Menuju konten utama

Alasan Dishub Jabar Keluarkan Larangan Taksi Online

Dishub menilai ada persaingan usaha yang tidak sehat dalam bisnis transportasi.

Alasan Dishub Jabar Keluarkan Larangan Taksi Online
Seorang warga melintas di depan angkutan umum saat unjuk rasa sopir angkutan umum dari empat trayek di Bundaran Leuwigajah, Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, Senin (25/9/2017). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Dishub Provinsi Jawa Barat keluarnya Surat Pernyataan Bersama aturan tentang angkutan roda empat/taksi berbasis aplikasi adalah untuk menciptakan situasi yang kondusif. Selama ini, ada satu pihak yang dianggap tidak mendapatkan keadilan dan ada iklim usaha yang tidak sehat.

Dalam surat tersebut dikatakan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat menghentikan sementara operasi angkutan berbasis aplikasi. Angkutan tersebut baru bisa aktif kembali ketika revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 26 tahun 2017 sudah rampung. Alasan yang sama diutarakan Wadah Aliansi Aspirasi Transportasi (WAAT) Jawa Barat.

"(Dilarang beroperasi) karena menurut pihak-pihak lain ada ketidakadilan. Kami juga menginginkan ada kesetaraan keadilan dan persaingan usaha yang sehat," kata Kepala Balai Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Wilayah III Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat, Mochamad Abduh Hamzah kepada Tirto, Rabu(10/10).

Abduh menilai saat ini ada persaingan yang tidak sehat. Angkutan berbasis aplikasi belum mendapatkan izin, tetapi tetap melaksanakan aktivitas seperti biasa. Sementara di satu sisi, angkutan konvensional telah membayar pajak, tetapi 'pasarnya' terus tergerus. Wajar kemudian muncul protes dari pihak angkutan konvensional.

Perselisihan antara pengemudi dan pengelola angkutan konvensional dan angkutan berbasis aplikasi memang sudah sering terjadi. Di Bandung misalnya, pada 9 Maret lalu, sempat ada mobil yang dirusak, kacanya dipecah oleh sopir angkot karena diduga dipakai untuk transportasi berbasis aplikasi.

Anggota humas Dishub Jawa Barat, Juddy K. Wachjoe, mengatakan bahwa Surat Pernyataan Bersama efektif untuk mencegah konflik tersebut. "Untuk kenyamanan kondisi di Jawa Barat, transportasi nyaman, tidak ada konflik, lebih mengarah ke sana," kata Juddy.

Surat Pernyataan Bersama ini menurutnya efektif sampai ada regulasi baru dari pemerintah pusat. Sebab sejak aturan ini diterbitkan, tidak ditemukan lagi kegiatan angkutan berbasis aplikasi, setidaknya ketika ada razia.

Juddy mengimbau agar semua pihak tetap mematuhi surat tersebut. Apalagi menurutnya, pihak Dishub dan Pemprov Jawa Barat sedang mendesak Kementerian Perhubungan untuk segera menerbitkan hasil revisi Permenhub 26/2017 agar ada kepastian hukum baik bagi angkutan konvensional dan yang berbasis aplikasi. Tanpa itu, maka kondisi yang ada sekarang, yaitu pendapatan pengendara angkutan konvensional, akan terus menurun.

"Kalau hal itu pasti terjadi. Secara otomatis akan berkurang (pendapatan angkutan konvensional)," katanya. "Makanya kami mengajak agar rekan-rekan bersabar dulu karena kami tidak bisa secara nyata menertibkan," ujar Juddy.

Baca juga:

Surat pernyataan ini mendapat respons positif dari pengendara angkutan konvensional. Aturan sementara ini dirasa tepat karena angkutan konvensional sudah membayar pajak dan memiliki izin operasi. Sementara dari pihak penyedia layanan angkutan berbasis aplikasi, kata Judy, sudah berkomunikasi dengan Dishub dan Pemprov Jawa Barat.

"Pada prinsipnya kami ingin suasana di Jawa Barat kondusif dan transportasi berjalan beriringan," kata Juddy.

Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Adrianto Djokosoetono, enggan menanggapi panjang lebar imbauan Pemprov. Adrianto, yang juga Direktur Blue Bird, perusahaan taksi konvensional terbesar di Indonesia, merasa keputusan ini wajar-wajar saja. Semua pelaku usaha sepatutnya tunduk pada aturan yang ada.

"Selama mereka melanggar, wajar dihukum. Itu saja," ujarnya.

Selesai Pekan Depan

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumardi menargetkan pembahasan peraturan baru terkait angkutan berbasis aplikasi rampung pada Selasa pekan depan (17/9). Aturan baru itu dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum usai Mahkamah Agung (MA) membatalkan pasal-pasal dalam Permenhub Nomor 26 Tahun 2017.

Budi mengatakan pembahasan akhir mengenai aturan itu, yang melibatkan pihak pemerintah dan pelaku usaha transportasi, akan berlangsung di gedung Kemenko Bidang Kemaritiman.

"Setelah ada diskusi sosialisasi, ketemu lagi, semua keinginan untuk memberikan kesetaraan antara transportasi online dan konvensional itu dipegang sama-sama. Dijunjung sama-sama," kata Budi di Stasiun Juanda, Jakarta Pusat, Selasa (10/10) kemarin.

Budi mengatakan selama ini Kemenhub sudah menggelar beberapa Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas aturan baru itu di beberapa kota. FGD itu bertajuk "Mencari Solusi Terbaik Pengaturan Taksi Online Pasca Putusan MA Atas Permenhub 26/2017".

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Rio Apinino
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti