tirto.id - Saya masih memakai seragam putih biru ketika pertama kali mengenal sup timlo. Sup ini memang makanan yang mudah ditemui di kampung halaman saya, Sragen, Jawa Tengah.
Saat itu seorang kerabat sedang punya hajat, dan timlo menjadi salah satu suguhannya. Saat itu saya tak tahu kalau namanya timlo. Dalam benak saya, itu adalah sup ayam yang dimodifikasi. Isinya adalah irisan tepung goreng gulung, beberapa kerat daging ayam rebus, ati-ampela, telur pindang dan so’un.
Namun heran juga saya: biasanya sup ayam ada sayurnya. Di mangkuk yang saya pegang, nihil sayur dan unsur-unsur hijau aromatiknya. Tak ada wortel, daun bawang, atau seledri.
Sup ini hadir dalam tampilan yang sepi, pucat, dengan nasi dipisah. Temannya adalah sambal kecap kental sebagai penambah cita rasa manis, gurih, dan sedikit pedas. Sebagai pengalaman pertama menikmati timlo, citra ini melekat erat di dalam benak saya: bahwa timlo adalah sup ayam rumahan manis gurih hasil masakan saudara.
Seiring dolan saya yang semakin jauh, saya menyadari bahwa timlo bukanlah sup ayam modifikasi. Justru dia merupakan hidangan unik, meski tersaji polosan. Ketika mulai sering menyambangi kota Solo, saya menemukan fakta bahwa timlo merupakan makanan khas Kota Batik ini. Penjual dan penggemarnya banyak. Beberapa bahkan cukup terkenal dan menjadi jujugan wisata kuliner dari turis-turis luar kota. Persepsi saya tentang timlo sebagai sajian rumahan pun bergeser.
“Kalau ke Solo nggak makan timlo, kurang afdol,” ujar teman-teman yang tinggal di Solo.
Kuliner Solo Raya sendiri cukup kental dengan berbagai unsur budaya. Ada pengaruh keraton, kolonial, juga Tionghoa. Perpaduan ini bisa ditengok dari beragam makanan khasnya, mulai wedang tahu, bestik, selat, sosis Solo, hingga tentu saja timlo. Semua hasil akulturasi yang menguarkan pengaruh banyak budaya dari masa lampau.
Keberadaan pasar Gede Hardjonagoro, yang terletak di salah satu kawasan Pecinan di Solo, menjadi salah satu penegasan percampuran budaya ini. Di sana, kita bisa dengan mudah menemukan aneka ragam kuliner akulturasi di sekitar wilayah pasar.
Adanya sosis Solo dalam timlo mengingatkan saya pada sajian kolonial yang acapkali diperkenalkan oleh lingkungan keraton. Pengaruh budaya Tionghoa terwakili dari bahan pelengkap lainnya seperti telur pindang, penambahan so’un, serta jamur kuping. Dalam sepiring timlo, saya dapat merasakan perpaduan dua budaya berbeda tapi padu dan nikmat. Dalam perkembangannya, timlo diterima dengan baik oleh orang-orang Solo, bahkan menjadikannya sebagai salah satu makanan khas.
Dari beberapa sumber dan obrolan, disebutkan bahwasanya timlo masih ada sangkut pautnya dengan olahan sup kimlo, salah satu kuliner Tionghoa. Bagi saya pribadi, kedua olahan ini mungkin saja masih ada relasi satu sama lain mengingat jenama mereka juga hampir senada. Namun dari segi rasa dan bumbu, keduanya punya faktor pembeda yang cukup signifikan yaitu penggunaan bunga sedap malam kering sebagai bumbu kimlo.
Penggunaan bunga sedap malam kering atau juga dikenal dengan sebutan ‘kimcan’ ini umum dipakai pada masakan Tionghoa lainnya seperti tekwan. Bahan ini seringnya didapat di toko atau penjual khusus bumbu-bumbu masakan Tionghoa. Salah satunya ya di Pasar Gede, sebagai pasar yang menjadi titik temu kedua budaya kuliner besar di Solo.
Rasa dan karakter timlo mengingatkan saya pada sajian bakmoy yang juga memiliki spektrum rasa sejenis. Terlepas dari akar dan pengaruh kulinernya, timlo pada masa sekarang justru banyak dijual oleh warung dan rumah makan yang notabene juga menjual sajian Jawa Tengah lainnya, seperti gudeg dan nasi liwet. Bahan pelengkap dalam timlo yang disajikan di warung ini cenderung sederhana, mungkin menyesuaikan dengan konsumen yang mereka layani. Sajiannya sudah jauh dari penampakan seporsi kimlo yang semarak.
Kebanyakan timlo disajikan dengan komposisi isian seperti sup ayam pada umumnya, dengan tambahan irisan serupa risol, telur pindang, dan ati ampela ayam. Kadang kala ditambahkan pula so’un atau jamur kuping sesuai selera.
Di piring-piring timlo yang saya nikmati, risol yang digunakan lebih serupa sosis Solo, yaitu dadar telur tipis kuning berisi daging cincang berbumbu. Namun, sosis Solo-nya pun tidak seperti yang dijual di lapak-lapak jajanan. Irisan sosis ini lebih mirip dadaran kulit lumpia yang dilipat dan digoreng dengan isian ayam cincang. Sementara, timlo ala rumahan biasanya menggunakan versi yang lebih hemat lagi, yaitu hanya sekedar kulitan polos saja.
“Biar tetep kelihatan timlo walau nggak ada isi risolnya,” begitu ujar ibu saya sewaktu membuat pelengkap timlo di rumah.
Potongan risol ini memang paling menonjol dalam penampilan timlo dan menjadi salah satu ciri khasnya. Isian yang berpadu dalam kuah manis gurih yang segar, membuat timlo menjadi sajian yang nyaman (comfort food) bagi saya. Rasa yang cukup aman bagi saya pribadi jika ingin makan makanan berkuah yang tak terlalu berat atau bikin kenyang.
Editor: Nuran Wibisono