Menuju konten utama

Alasan Asosiasi Petani Tebu Minta HPP Gula Naik Jadi Rp 10.500

Asosiasi petani tebu yang tergabung dalam APTRI menyebutkan alasan meminta kenaikan harga pokok pembelian (HPP) gula Rp10.500 yang saat ini harganya di pasaran terlalu rendah.

Alasan Asosiasi Petani Tebu Minta HPP Gula Naik Jadi Rp 10.500
Petani memanen tebu untuk dikirim ke pabrik gula di kawasan Wonoayu, Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (27/5/2018). ANTARA FOTO/Umarul Faruq.

tirto.id - Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengemukakan alasan meminta kenaikan harga pokok pembelian (HPP) gula Rp10.500 yang saat ini harganya di pasaran terlalu rendah sekitar Rp9.700 per kilogram.

“HPP yang kami usulkan menjadi Rp 10.500. Harga pokok pembelian di petani,” kata Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen kepada reporter Tirto, Kamis (7/2/2019).

Pada Rabu (6/2/2019) lalu, ratusan perwakilan petani tebu dari seluruh Indonesia mendatangi Istana Negara bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Kedatangan mereka untuk menuntut adanya kenaikan HPP gula yang saat ini dianggap terlalu rendah.

Melalui sambungan telpon, Soemitro menyebutkan, usulan kenaikan angka HPP dari Rp 9.700 per kg menjadi Rp 10.500 per kg adalah untuk mengimbangi Biaya Pokok Produksi (BPP) gula petani di angka Rp 10.500 per kg.

Artinya, angka ideal untuk HPP saat ini paling tidak sama dengan BPP di level Rp 10.500 per kg. Bila HPP dipertahankan di angka Rp 9.700 per kg, maka petani bisa merugi.

“2018 itu kita masih Rp 9.700 per kg. Malah itu menarik seolah harganya Rp 9.700 per kg itu sudah untung. Kalau sekarang BPP-nya berapa? Ya,yang itu Rp 10.500 per kg,” beber dia.

Soemitro mengatakan, tingginya BPP gula nasional disebabkan karena tidak efisiennya pabrik-pabrik pengolahan gula di dalam negeri. Maklum, pabrik gula di RI umumnya sudah berusia senja, kata Soemitro, dibangun pada zaman penjajahan Belanda.

Pada 2013, dari total 62 unit pabrik gula sebanyak 51 unit di antaranya atau 82,26 persen adalah pabrik gula milik BUMN, tapi BUMN hanya mampu menyumbang 60,78 persen produksi. Artinya kontribusi produksi gula oleh BUMN belum sebanding dengan jumlah pabrik gula yang dikelola.

Dengan usia yang uzur, produktivitas pabrik gula RI sangat rendah, hanya bisa menghasilkan 7 ton gula dari 100 ton tebu. Padahal, dengan 100 ton tebu, pabrik gula di Thailand bisa menghasilkan 14 ton gula.

“Di Indonesia, karena pabriknya bikinan zaman Belanda, itu keluar 7 ton,” jelas dia.

Baca juga artikel terkait PRODUKSI GULA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri