tirto.id - Ada anekdot mahsyur yang pernah diucapkan oleh Imelda Marcos. “Kalah menang, kita akan pergi belanja usai pemilu,” tuturnya. Imelda Marcos adalah istri dari mantan presiden Filipina, Ferdinand Marcos. Ia dikenal sebagai seorang shopaholic, penggila belanja. Dalam sebuah wawancara ia mengaku memiliki lebih dari 1.000 pasang sepatu. Imelda menjadi ikon penggila belanja yang kontroversial, karena menjadi shopaholic, saat masyarakat Filipina diterjang kemiskinan pada masa pemerintahan suaminya.
Imelda Marcos bukan satu-satunya orang yang gila belanja. Masih banyak lagi jutaan orang di berbagai belahan dunia yang keranjingan belanja. Tak peduli butuh barangnya atau tidak, mereka harus berbelanja. Tren ini sedang menghinggapi Indonesia. Dengan pertumbuhan kelas menengah yang sangat pesat, Indonesia kini masuk dalam daftar negara dengan jumlah penggila belanja terbesar.
Singapura merupakan salah satu negara favorit Indonesia untuk berbelanja. Namun, tren itu kini mulai bergeser. Selain munculnya alternatif tempat berbelanja di negara lain yang lebih menarik, Singapura juga mulai digerus oleh maraknya belanja secara online.
Tumpuan Singapura
Menurut riset Global Blue edisi Februari 2016, orang Indonesia tercatat sebagai pembelanja terbesar ke-5 di dunia. Penggila belanja dari Indonesia hanya kalah dari Cina, Timur Tengah, Rusia, dan Amerika Serikat.
Untuk belanja ke luar negeri, Singapura masih menjadi tujuan utama pembelanja Indonesia. Pembelanjaan dari orang Indonesia berhasil mengangkat kinerja tax free shopping (TFS) Singapura pada dua bulan pertama 2016 meniadi 4 persen, dari rata-rata minus 3 persen pada 2015. Namun, sudah muncul kecenderungan untuk berbelanja ke negara-negara lain seiring dengan banyaknya penawaran tiket murah dan juga kemudahan pengurusan visa.
“Orang Indonesia merupakan pembelanja terbesar di Singapura (setelah Cina), and secara historis sangat penting bagi peritel di Singapura karena angka kunjungannya merupakan yang tertinggi mewakili hampir seperlima transaksi Global Blue TFS,” ujar Jan Moller, Wakil Presiden Penjualan Global Blue Asia Pasifik, Jan Moller.
Pembelanja Indonesia merupakan sumber penting bagi sektor pariwisata Singapura. Implikasinya tentu saja pada peningkatan pendapatan Negeri Singa itu. Data Singapore Tourism Board (STB) menyebut, Indonesia merupakan sumber pasar terbesar Singapura, baik dari sisi kedatangan maupun penerimaan sektor pariwisata.
Menurut data STB, pada 2012, wisatawan Indonesia yang pergi ke luar negeri mencapai 7,3 juta. Analis memperkirakan pertumbuhannya meningkat dalam lima tahun dengan kisaran pertumbuhan 7,4 persen hingga 9 persen pada 2017. Menurut data pada 2012, Singapura masih menjadi tujuan utama denagn persentase 28 persen, disusul Malaysia (18 persen), Arab Saudi (15 persen). Kepergian ke Arab Saudi sendiri kebanyakan untuk alasan ibadah seperti umrah dan haji.
Pengeluaran wisatawan Indonesia ketika bepergian ke Singapura pada 2012 mencapai $3.142 juta. Dari jumlah itu, 9 persen digunakan untuk belanja. Kebanyakan wisatawan Indonesia pergi ke Singapura untuk berlibur. Jumlahnya mencapai 65 persen. Hanya sekitar 3 persen yang mengkhususkan untuk berbelanja. Selebihnya adalah untuk mengunjungi kawan, kerabat, ataupun sekadar transit.
Meski demikian, aktivitas utama orang Indonesia ketika pergi ke Singapura adalah untuk berbelanja. Sekitar 9 dari 10 wisatawan Indonesia berbelanja selama di Singapura. Mereka biasanya menyambangi Orchard Road, Changi Airport ataupun Bugis. Barang populer yang dibeli adalah suvenir dan hadiah (48 persen), makanan (37 persen), pakaian dan aksesoris mewah (32 persen).
Pudarnya Pesona
Sayangnya, pesona Singapura sebagai tempat berbelanja semakin pudar. Satu per satu merek-merek besar menutup gerainya di Singapura. Bloomberg menulis, jumlah ruangan kosong di pusat perbelanjaan utama Singapura semakin meningkat.
Ruang kosong di wilayah perbelanjaan Orchard Road meningkat ke titik tertinggi dalam lima tahun. Orchard Road merupakan jantung tujuan para wisatawan yang ingin berbelanja. Di Orchard Road terdapat sejumlah pusat perbelanjaan yang selalu dituju wisatawan seperti Takashimaya.
Beberapa merek besar memilih menutup gerainya. Misalnya Al-Futtaim Group, distributor sejumlah merek besar seperti Mark & Spencer dan Zara. Kelompok usaha ini ingin menutup paling tidak 10 tokonya di Singapura, dan berniat memperluasnya ke negara-negara yang lebih murah seperti Malaysia dan Indonesia.
Satu per satu merek-merek besar memang membuka gerainya di Indonesia. Mereka ingin lebih dekat dengan konsumen untuk mendapatkan pasar yang lebih besar. Merek-merek besar yang sudah membuka gerainya di Indonesia antara lain Hermes, Gucci, Louis Vuitton.
“Orang Indonesia menunjukkan kesukaan pada barang mewah. Mereka menghargai produk berkualitas dan mereka menghargai hasil kerajinan,” ujar Chief Executive Gucci, Francois-Henri Pinault, seperti dikutip dari Wall Street Journal.
Dengan hadirnya merek-merek dunia tersebut di Indonesia, konsumen tak perlu lagi jauh-jauh ke Singapura. Apalagi, seiring meningkatnya kemakmuran, belanja ke Singapura sudah bukan lagi barang mewah. Singapura punya saingan dari Jepang, Eropa, Amerika Serikat, ataupun Hong Kong yang dianggap lebih memberikan kemewahan bagi para penggila belanja Indonesia.
Satu lagi, Singapura punya ancaman besar dari online shop. Dengan kelincahan jari, para penggila belanja bisa mendapatkan barang-barang yang diinginkannya dari berbagai belahan dunia. Mereka tak perlu bersusah payah membeli tiket ataupun pergi ke luar negeri. Itulah pekerjaan rumah besar Singapura, bagaimana menggaet para penggila belanja agar tetap mau berkunjung ke negaranya.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti