tirto.id - Nilai tukar (kurs) rupiah telah tertekan hingga level Rp14.074 terhadap dolar AS. Pengamat dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara memprediksikan kurs rupiah dapat akan semakin tertekan hingga level Rp14.000-14.200.
Bhima menyebutkan kepada Tirto pada Kamis (10/5/2018), ada beberapa faktor yang membuat kurs rupiah ini mengalami depresiasi yang cukup dalam. Pertama, investor melakukan spekulasi terkait prediksi kenaikan Fed Fund Rate yang akan terjadi dalam rapat dewan kebijakan bank sentral Amerika Serikat (The Federal Open Market Committee/FOMC) pada Juni mendatang.
Ini diawali saat pemerintah AS telah mengumumkan data pengangguran AS sebesar 3,9 persen terendah bahkan sebelum krisis 2008.
"Spekulasi ini membuat capital outflow di pasar modal mencapai Rp11,3 triliun dalam satu bulan terakhir. Spekulasi pasar jelang rapat Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun," jelasnya.
Kedua, investor juga bereaksi negatif terhadap rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I/2018 yang hanya mencapai 5,06 persen. Hal ini disebabkan konsumsi rumah tangga masih melemah terbukti dari penjualan mobil pribadi yang anjlok 2,8 persen di triwulan I/2018.
Selain itu, data penjualan ritel yang turun. Sentimen ini membuat pasar cenderung pesimistis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang ditarget tumbuh 5,4 persen.
Selanjutnya ketiga, harga minyak mentah dunia terus meningkat hingga sekitar 74-75 dolar AS per barel. Ini akibat perang di Suriah dan ketidakpastian Perang Dagang AS-Cina yang juga ikut mempengaruhi.
"Hal ini membuat inflasi jelang Ramadhan semakin meningkat karena harga BBM non-subsidi (Pertalite, Pertamax) menyesuaikan mekanisme pasar. Inflasi dari pangan juga perlu diwaspadai karena harga bawang merah naik cukup tinggi dalam 1 bulan terakhir," ungkapnya.
Keempat, permintaan dolar AS diperkirakan naik pada triwulan II/2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. "Investor di pasar saham sebagian besar adalah investor asing sehingga mengkonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dolar," ucapnya.
Kemudian Bhima menambahkan, importir lebih banyak memegang dolar untuk kebutuhan impor bahan baku dan barang konsumsi jelang Lebaran. Perusahaan juga meningkatkan pembelian dolar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek.
"Lebih baik beli sekarang sebelum dolar semakin mahal. Ada efek antisipasi penambahan cuti Lebaran terhadap perilaku pengusaha yang borong dolar di pasar. Meskipun dampaknya kemungkinan kecil ke fluktuasi kurs," terangnya.
Bhima memprediksikan lagi bahwa ada kemungkinan titik keseimbangan kurs rupiah itu ada di kisaran Rp13.900-14.000. Jadi, kemungkinan kurs tidak bisa menguat lebih dari Rp13.900.
"Yang terpenting rupiah tidak naik turun, stabil dalam jangka panjang. Kalau penguatan agak susah karena tren global terjadi pengetatan moneter sampai 2020 dan ekonomi kita masih terjebak di pertumbuhan 5 persen," sebutnya.
Bhima pun menyebutkan pemerintah harus melakukan beberapa langkah ke depan untuk menghadapi kurs rupiah yang melemah cukup dalam ini.
Menurutnya, karena sebagian besar yang mempengaruhi pelemahan rupiah bukan sekedar faktor global, tapi juga fundamental ekonomi. Karenanya, pemerintah disarankan untuk memperkuat kinerja ekonomi domestik.
Pertama, Bhima memaparkan, memulihkan kepercayaan investor, menjaga stabilitas harga baik BBM, listrik maupun harga pangan jelang Ramadhan. Dengan begitu, konsumsi rumah tangga yang berperan 56,80 persen terhadap PDB itu bisa pulih.
Kedua, mengimbau kepada para pelaku usaha terutama yang memiliki Utang Luar Negeri untuk melakukan lindung nilai (hedging). Sebab, fluktuasi kurs dapat membuat resiko gagal bayar utang valas meningkat.
Sementara peringatan, bagi perusahaan yang bersiap membagikan dividen perlu mempersiapkan pasokan dolar untuk memitigasi kedepannya kurs dolar semakin mahal.
Ketiga, pemerintah harus berhati-hati terhadap cadangan devisa yang akan terus tergerus untuk stabilitas nilai tukar. Bank Indonesia tidak bisa mengandalkan cadangan devisa sebagai satu-satunya instrumen untuk stabilitas nilai tukar.
"Jika kondisi mendesak, BI bisa naikkan bunga acuan 25-50 bps (basis points). Kenaikan bunga acuan diharapkan bisa menaikkan return instrumen investasi di Indonesia, sehingga dana asing tidak melanjutkan capital flight," ucapnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yuliana Ratnasari