tirto.id - AKBP Heru Pramukarno dicopot dari jabatan Kapolres Banggai. Heru dianggap lalai saat menjalankan pengamanan untuk menggusur warga yang berada di Tanjung Sari, Luwuk. Ia dinilai bersalah karena keliru membuat keputusan.
Karo Penmas Mabes Polri, Brigjen Pol Mohammad Iqbal menyatakan, Heru layak diganti karena tidak cermat melihat hukum. Alasannya, Heru hanya melaksanakan permohonan dari Pengadilan Negeri Luwuk, tanpa melihat permasalahan hukum secara teliti.
“Setelah lakukan pendalaman oleh bagian Profesi dan Pengamanan Polri, ditemukan ketidakcermatan Kapolres dalam melihat eksekusi itu. Bahwa ternyata lahan yang dieksekusi PN masih ada puluhan lahan-lahan milik orang lain yang bersertifikat,” kata Iqbal kepada awak media, Rabu (28/3/2018).
Pelibatan aparat kepolisian dalam penanganan kasus agraria ini berlandaskan pada perjanjian kerja sama antara Polri dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ART)/Badan Pertanahan Nasional, pada Maret 2017. Saat itu, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil menginginkan Polri memberantas mafia tanah agar seluruh tanah di Indonesia tersertifikasi pada 2025.
Usai penandatanganan tersebut, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menyatakan, pihaknya segera mengkaji permasalahan tumpang tindih kepemilikan tanah, dualisme sertifikat dan kasus-kasus saling klaim kepemilikan tanah.
“Kami juga sepakat mendorong upaya mekanisme pencegahan [konflik agraria, mafia pertanahan dan pungli]. Jangan sampai terjadi. Penindakan adalah upaya terakhir,” kata Tito usai penandatanganan nota kerja sama dengan Kementerian ATR/BPN, Maret 2017.
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) ada 450 kasus konflik agraria di Indonesia selama tahun 2016 lalu. Jumlah itu naik hampir dua kali lipat ketimbang data 2015 yang hanya sebanyak 252.
Akan tetapi, aparat kepolisian tidak sepatutnya melakukan penindakan jika tidak benar-benar dibutuhkan. Tindakan Heru makin bertentangan dengan pernyataan Tito karena bukannya mencegah konflik terjadi, tetapi ia justru memihak putusan hukum yang tidak kuat.
Heru sepatutnya tidak menggusur warga Tanjung Sari secara keseluruhan, karena sebagian warga memiliki sertifikat tanah. Putusan BPN RI Kantor Wilayah Sulawesi Tengah Nomor 899/72/VI/2017 perihal eksekusi di Luwuk, Banggai menyatakan, pelaksanaan eksekusi mengalami perluasan dari objek perkara yang sebenarnya.
Namun, Heru bertindak sebaliknya, pasukan Polri di lapangan yang diminta untuk menjaga keamanan oleh pihak Pengadilan Negeri Luwuk malah menjadi alat untuk menggusur warga dengan paksa. Selain mengusir warga, polisi juga sempat menembakkan gas air mata dan menangkap 26 orang warga, termasuk kuasa hukum dari korban penggusuran.
Heru Terancam Pidana
Selain pencopotan Heru sebagai Kapolres Banggai, kata Iqbal, akan ada sanksi setelah pemeriksaan dari Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri selesai dilakukan. Sanksi tersebut bisa jadi penurunan pangkat, penundaan kenaikan pangkat, atau bahkan sampai pada kurungan.
“Sekarang sedang berproses, mekanismenya jelas. Setelah proses selesai dibawa ke sini untuk sidang kode etik profesi dan pelanggaran disiplin. Sanksinya jelas, demosi, penundaan pangkat, bahkan sampai ke kurungan,” kata dia.
Dalam penanganan penggusuran, kapasitas polisi tidak diatur secara spesifik. Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri misalnya, salah satu tugasnya adalah untuk menegakkan hukum. Pada kasus Luwuk, langkah aparat kepolisian tidak tepat karena hanya mengikuti arahan PN Luwuk, tanpa mengecek kebenarannya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Fickar Hadjar menilai, Heru sudah menyalahi aturan dengan ikut melakukan penggusuran. Menurut dia, penggusuran selayaknya dilakukan Satuan Polisi Pramong Praja (Satpol PP), jika putusan dilakukan oleh Peraturan Daerah. Sedangkan jika melewati putusan PN, penggusuran seharusnya dilakukan oleh juru sita pengadilan.
Berbeda halnya jika dalam proses perkara pengadilan, maka tanah tersebut akan dipasangi pelang oleh petugas yang menandakan tanah tersebut dalam perkara hukum.
“Putusan pengadilan perkara perdata. Fungsi polisi bukan pelaksana, melainkan penjaga keamanan, jika terjadi gangguan keamanan,” kata Fickar pada Tirto, Kamis (29/3/2018). “Jadi jika polisi menjadi pelaksana eksekusi, itu sudah menyalahi dan melebihi kewenangannya.”
Atas kesalahan itu, Fickar menilai, Heru harus diadili melalui sistem pengadilan. Jika memang warga memiliki sertifikat tanah secara sah dan digusur oleh Polri, maka Heru harusnya dapat dijatuhkan hukuman pidana, bukan hanya kurungan.
“Polri tidak boleh menggusur,” kata Fickar menegaskan. “Dengan mengeksekusi tanah yang bersertifikat, jelas ini merupakan kesalahan besar yang bersifat pidana.”
Keterlibatan Polri Dalam Konflik Agraria Tidak Tepat
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Iwan Nurdin menyatakan, pihaknya menolak keterlibatan TNI dan Polri dalam masalah agraria. Ia menegaskan, konflik agraria tidak hanya masalah hukum, tetapi juga konflik sosial, adat, dan kepentingan.
“Tidak seluruh warga memiliki sertifikat meski sudah menempati tanah selama berpuluh-puluh tahun, sedangkan perusahaan itu gampang mendapatkan sertifikat,” kata Iwan.
Dalam penanganan kasus Luwuk, kata Iwan, hal itu diperparah dengan adanya penggusuran dengan menggunakan aparat kepolisian.
“Itu lebih parah lagi. Makanya, Polri ini tidak memahami konflik agraria selain masalah pidananya,” kata Iwan.
Sebelum ada pembekalan yang cukup soal pengetahuan konflik agraria terhadap TNI-Polri, Iwan berharap aparat tidak ikut dalam masalah penggusuran warga. Apalagi, polisi terkadang tidak memahami masalah sertifikat tanah.
“Yang paling tepat adalah ia tidak terlibat dalam penangan konflik agraria. Tugas utama Polri dan TNI bukan untuk penanganan konflik agraria. Apalagi yang terjadi di Luwuk [misalnya] lebih kompleks dari itu,” kata Iwan.
Iwan masih memaklumi jika ada keterlibatan TNI-Polri dalam proyek pembangunan nasional. Ia menganggap, keterlibatan Polri dan TNI masuk akal jika ada urgensi yang menuntut. “Tapi yang di Luwuk ini apa? Kan enggak ada urgensinya,” kata dia.
Komisioner Ombudsman RI, Adrianus Meliala mengatakan, Polri mempunyai Peraturan Kapolri Nomor 16 tahun 2006 tentang pengendalian massa. Ada tiga situasi yang harus diperhatikan Polri, yakni merah, kuning, dan hijau.
Pada fase hijau, kata Adrianus, Polri hanya melakukan pengamanan dan imbauan agar massa tetap tertib dalam menyampaikan pendapatnya. Dalam fase kuning, Polri tetap mengambil sikap berlindung sambil mengerahkan mobil Polri untuk maju dan memecah belah massa, dengan syarat ada pelemparan atau tindak kekerasan dari massa. Pada fase merah, Polri berhak melakukan penegakan hukum.
Masalahnya, kata Adrianus, dalam penggusuran, warga tetap bertahan dalam tempat tinggalnya dan tidak bergeming. Polri langsung maju untuk melakukan tindakan tegas dan terjadi kericuhan. Akibatnya, 4 orang dijadikan tersangka.
“Polisi memang boleh saja melakukan tindakan tegas dan menetapkan tersangka. Polri juga berhak bertindak tegas, tapi tentu ada imbauan dan mediasi terlebih dahulu. Meski dalam penggusuran, hal itu juga harus dilakukan,” katanya.
Perihal masalah ketidakcermatan Heru dalam menilai permasalahan hukum, Adrianus berkata, hal itu memang kesalahan penilaian Heru seutuhnya. Ia harus bertanggung jawab terhadap hal tersebut. Karena bisa jadi, Heru hanya menuruti kepentingan dari pejabat.
“Tapi itu yang sulit dibuktikan,” kata Adrianus menambahkan.
Adrianus berkata, perlu adanya keberanian dari Propam Mabes Polri untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 4 tersangka warga Luwuk. Hal ini karena kesalahan penilaian Heru menjadi dasar penggusuran dan menyebabkan kericuhan yang menjadikan 4 warga Luwuk sebagai tersangka.
“Memang tidak ada peraturannya, SP3 ‘kan tidak bisa dikeluarkan hanya karena penilaian Polri salah. Kalau tetap ada buktinya, ya tetap diproses hukum. Tapi sebagai tanggung jawab kesalahan Kapolresnya (Heru), seharusnya Propam berani mengeluarkan SP3,” kata Adrianus. “Dan Kapolresnya masuk di sidang etik.”
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz