tirto.id - Sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) menjadi sorotan publik. Selain tentang masalah cuti melahirkan, kewajiban ibu yang diatur dalam Pasal 10 ayat 1 RUU KIA juga menjadi sorotan. Komnas Perempuan menilai pasal tersebut berpotensi membakukan peran domestik perempuan.
Dalam Pasal 10 ayat 1 RUU KIA berbunyi, "Setiap Ibu wajib:
• menjaga kesehatan diri selama kehamilan;
• menjaga kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak sejak masih dalam kandungan;
• memeriksakan kesehatan kehamilan secara berkala;
• mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak dengan penuh kasih sayang;
• mengupayakan pemberian air susu ibu paling sedikit enam bulan kecuali ada indikasi medis, ibu meninggal dunia, atau ibu terpisah dari anak;
• memberikan penanaman nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan budi pekerti pada anak;
• mengupayakan pemenuhan gizi seimbang bagi anak;
• mengupayakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak; dan
• memeriksakan kesehatan ibu dan anak secara berkala pada fasilitas kesehatan."
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Luluk Nur Hamidah merespons bahwa dalam pembahasan pasal tersebut memang sempat terjadi perdebatan antara memilih memasukkan poin-poin di Pasal 10 tersebut sebagai hak atau kewajiban.
"Sebenarnya ketika bicara tentang hal maternity ya memang melekat di situ juga ada kewajiban. Kami dulu pernah berdebat juga di dalam [baleg] sebenarnya kewajiban itu kita maknai kewajiban atau hak sih sebenernya. Misalnya begini, bahwa ibu harus memeriksakan kesehatannya ke dokter. Itu kewajiban atau hak?, ini menyangkut kebaikan dan kemaslahatan dirinya sendiri loh," kata Luluk saat dihubungi Tirto, Jumat(24/6/2022).
Namun demikian, ia menampik dugaan adanya pembakuan peran domestik dalam RUU KIA. Pasalnya, menurut Luluk kewajiban tersebut diikat dengan pasal 10 ayat 2 yang menyebutkan keharusan adanya dukungan suami dan keluarga.
"Nah keharusan ini sebenarnya juga kewajiban yang melekat bahwa ibu ini bisa melakukan katakanlah kewajibannya untuk bisa memeriksakan kesehatan, atau memberikan ASI kalau para suami, nih, kemudian keluarga juga memberikan dukungan dan itu juga bersifat wajib," katanya.
Luluk menerangkan bahwa salah satu alasan yang melandasi keputusan Baleg menyebut poin-poin pada Pasal 10 ayat 1 dinyatakan sebagai kewajiban adalah karena adanya sejumlah fungsi biologis yang melekat pada tubuh ibu.
"Karena memang yang namanya menstruasi itu yang mengalami juga ibu, yang mengandung juga ibu, yang dimiliki karunia memiliki air susu itu juga ibu, maka [poin-poin] itu melekat ke dalam kewajiban karena apa? Karena di situ ada hak anak yang harus dilakukan. Tapi yang paling penting ini kemudian tidak membakukan bahwa seolah jadi an sich kewajibannya ibu," katanya.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Bayu Septianto