaku.

Pengamat kebijakan publik dari Budgeting Metropolitan Watch (BMW), Amir Hamzah menilai, putusan tersebut sudah tepat karena majelis hakim mempertimbangkan soal hak asasi manusia (HAM). “Kebijakan publik harus mempertimbangkan hak asasi manusia,” kata Amir menegaskan.

Amir juga beralasan pengendara motor bisa menuntut haknya sebagai pembayar pajak yang sama di mata hukum.

“Pajak dari kendaraan bermotor itu yang dipakai untuk pembangunan infrastruktur, jembatan, dan sebagainya,” kata Amir kepada Tirto, pada Selasa (9/1/2018).

Atas dasar itu, Amir menganggap larangan melintas bagi kendaraan roda dua di Jalan Thamrin, sementara roda empat tidak dibatasi, adalah kesalahan. Ia berharap putusan MA ini menjadi pelajaran berharga bagi pemangku kebijakan dalam membuat aturan yang berkaitan dengan fasilitas umum.

Dalam putusan MA dinyatakan, Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Pergub No 195 Tahun 2014 juncto Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Pergub DKI No 141 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Pergub DKI No 195 Tahun 2014 Tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 133 ayat 1 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 11 UU Hak Asasi Manusia, serta Pasal 5 dan 6 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Selain itu, majelis hakim menyatakan bahwa Pergub DKI yang dikeluarkan Ahok tersebut tidak lagi memiliki hukum mengikat.

Amir menilai putusan MA tersebut sudah sesuai dengan UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dengan adanya aturan tersebut, masyarakat yang tidak puas dengan kebijakan publik tentu bisa mengadukan ke MA.

Namun demikian, Amir mengingatkan bahwa Pemprov DKI tetap harus membuat aturan untuk mencegah timbulnya kepadatan atau kemacetan. Ia menginginkan adanya jalur khusus bagi sepeda motor agar bisa menghindari kemacetan dan terpisah dari kendaraan roda empat.

“Bukan di Thamrin saja, semuanya,” kata dia.

Sementara itu, dosen administrasi publik dari Universitas Indonesia (UI) Defny Holidin mengatakan, prinsip penetapan peraturan perundang-undangan memang perlu digunakan dalam Pergub 195/2014, seperti soal keterbukaan akses barang publik, yakni jalan raya bagi seluruh masyarakat.

Namun demikian, Defny menyangsikan HAM harus menjadi dasar kebijakan pengaturan lalu lintas. Dalam pengaturan lalu lintas, kata dia, HAM bukanlah sesuatu yang definitif, melainkan lebih bersifat interpretatif dan multitafsir.

“Pertimbangan HAM akan menjadi sumir definisinya, justru seharusnya lebih kuat pertimbangan teknis,” kata dia.

Defny meyakini Dinas Perhubungan DKI punya alasan kuat secara teknis untuk dapat menerapkan kebijakan memperbolehkan atau melarang kendaraan roda dua melintas di kawasan Thamrin. Apabila memang dasar HAM harus digunakan dalam membuat kebijakan publik, harus ada analisis yang kuat dari lembaga terkait.

“Lembaga-lembaga riset terkait HAM [dan] civic/citizenship mestinya punya analisis yang kaya dan menjadi pertimbangan hakim,” kata dia menambahkan.

Pemprov DKI akan Gelar Rapat Koordinasi

Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan pihaknya akan mengumumkan tindak lanjut putusan Mahkamah Agung soal pembatalan Pergub pembatasan kendaraan roda dua di Jalan Medan Merdeka Barat hingga Thamrin, Jakarta Pusat, pada Rabu (10/1/2018).

Hal tersebut, kata Andri, baru akan direalisasikan setelah pihaknya menggelar rapat koordinasi dengan Dirlantas Polda Metro Jaya dan Dinas Bina Marga di bawah koordinasi biro hukum DKI.

“Tetapi yang jelas, karena ini sudah putusan MA final, ya harus dicabut,” kata dia saat ditemui di Balai Kota, Jakarta Pusat, Selasa (9/1/2018). Ia juga menyampaikan keputusan pencabutan aturan itu akan dilakukan sesegera mungkin, dimulai dengan pencabutan rambu-rambu jalan yang mengatur pembatasan roda dua.

Andri juga mengungkapkan bahwa pencabutan pembatasan sepeda motor itu harus dilihat secara positif, di antaranya adalah mendorong pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur transportasi pengurai kemacetan.

Beberapa di antaranya adalah penerapan sistem jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) sepanjang jalan Medan Merdeka, Thamrin hingga Sudirman, serta pembangunan sarana Park and Ride agar pengendara mudah beralih ke transportasi massal.

“Kalau kita berbicara transportasi makro, kan kita tidak melulu membahas masalah pembatasan sepeda motor tapi masih banyak variabel-variabel yang bisa kita lakukan,” kata dia.

Sementara itu, Dirlantas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Halim Pagarra belum memerintahkan bawahannya untuk memberi ruang pengendara motor melintas di kawasan Thamrin. Halim beralasan, pembebasan itu harus menunggu revisi Pergub 195/2014 terlebih dahulu, ataupun penghapusan seluruhnya, dengan peraturan langsung dari Gubernur DKI Jakarta sekarang, Anies Baswedan.

Halim sendiri mengaku lebih nyaman dengan kondisi sekarang, di mana kawasan Thamrin tertutup bagi kendaraan roda dua sejak pukul 06.00 sampai 23.00 setiap harinya. Menurut dia, penataan arus lalu lintas sudah tersusun cukup rapi dan angka kecelakaan di jalan “nyaris nihil.”

Bagi Halim, pencabutan larangan ini tidak akan efektif. Ia mengklaim, kepadatan di daerah Thamrin sudah jauh berkurang—meski ia tak bisa merinci angka secara konkret. Masyarakat, kata Halim, telah beralih secara perlahan menggunakan moda transportasi publik daripada kendaraan pribadi lantaran motor tak diperbolehkan melintas.

Pihaknya belum bisa memprediksi tingkat kenaikan kepadatan atau mungkin kecelakaan yang bisa terjadi setelah ada pembatalan larangan. Ia menyarankan pada Pemprov DKI agar mengecek baik-baik apakah tuntutan masyarakat benar-benar sudah terpenuhi.

Ia memandang dalil 'HAM' tidak bisa menjadi acuan motor melintas di Thamrin. Untuk mobil pun, Halim mengingatkan, ada peraturan tersendiri soal ganjil-genap. Mobil atau kendaraan roda 4 hanya boleh melintas sesuai dengan kecocokan tanggal dan pelat nomor kendaraannya.

Daripada membebaskan Thamrin dari larangan kendaraan roda dua, Halim menilai lebih baik pemerintah memberi tambahan transportasi umum yang memadai. “Isi dari pemohon itu apa? Hak asasi manusia di mana? Itu dari Pemda nanti dari segi hukumnya yang harus menjawab,” kata dia.

“Kami mengikuti aturan yang ada. Kalau memang sudah dicabut oleh Gubernur [Anies], kami ikuti,” kata Halim.

Baca juga artikel terkait PELARANGAN SEPEDA MOTOR atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Felix Nathaniel & Hendra Friana
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani