tirto.id - Pasukan gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP mendatangi asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Nomor 10, Kecamatan Tambaksari, Surabaya, Jawa Timur pada Jumat (6/7/2018). Kedatangan mereka dipicu acara diskusi dan kabar pemutaran film 20 Tahun Biak Berdarah yang dilakukan di halaman depan asrama.
Kepala bidang advokasi tanah dan lingkungan LBH Jawa Timur Mohammad Soleh mengaku diminta mahasiswa menghadiri diskusi 30 menit sebelum acara dimulai pada pukul 19.00 WIB. Kepadanya, para mahasiswa menyatakan ada pengintaian yang dilakukan sejumlah orang berpakaian preman. Mahasiswa menduga para pengintai itu berasal dari kepolisian.
Saat diskusi sedang berlangsung, Soleh dan beberapa mahasiswa berjaga di pintu gerbang asrama. Sekitar pukul 20.00 WIB ia mengaku sudah ada Camat Desa Tambaksari Ridwan Mubarun, Danramil Mayor Irianto, dan Kapolsek Tambaksari Kompol Prayitno di lokasi. “Kira-kira seratusan [orang]. Berdasar kesaksian teman-teman, ada tiga truk dan beberapa mobil-mobil kecil,” kata Soleh pada Tirto, Sabtu (7/7/2018).
Dalih Operasi Yustisi
Aparat berdalih kedatangan mereka dalam rangka melakukan operasi yustisi alias pendataan penduduk. Namun, Soleh enggan percaya begitu saja. Sebab petugas yang terjun ke lapangan terdiri dari polisi dan TNI berseragam. Mereka mengenakan baju serba hitam, rompi, helm, dan senjata laras pajang. Persis seperti hendak membekuk teroris.
“Sudah seperti Densus 88,” kata Soleh.
Soleh mengaku sempat meminta surat perintah kepada camat desa yang ingin masuk dengan alasan operasi yustisi. Namun petugas merespons permintaan Soleh dan kawan-kawan dengan menggedor-gedor pagar asrama serta kata-kata kasar. Setelah 15 menit, seorang petugas menyerahkan surat yang diminta Soleh.
Namun Soleh dan mahasiswa bergeming. Mereka menilai surat itu tidak menyebutkan keterlibatan TNI dan Polri dalam melakukan yustisi. “Seharusnya kalau yustisi itu hanya Satpol PP saja, kenapa ini Polri-TNI ikut-ikutan?” katanya.
Hal lain yang bikin alasan operasi yustisi terasa janggal adalah lantaran ia hanya dilakukan di asrama mahasiswa Papua. Menurut Soleh, pendatang di sekitar kawasan itu juga ikut diperiksa. “Ketika saya diskusi dengan Pak Camat, sudah ada cacian bahasa kotor dari pihak aparat, Satpol PP, dan kepolisian. Kamu bukan orang Surabaya, jangan ikutan. Sejak kapan Surabaya rasis dan sejak kapan Surabaya eksklusif?”
Soleh dan empat orang lainnya yang terdiri dari dua mahasiswi Surabaya dan dua mahasiswa Surabaya asal Papua akhirnya diseret petugas. Saat penyeretan itu, mahasiswi bernama Anindya merasa dilecehkan oleh petugas. Namun, sang petugas tidak mengakui perbuatannya. “Langsung diseret oleh beberapa pasukan, dianggap sebagai provokator,” kata Soleh.
Kericuhan itu akhirnya mereda ketika masyarakat dan wartawan mulai berdatangan. Soleh mengatakan para petugas membubarkan diri sekitar pukul 23.00 WIB.
Biasa Dilarang
Mendiskusikan isu-isu kekerasan HAM sebenarnya sudah biasa dilakukan mahasiswa asal Papua di Surabaya. Namun, sejak dua tahun terakhir aktivitas mereka kerap mendapat hambatan aparat. Pada Maret 2018, misalnya, saat para mahasiswa hendak mendiskusikan video penindasan di Afrika, Polrestabes Surabaya melarang dengan alasan rasisme. Namun saat itu tidak terjadi cekcok.
Selanjutnya, pada 1 Juli 2018, para mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua ini juga dilarang Polrestabes Surabaya saat ingin membahas peringatan 47 tahun proklamasi kemerdekaan Papua Barat. Kejadian serupa akhirnya berulang pada 6 Juli 2018 saat para mahasiswa hendak memperingati 20 tahun tragedi Biak.
“Meskipun teman-teman dari Papua mau nonton, itu kan hak mereka untuk nonton dan tidak ada larangan terhadap film-film dokumenter itu,” tegas Soleh.
Di mata Camat Tambaksari, Ridwan, mahasiswa asal Papua di asrama itu, doyan cari gara-gara. Menurutnya, diskusi yang digelar mahasiswa bisa membahayakan keutuhan NKRI. Lulusan IPDN tahun 1995 ini merasa tak ada yang salah dari operasi yustisi yang dilakukannya. Maka, ia merasa tidak perlu menunjukkan surat perintah sebagaimana diminta Soleh. Kalaupun ada surat yang ditunjukkan kepada Soleh dan mahasiswa Papua, Ridwan mengatakan isinya tentang penambahan bantuan personel dari Satpoll PP Pemkot Surabaya.
“Mereka bilang kirim surat perintah. Bagaimana ada surat perintah kalau saya yang memberi surat perintah itu yang melakukan [operasi] yustisi?” kata Ridwan lagi.
Ridwan mengatakan sejak Surabaya diguncang bom, pelibatan TNI dan Polri dalam operasi yustisi merupakan hal biasa. Berbeda dengan pengakuan Soleh soal jumlah aparat, menurut Ridwan, saat itu hanya ada 30-an orang yang ikut melakukan yustisi. “Tidak perlu heran. Yustisi itu bisa empat kali dalam seminggu. Ini normal saja,” katanya lagi.
Ridwan menyayangkan sikap mahasiswa yang menolak operasi yustisi dan malah menganggap kegiatan itu sebagai bentuk perlawanan terhadap aparat. Namun, selain memakai pembenaran operasi yustisi, Ridwan juga mengakui bahwa ia memang tidak setuju dengan aktivitas para mahasiswa Papua malam itu.
“Belajar selain itu boleh, tapi ilmiah jangan berkaitan dengan komunis separatis. Kalau mereka membicarakan Papua merdeka, Biak Berdarah, ada pelanggaran HAM, kan mengarah ke mengganggu NKRI. Dikhawatirkan itu,” katanya.
Ria, Lurah Pacar Keling, Kecamatan Tambaksari menilai kehidupan para mahasiswa di asrama Papua cenderung tertutup. Ia tidak tahu apa kegiatan yang dilakukan di asrama dan siapa saja yang tinggal di sana. Karena itu, Ria merasa yustisi perlu dilakukan. “Saat itu kami enggak lihat mereka nonton film Biak. Mungkin enggak sempat, terus batal,” katanya pada Tirto.
Kapolsek Tambaksari Kompol Prayitno mengklaim kedatangannya ke asrama Papua tidak berkaitan dengan diskusi yang dilakukan para mahasiswa. “Kebetulan saja dia [para mahasiswa] ada kegiatan. [Yang] kami lakukan adalah yustisi. Kami enggak pernah diminta memberhentikan kegiatan,” ujarnya.
Prayitno merasa kedatangannya ke asrama Papua hanya melaksanakan perintah pemerintah kota dan camat. Ia mengaku tidak tahu ada intel yang mengawasi kegiatan para mahasiswa dan enggan berkomentar tentang film tragedi Biak. “Saya tidak komentar itu karena saya tidak melihat [filmnya diputar],” ujarnya lagi.
Malam itu, Polsek Tambaksari, menurut Prayitno, menerjunkan 25 personel. Ia yakin tidak ada personelnya yang melakukan pelecehan kepada mahasiswi.
“Saya rasa tidak sampai sejahat itu, lah. Rame banyak orang masa ngurusi begitu, kayaknya enggak masuk akal," kata Prayitno. "Saya jamin anggota saya enggak sampai segitu [melakukan pelecehan]."
Film yang Penting Diketahui Orang Banyak
Anggota Aliansi Mahasiswa Papua Stefanus Pigai mengatakan pihaknya sudah memperkirakan acara mereka akan mendapat tekanan aparat. Namun, kali ini persiapan Stefanus dan kawan-kawan lebih matang. Mereka menyiagakan anggota untuk berjaga di luar. Film mulai diputar pukul 18.05 WIB di area yang terhalang tembok dan pagar setinggi dua meter.
Ketika Soleh dan petugas datang, film itu sudah nyaris selesai. Para mahasiswa kemudian menonton siaran pertandingan Piala Dunia pada pukul 21.00 WIB. “Kami menonton sekitar pukul 18.05, pokoknya Soleh datang setelah film selesai, ia datang setelah jam 19.00. Ketika Camat datang, kami sedang diskusi tentang film itu, sudah hampir selesai,” ujar Stefanus.
Mahasiswa Institut Teknik Adhi Tama Surabaya ini bilang tragedi Biak penting diketahui banyak orang. Sebab, di dalam peristiwa itu terjadi pelanggaran HAM serius yang hingga sekarang belum diselesaikan.
“Ini penting karena salah satu pelanggaran HAM terbesar di Papua. Generasi Papua tentunya harus tahu karena itu sebagai luka bagi batin kami. Kawan-kawan kami mendiskusikannya agar kita tahu hal dan kenyataan yang benar terjadi pada saat orangtua kami dibunuh,” kata mantan Ketua AMP tahun 2015 ini.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Jay Akbar