tirto.id - Liliawati tak pernah menyangka bakal dapat pesanan barang dagangan senilai Rp2 miliar. Presiden Joko Widodo (Jokowi) membeli sabun cuci yang ia jajakan pada pameran UMKM di acara Penyerahan Bantuan Sosial Program Keluarga Harapan (PKH) di Gedung Serbaguna Mandala, Kabupaten Garut, Jawa Barat, akhir pekan lalu.
“Presiden dan Ibu pesan sabun cuci 100 ribu botol buat akhir Februari,” kata warga Desa Padahurip, Banjarwangi, Garut ini.
Setiap botol yang diproduksi berukuran 1.000 ml dihargai Rp20 ribu, sehingga totalnya Rp2 miliar. Pembelian ini menuai kontroversi karena terjadi pada periode kampanye, karena Jokowi adalah salah satu calon peserta Pilpres dan sumber dana pembelian sabun sebanyak itu.
Di luar masalah kontroversi, Lili adalah satu dari banyak produsen sabun di Garut yang memproduksi sabun cuci piring dan sabun cuci pakaian. Ia belajar membuat sabun secara otodidak, lewat ragam tutorial video yang bertebaran di internet. Untuk melihat perputaran bisnis sabun produksi lokal, Tirto menghubungi salah satu produsen yang telah memasarkan produk sabun lokal ke beragam pusat grosir di Indonesia.
PT Motto Beringin Abadi adalah produsen produk-produk yang berhubungan dengan kamar mandi atau toiletris curah di Indonesia. Pendirinya, Budiono Gondosiswanto memulai usaha sejak 1995 dengan modal Rp5 juta. Saat itu, pria lulusan Kimia di Hawkesbury Advance College, University Western Sydney, Australia ini hanya menjual produk ke tetangga dan kenalannya. Waktu itu, Budi hanya mampu menghasilkan untung Rp15 ribu dalam dua hari.
Kini, pabriknya sudah mampu memproduksi hingga 22 jenis produk toiletris termasuk perawatan tubuh, wajah, ragam sabun cuci, pemutih, karbol, hingga pelicin pakaian. Produk-produk tersebut dihargai mulai dari Rp5-50 ribu per liter. Produk yang paling mahal termasuk dalam jenis perawatan personal seperti losion, sabun wajah, dan sabun mandi.
“Dalam sebulan, bisa dapat omzet Rp5 miliar, termasuk ekspor,” kata Budiono kepada Tirto.
Negara seperti Libia, Yaman, Irak, Turki, Afrika, Taiwan, dan Amerika adalah sedikit negara yang memesan produk buatan Budi. Ia mengklaim banyak perusahaan dengan merek terkenal membeli produk miliknya untuk dikemas ulang. Perusahaan milik Budi juga memasok produk ke beberapa pusat grosir seperti Indomaret, Hero, Giant, Indo Grosir, Lotte Mart, dan Trans Grosir. Mereka juga bekerja sama dengan Blue Bird Group, Honda Permata Hijau, serta Meizatama.
“Kami punya formula bagus tapi murah harganya, waktu pengiriman juga singkat,” ungkap Budi.
Geliat sabun lokal di Garut maupun skala korporasi seperti Motto milik Budiono, berkelindan dengan kondisi pasar di Indonesia. Sabun lokal masih punya tempat di tengah menjamurnya produk sabun produksi perusahaan multinasional di Indonesia.
Deloitte dalam laporan yang berjudul Deloitte Consumer Insights Embracing bricks and clicks in Indonesia (June, 2017) melakukan survei di beberapa kota besar Indonesia seperti Bandung, Jakarta, Makassar, Medan, dan Surabaya. Lembaga riset global ini menilai poin kecenderungan masyarakat terhadap merek lokal dan merek luar beberapa jenis produk, salah satunya produk kebersihan personal. Kategori yang masuk dalam produk kebersihan ini adalah sabun, diaper bayi, produk perawatan rambut, dan produk saniter.
Deloitte menunjukkan merek lokal lebih disukai masyarakat Indonesia ketimbang merek luar, terutama untuk segmen menengah bawah. Preferensinya 88 persen berbanding 12 persen dengan pasar pengguna paling besar di Bandung dan Surabaya sebanyak 100 persen, Medan 95 persen, Makassar 88 persen, serta Jakarta 83 persen. Produk-produk merek lokal lebih disukai karena dianggap unggul dari segi harga 19 persen, kualitas 13 persen, promosi 12 persen, dan keamanan 10 persen.
“Produk lokal lebih disukai konsumen berpenghasilan rendah dan menengah karena mereka lebih sensitif terhadap harga,” tulis survei tersebut.
Produk merek lokal lebih disukai konsumen dengan penghasilan di bawah Rp5 juta per bulan. Sementara konsumen berpenghasilan tinggi cenderung lebih peduli tentang kualitas keseluruhan dalam sebuah produk. Kedua produk, merek lokal maupun luar lebih banyak dibeli pada pasar-pasar modern ketimbang tradisional. Namun, yang jadi catatan, sabun lokal masih terbatas masuk ke segmen menengah bawah, setidaknya menurut survei Deloitte.
Potensi Indonesia sebagai penghasil sabun sangat besar, karena memiliki bahan baku yang berlimpah mulai dari minyak sawit, hingga minyak akar wangi yang banyak dihasilkan di Garut. Namun, bahan baku seperti minyak akar wangi sudah lama kalah bersaing dengan produksi negara lain karena masalah kualitas dan pengolahan.
Garut Sumber Bahan Baku
Minyak akar wangi adalah salah satu minyak atsiri yang digunakan sebagai bahan dasar pengikat wangi-wangian. Minyak ini jadi salah satu bahan baku produk parfum, kosmetik, aromaterapi, hingga sabun. Indonesia menyumbang 30 persen pasokan akar wangi dunia dan Garut menyumbang produksi lebih kurang 90 persen dari produksi minyak akar wangi Indonesia. Garut adalah salah satu wilayah yang mengembangkan produksi sabun lokal. Di sana kita bisa menemukan berbagai produsen yang menawarkan produk sabun atau pewangi pakaian beragam aroma merek terkenal dengan harga miring dan eceran.
Sebagian besar produksi minyak akar wangi Indonesia diekspor ke luar negeri. Indonesia sempat jadi pemasok utama minyak akar wangi di dunia, tapi penelitian oleh Ahmad Moestafa, dkk berjudul "Pengaruh lama dan kecepatan penyulingan terhadap kadar minyak dan vetiverol akar wangi" dalam ejurnal Kemenperin mengungkap faktor kualitas dan persaingan telah menggerus kejayaan ekspor minyak akar wangi Indonesia.
“Mutu turun karena banyak akar wangi dipanen sebelum waktunya dan cara penyulingan kurang benar,” ungkapnya.
Umumnya para produsen minyak atsiri di Garut menyuling akar wangi hanya dalam waktu 12 jam pada tekanan 3-4 atm. Pada tekanan 4 atm, temperatur penyulingan mencapai suhu 140 derajat celcius, membikin terbentuknya uap kering yang menghanguskan bahan organik termasuk akar wangi. Banyak hasil penyulingan yang akhirnya berbau gosong dan kadar vetiverolnya jarang mencapai angka 50, standar yang diterapkan pembeli luar.
Ede Kadarusman, Ketua Asosiasi Atsiri Indonesia dalam laporan Liputan6, menyebut akar wangi sulit tumbuh di daerah selain Garut. Kondisi tersebut membikin Garut sempat jaya dengan produksi minyak akar wanginya di tahun 1970 hingga awal 2000-an. Produksi kala itu bisa mencapai 100 ton per tahun. Saat ini, produsen terbesar minyak akar wangi masih dipegang oleh Haiti. Mereka memproduksi minyak akar wangi sebanyak 60 ton per tahun dari total kebutuhan dunia sebesar 250-300 ton per tahun.
“Sejak tahun 2004 mulai turun produksi kita," katanya.
Editor: Suhendra