tirto.id - Pemerintah pusat India tengah disorot oleh komunitas petaninya, terutama yang berasal daerah lumbung pangan di pegunungan utara seperti Punjab dan Haryana. Beberapa minggu terakhir, sekitar 300 ribu petani berbondong-bondong jalan kaki dan naik traktor menuju ibukota Delhi untuk memprotes tiga butir UU Pertanian yang disahkan oleh parlemen pada bulan September. Di perbatasan Delhi, mereka disambut polisi dengan barikade, gas air mata, sampai meriam air.
BBC mencatat jumlah total peserta aksi mogok mencapai 250 juta orang petani dan buruh di seluruh India.
Aksi demo dipicu oleh kekhawatiran bahwa reformasi pertanian akan membuat petani semakin ditindas oleh raksasa korporat. Di lain pihak, pemerintah beralasan telah melakukan efisiensi mata rantai pemasaran yang kelak justru menguntungkan petani sekaligus mengundang lebih banyak investor di sektor pertanian.
Reformasi Pro-Pasar Bebas
Secara sederhana, reformasi pertanian ini mendorong petani untuk lebih terlibat dalam praktik pasar bebas, terutama dua undang-undang berikut.
Berdasarkan UU Pemberdayaan dan Perlindungan, petani akan diarahkan untuk terikat dalam suatu perjanjian dengan pembeli. Kategori pembelinya sangatlah luas, mulai dari pedagang kecil sampai pengusaha supermarket atau pabrik pengolah makanan. Jauh hari sebelum masa panen tiba, kedua belah pihak harus bernegosiasi untuk menyepakati harga komoditas.
Kemudian, UU Promosi dan Fasilitasi akan mengizinkan petani untuk menjual produknya tanpa harus menggunakan jaringan pemasaran dari pemerintah. Pada dekade 1960 dan 70-an, pemerintah di tiap-tiap negara bagian menerapkan UU Pemasaran untuk melindungi petani dari eksploitasi tengkulak atau perantara. Komite Pemasaran Produk Pertanian (APMC) ditunjuk untuk mengatur jalannya aktivitas jual-beli melalui mandi, semacam area di pasar tempat hasil tani dilelang oleh pedagang yang beroperasi di sekitar lokasi. Dalam sistem mandi, pedagang besar, ritel, ataupun konglomerat tidak diperbolehkan bergabung. Dengan adanya APMC pula, harga layak dan pembayaran yang tepat waktu dapat lebih terjamin.
Tanpa melalui jalur APMC, petani bebas berjualan baik di dalam negara bagian, maupun ke luar negara bagian. Mekanisme jual-beli secara daring pun diregulasi agar semakin praktis. Selain itu, tidak akan ada lagi pajak yang sebelumnya ditarik oleh tiap-tiap negara bagian.
Singkatnya, reformasi ini membebaskan petani untuk menentukan harga komoditas dengan pembeli, termasuk melakukan aktivitas jual-beli di mana saja, mulai dari kebun sendiri sampai ke toko, pabrik atau pusat penyimpanan bahan pangan lainnya.
Sebagaimana diulas dalam India Today, petani India khawatir apabila harga yang disepakati dalam pasar bebas menjadi lebih rendah daripada Harga Sokongan Minimum (MSP, Minimum Support Payment) yang sudah ditetapkan pemerintah. Pada waktu sama, petani merasa tidak punya cukup daya tawar untuk menghadapi tekanan dari raksasa korporat yang kemungkinan besar ingin membeli komoditas dengan harga lebih rendah daripada batas minimum selama ini. Selain itu, mereka tak rela jika jaring pengaman yang selama ini dibentangkan dalam sistem mandi oleh APMC dihapuskan.
Petani pun menuntut agar UU reformasi pertanian segera dibatalkan dan jaminan pemerintah untuk menjaga harga minimum komoditas tetap berlaku.
Berbagai kalangan ikut terjun ke jalanan untuk menyuarakan dukungannya kepada para petani, mulai dari warga sipil sampai aktivis iklim dan lingkungan. Para penyanyi asal Punjab dan Haryana bahkan sempat merilis beberapa lagu bertema petani, yang secara garis besar liriknya berisi semangat “pemberontakan dan revolusi”, mulai dari ungkapan syukur terhadap kerja keras petani, sampai seruan terhadap para petinggi di Delhi untuk keluar dari istana-istana mereka dan mengembalikan hak-hak petani.
Gelombang protes ini semakin mempertajam gambaran kemiskinan dan tragisnya kehidupan petani India. Studi tahun 2016 menunjukkan bahwa setiap tahun, sedikitnya 16 ribu petani bunuh diri karena faktor-faktor sosio-ekonomi, terutama lilitan utang.
Namun demikian, sektor pertanian tetaplah menjadi sumber mata pencaharian utama bagi separuh lebih populasi India, meskipun sumbangannya terhadap Produk Domestik Burto tidak mencapai 20 persen.
Gerakan Petani dari India Utara
Kegiatan bertani menjadi ciri khas negara bagian di utara, seperti Punjab, Haryana, dan Uttar Pradesh. Khususnya Punjab dan Haryana, kedua wilayah tersebut selama ini menjadi lumbung penghasil padi dan gandum terbesar. Revolusi Hijau, strategi pada tahun 1960-an untuk mengatasi malnutrisi di negara-negara berkembang, kerap diasosiasikan dengan proyek-proyek pemerintah dalam mengejar kemajuan teknologi pertanian.
Sejak dekade 1970-an, Serikat Petani India (BKU) yang bersifat non-partisan mulai berkembang dari sejumlah kelompok petani di Punjab dan Haryana. Seiring berjalannya waktu, lahir banyak faksi BKU di seluruh penjuru negeri untuk mewadahi aspirasi petani di daerah masing-masing. Pada 1988, BKU cabang Uttar Pradesh yang dipimpin oleh Mahendra Tikait berhasil mengguncang ibukota Delhi dengan arak-arakan 500 ribu petani. Mereka menduduki taman rekreasi Boat Club untuk menuntut pemerintah agar menaikkan harga tebu dan menurunkan tarif listrik serta air.
Demonstrasi yang dimotori oleh serikat petani pada penghujung 2020 ini sekilas mengingatkan pada energi protes yang berlangsung tiga dekade silam. Namun, dalam aksi protes kali ini, berbagai kelompok petani dari Punjab menjadi mesin penggerak utamanya. India Today melaporkan, dari 35 asosiasi petani yang ikut aksi protes, 31 kelompok berasal Punjab.
Meskipun mayoritas asosiasi petani dari Punjab tidak berafiliasi dengan aliran politik, beberapa mempunyai afiliasi dengan Partai Komunis India (CPI), seperti Kul Hind Kisan Sabha. Dari CPI (Marxist-Leninist), terdapat Kirti Kisan Union dan Punjab Kisan Union. Ada pula All India Kisan Sabha yang merupakan bagian CPI (Marxist). Bersama-sama, 35 kelompok tersebut mewakili para petani dalam negosiasi dengan pemerintah pusat pada awal Desember.
Sampai pertengahan bulan Desember, sudah berlangsung enam kali negosiasi. Namun, belum ada kata sepakat di antara para pemimpin serikat tani dan pemerintah pusat.
Komunisme dan Gerakan Petani India
Dalam demonstrasi kali ini, tidak ada satu pun kelompok dominan yang berperan memobilisasi para demonstran. Rombongan petani datang dari beragam asosiasi pertanian, baik yang bersifat independen maupun berhaluan politik komunis.
Di balik itu semua, tetap sulit untuk melupakan peran gerakan komunis dalam gejolak aktivisme petani India sejak awal abad ke-20.
Aktivisme petani di India dapat ditarik mundur sampai era kolonialisme Inggris. Pada mulanya, gerakan tani memang belum memiliki kerangka ideologis dan terorganisir, meskipun mereka disatukan oleh semangat komunal atau keagamaan. Salah satu protes petani India paling awal terjadi Bengal pada 1859. Ribuan petani indigo mogok kerja dan menyerang pabrik serta perkebunan milik orang Eropa. Mereka gusar karena terikat oleh sistem kontrak yang eksploitatif dan membuat mereka terbelit utang.
Setelah paham komunisme memasuki India pada awal abad ke-20 dan Partai Komunis India (CPI) berdiri tahun 1925, mulai tampak gerakan petani yang digenjot oleh semangat CPI. Masih di Bengal, antara tahun 1946-1947 berlangsung Gerakan Tebhaga yang poros kekuatannya berasal dari serikat petani Kisan Sabha milik CPI. Protes ini dilancarkan oleh petani kecil yang tidak terima karena harus memberikan sebagian besar hasil panennya untuk membayar sewa kepada tuan tanah.
Pengaruh komunisme di komunitas perdesaan petani terutama cukup kuat di wilayah selatan India. Sepanjang tahun 1946-1951, aktivis CPI turut andil dalam memimpin pemberontakan petani di Telangana, yang dulu merupakan bagian dari negara monarki Hyderabad.
Pemberontakan Telangana awalnya menyasar tuan tanah yang menjerat petani kecil dengan kerja paksa, kontrak eksploitatif dan pajak tinggi. Namun, tak berapa lama kemudian, perlawanan diarahkan kepada pemerintahan feodal Hyderabad. Perjuangan mereka berbuah manis dengan kenaikan upah, redistribusi lahan, serta penghapusan sistem kerja paksa, meskipun harus dibayar mahal dengan kematian banyak petani dan aktivis.
Masih di bagian selatan India, CPI turut serta dalam aksi bela petani Kerala dari penindasan oleh tuan tanah feodal. Ketika CPI keluar sebagai pemenang di parlemen Kerala pada 1957, kesejahteraan petani menjadi salah satu agenda politiknya, yang lantas terwujud dalam serangkaian reformasi radikal untuk redistribusi lahan. Petani Kerala sejak itu mendapatan hak atas lahan pertanian yang sebelumnya dikuasai oleh tuan tanah. Di Kerala pula hubungan-hubungan sosial dan ekonomi yang lebih egaliter antarwarga tercipta. Sampai hari ini.
Editor: Windu Jusuf