tirto.id - AKBP Heru Pramukarno dicopot dari jabatannya sebagai Kapolres Banggai, Sulawesi Tengah, terkait kasus penggusuran lahan di Tanjung Sari, Luwuk pada 19 Maret 2018 lalu.
Karo Penmas Mabes Polri, Brigjen Mohammad Iqbal menyatakan bahwa Heru layak diganti karena tidak cermat melihat hukum. Pasalnya, Heru hanya melaksanakan permohonan dari Pengadilan Negeri Luwuk tanpa melihat permasalahan hukum secara teliti.
Selain itu, sebagian warga yang digusur dari kawasan Tanjung Sari, Luwuk, Banggai, juga masih memiliki surat tanah.
"Setelah lakukan pendalaman oleh bagian Profesi dan Pengamanan Polri, ditemukan ketidakcermatan Kapolres dalam melihat eksekusi itu. Bahwa ternyata lahan yang dieksekusi PN masih ada puluhan lahan-lahan milik orang lain yang bersertifikat," tegas Iqbal saat dihubungi, Rabu (28/3/2018).
Iqbal menjelaskan, petugas kepolisian yang dikirim Heru ke lokasi penggusuran adalah bentuk permohonan pengamanan yang dikirimkan melalui surat oleh PN Luwuk.
Menurut Iqbal, penggusuran itu merupakan hasil dari putusan pengadilan. Selain itu, permintaan pengamanan dari pihak kepolisian karena ada perlawanan dari warga sekitar. Selain ikut menggusur, petugas kepolisian itu malah menembakkan gas air mata dan sempat menahan 26 orang yang dianggap provokator.
"Seharusnya Kapolres dapat meminta kepada PN untuk menunda. Maka dari itu Kapolresnya dicopot," ujarnya lagi.
Dalam video yang diunggah di media sosial, warga yang sebagian adalah wanita diusir oleh petugas berseragam lengkap. Iqbal menegaskan, ada kesalahan prosedur juga dalam penanganan warga yang melakukan protes.
"Seharusnya dilakukan negosiasi yang bagus, terus Polwan dikedepankan," katanya. "Harus ada penilaian faktor keamanan dari kepolisian setempat. Kalau kepolisian setempat menilai bahwa ada perlawanan, sengketa, masih berhak menunda sampai selesai. Polisi punya hak."
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika sudah menyinggung eksekusi penggusuran yang dilakukan oleh PN Luwuk dan Polres Banggai salah sasaran. Menurutnya, dalam surat Badan Pertanahan Nasional Wilayah Sulawesi Tengah nomor 899/72/VI/2017 pelanggaran eksekusi tersebut sudah tertera.
"Putusan dan perintah pengosongan oleh PN Luwuk ini jelas keliru, karena berada pada obyek tanah yang nyata-nyata telah dimiliki secara sah oleh masyarakat, yang dibuktikan dengan sertifikat (SHM) resmi Kementerian ATR/BPN. Ini menunjukkan bahwa putusan dan eksekusi penggusuran tersebut cacat hukum," tegasnya saat dihubungi Tirto, Selasa (20/3/2018).
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Alexander Haryanto