tirto.id - Tim hukum KPU menegaskan mereka menolak dalil permohonan yang dibacakan kubu Prabowo-Sandiaga selaku pemohon, Selasa (18/6/2019). Dalam pandangan KPU, dalil yang dibacakan pemohon merupakan dalil perbaikan permohonan bukan permohonan awal yang didaftarkan.
Menurut KPU, dalil yang disampaikan pemohon merupakan dalil baru sehingga tidak bisa diterima sesuai aturan yang berlaku.
"Jawaban termohon dimaksud masih tetap dalam koridor sikap termohon yang menolak perbaikan permohonan pemohon. Penolakan terhadap perbaikan pemohon adalah merupakan sikap tegas termohon terhadap ketaatan hukum acara yang sudah ditetapkan Mahkamah Konstitusi," kata kuasa hukum KPU Ali Nurdin saat membacakan jawaban termohon dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (18/6/2019).
Ali mengatakan, perbaikan permohonan yang dibacakan dalam sidang pada 14 Juni 2019 memiliki perbedaan yang sangat mendasar baik dalam posita maupun petitumnya sehingga dapat diklasifikasikan sebagai permohonan yang baru. Mereka pun beranggapan, perbedaan tersebut menandakan dua poin penting.
Pertama, KPU menilai permohonan yang dibacakan harus dikesampingkan karena tidak memenuhi syarat permohonan pasal 475 ayat 1 dan ayat 2 UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu, UU MK dan PMK nomor 4 tahun 2019 tentang tata cara pelaksanaan pemilu.
Kedua, permohonan yang dibaca dalam persidangan 14 Juni lalu sebagai bukti kalau kubu Prabowo-Sandiaga menerima hasil pemilu. Sebab, dalam dokumen permohonan gugatan pertama atau yang disampaikan pada 24 Mei 2019 tidak memuat tuduhan kecurangan yang masif beserta bukti penguat dalil tersebut.
"Jika betul-betul pemohon memiliki buktinya tentu sudah diajukan pemohon dalam permohonannya. Oleh karenanya permohonan pemohon 24 mei 2019 menjadi bukti bahwa termohon telah bekerja dengan benar dalam melaksanakan Pilpres 2019," kata Ali.
Kemudian, mereka juga melihat upaya kubu Prabowo-Sandiaga menambah dalil kecurangan masif sebagai bukti pemohon tidak tahu lokasi kecurangan. Menurut KPU, dalil tersebut tidak jelas karena tidak menjelaskan lokasi pelanggaran serta pelaku pelanggaran.
Tim hukum KPU juga menyoroti minimnya kesadaran Prabowo-Sandiaga tentang adanya kecurangan secara masif karena tidak memasukkan hal itu dalam gugatan awal.
Ali menilai dalil yang disampaikan sebagai contoh kecurangan masif sebatas tempat-tempat yang ditunjuk secara sporadis. Kemudian dalil dianggap tidak tepat karena jumlah situng yang dipermasalahkan hanya 21 dari total sekitar 800-ribuan TPS.
"Berdasarkan adanya posita dan petitum yang berbeda sebagaimana contoh yang diuraikan di atas, maka perbaikan permohonan haruslah dianggap sebagai permohonan baru yang berbeda dengan permohonan pemohon per tanggal 24 mei 2019," kata Ali.
"Kalaupun dianggap sebagai perbaikan permohonan, maka permohonan tersebut telah memasukkan substansi baru yang tidak bisa dijadikan dasar pemeriksaan perkara dalam persidangan PHPU Pilpres di MK," kata Ali.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri