tirto.id - Selama rapat kerja terakhir antara pemerintah dan Komisi II DPR soal Perppu Ormas, ada 3 fraksi yang menolak tegas pengesahan beleid itu menjadi undang-undang. Ketiganya ialah Fraksi Gerindra, Fraksi PAN dan Fraksi PKS. Suara ketiganya berkebalikan dari tujuh fraksi lain yang menyatakan setuju Perppu Ormas disahkan menjadi UU.
Fraksi Gerindra menolak karena Perppu Ormas dianggap berlebihan dalam mengekang kebebasan berpendapat, bahkan lebih parah dari era pemerintahan sebelum Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pandangan ini dikemukakan Ketua DPP Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria.
Menurut Riza, Perppu Ormas melanggar konstitusi dan Undang-undang Dasar 1945. Ia juga menilai banyak hal yang perlu direvisi dalam Perppu Ormas sebelum disahkan menjadi UU. Misalnya, soal masa hukuman, subjek yang dihukum, kewenangan pembubaran, waktu pembubaran, dan tafsir Pancasila.
Riza menilai ada ketidakwajaran terkait masa hukuman yang sampai 20 tahun, bahkan seumur hidup, hanya untuk pelanggaran penistaan agama. Apabila hukuman 5 tahun untuk penistaan agama dalam Pasal 156 dan Pasal 156a dirasa terlalu singkat, menurut dia, seharusnya pemerintah bisa mencari jalan tengah yang lebih wajar.
“Ini luar biasa hukuman Perppu ini, lebih hebat dari UU zaman kolonial, Orde Lama, Orde Baru. Padahal, ini Orde Reformasi. Anggota saja yang bersifat pasif bisa dihukum pidana sampai seumur hidup atau 20 tahun. Ini tidak perlu. Yang salah, kalau pimpiman, ya pimpinan yang dihukum, jangan sampai anggota,” kata dia pada Senin (23/10/2017).
Berikutnya soal pembubaran yang bisa secara langsung dilakukan oleh pemerintah. Menurut Riza, dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakat, ormas bisa dibubarkan melalui proses peradilan. Artinya, kewenangan pembubaran adai tangan lembaga yudikatif.
Oleh sebab itu, dia berpendapat, pemerintah sebagai lembaga eksekutif tidak sepatutnya mengambil kewenangan tersebut.
Mengenai tafsir Pancasila, menurut dia, saat ini tidak ada lagi pihak yang bisa menafsirkan ideologi negara itu secara netral. Riza menilai kewenangan melarang ideologi selain Pancasila dengan dasar penafsiran dari pemerintah bisa menjadi berbahaya.
“Tafsir Pancasila ada pada eksekutif, ada problem pemerintah, ini sangat berbahaya. Tergantung rezim yang berkuasa. Bisa rezim mana saja, kapan saja, ke depan sangat berbahaya,” ujarnya.
Sementara Fraksi PAN, juga berpendapat bahwa untuk pertama kalinya, dengan pemberlakuan Perppu Ormas, kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul dibatasi begitu ketat sejak era Orde Baru dan Orde Lama. PAN menilai pembubaran Ormas semestinya melalui lembaga peradilan
Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto menilai pemberlakuan Perppu Ormas bisa memicu masalah serius di masa mendatang. Ia menganggap bahwa Perppu Ormas telah menghilangkan secara penuh nilai demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Selain itu, dia berpendapat, pemberlakuan Perppu Ormas belum dirasa diperlukan karena tidak ada kegentingan situasi. Menurut Yandri pemerintah seharusnya mematuhi Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur penerbitan Perppu.
“Pembentukan Perppu Ormas justru dapat menganggu demokrasi dan negara hukum itu sendiri. Ia bukan hanya dapat menyasar kaum-kaum intoleran, tetapi juga pihak-pihak yang telah membantu pemerintah memperjuangkan demokrasi,” kata Yandri.
Dia menambahkan, “Ketika demokrasi justru sekarang ini perlu diperkuat oleh siapapun, terutama oleh pemerintah.”
Menurut Yandri, Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 yang mengatur syarat penerbitan Perppu sebenarnya sudah menjelaskan maksud kegentingan situasi. Dia berpendapat situasi patut dinilai genting bila ada kebutuhan mendesak dan gawat yang menuntut penerbitan Perppu. Situasi itu muncul saat UU yang dibutuhkan belum ada dan terjadi kekosongan hukum.
“Fraksi PAN memandang peraturan tentang ormas sebetulnya sudah diatur dengan baik oleh UU 17 tahun 2013. UU itu menyatakan pemerintah dapat membubarkan ormas melalui peradilan,” kata dia.
Sedangkan alasan Fraksi PKS juga mirip dengan PAN. PKS menilai pemerintah seharusnya tidak perlu menerbitkan Perppu Ormas karena tidak terjadi kekosongan hukum. Selama ini UU Nomor 17/2013 sudah mengatur penindakan terhadap ormas yang melanggar hukum.
Hal ini dikatakan oleh anggota Fraksi PKS saat rapat kerja, yakni Sutriyono. Pria yang juga diusung PKS dalam Pilkada Bekasi 2018 itu mengatakan ada pasal karet dalam Perrpu Ormas.
Misalnya, dia mencatat ada larangan atribut ormas menyerupai lambang gerakan separatis atau organisasi terlarang. Menurut Sutriyono, larangan itu dapat ditafsirkan dengan sewenang-wenang oleh pemerintah.
“Fraksi PKS menyatakan tidak setuju terhadap Perppu Ormas. Tapi kami tegas menolak radikalisme dengan merujuk kepada konskeuensinya, Pancasila, dan UUD 1945,” kata dia.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Addi M Idhom