Menuju konten utama
2 Desember 2016

Aksi 2 Desember dan Hukum yang Harus Dijunjung

Tiga Aksi Bela Islam yang dimotori GNPF MUI selalu menuntut proses hukum bagi penista agama. Polisi bergerak cepat. Namun tuntutan massa tak kalah cepat.

Aksi 2 Desember dan Hukum yang Harus Dijunjung
Ilustrasi Mozaik Aksi 212. tirto.id/Sabit

tirto.id - Demo 4 November 2016 atau Aksi Bela Islam II diikuti ratusan ribu orang. Tuntutan utama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI adalah Basuki Tjahaja Purnama segera diproses secara hukum. Sebulan kemudian, yakni pada 2 Desember 2016, tepat hari ini 4 tahun lalu, tuntutan bergeser lebih jauh agar Ahok segera ditahan.

"Tetapi tanpa mengubah tuntutan aksi yaitu tegakkan hukum yang berkeadilan dan target kami untuk penista agama agar ditahan," kata Rizieq Shihab, Dewan Pembina GNPF MUI, setelah membuat kesepakatan dengan Kapolri Tito Karnavian, di Kantor MUI, Senin (28/11/2016).

Meski tetap keras dengan tuntutannya, Rizieq mencoba mengapresiasi Kapolri yang telah memproses hukum Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama secara profesional.

"Sehingga Jumat kemarin pelimpahan tahap pertama telah dilakukan dari Bareskrim Polri ke Kejaksaan Agung. Dan kami juga sudah datangi ke Kejaksaan Agung. Kami diterima Jampidum dan direktur yang berkaitan dengan kasus tersebut," lanjutnya.

Namun tampaknya Rizieq belum puas. Dia meminta agar Kejagung segera mem-P21 perkara tersebut. Tujuannya, perkara bisa segera disidangkan agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan. "Karena masalah ini sudah menyebabkan kegaduhan bahkan heboh internasional. Ini tidak boleh diulur waktu, harus segera ada keputusan. Kami minta kejaksaan juga untuk melakukan penahanan," tegasnya.

Polri sebenarnya telah menjawab tuntutan GNPF MUI dalam demo 4 November. Pada Selasa (15/11/2016), Polri melakukan gelar perkara penyelidikan dugaan penistaan agama oleh Ahok. Tak tanggung-tanggung, dihadirkan 20 saksi dari berbagai keilmuan.

“Gelar perkara nanti, pelapor dengan saksi ahli dihadirkan. Terlapor dengan saksi ahli juga dihadirkan," kata Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, pada pagi sebelum gelar perkara.

Ternyata tak membutuhkan waktu lama bagi polisi untuk menentukan status Ahok. Sehari kemudian, Rabu (16/11/2016), Bareskrim Mabes Polri menetapkan Ahok sebagai tersangka. Dia dijerat dengan Pasal 156 dan 156a KUHP.

Pasal 156 KUHP mengatur, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya, berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara Pasal 156a KUHP menyebut pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Dua minggu setelah ditetapkan sebagai tersangka, tepatnya Rabu (30/11/2016), berkas perkara Ahok dilimpahkan oleh Bareskrim ke Kejaksaan Agung. Sehari kemudian, Ahok mendatangi Mabes Polri untuk diantar ke Jaksa Penuntut Umum. Diumumkan bahwa Ahok akan disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Tak Ada Alasan Tak Ditahan

Jadi mengapa GNPF MUI bersikeras agar Ahok ditahan? Jawaban disampaikan Bachtiar Nasir, Ketua GNPF MUI, bahwa tidak ada aturan hukum yang bisa membebaskan penista agama.

“Besok aksi damai kita tetap tuntut, penjarakan penista agama. Tetap semangat penjarakan. Sebab tidak ada aturan hukum yang membebaskan penista agama dengan semua alasan,” kata Bachtiar, di Masjid Al Munawar, Mampang, Jakarta, Rabu (30/11/2016).

Bachitar bahkan menyebut bahwa GNPF MUI tak kekurangan dana untuk menggelar Aksi 2 Desember. Kucuran dana masih terus mengalir deras ke rekening GNPF MUI. Sejauh ini, total dana sudah yang masuk sekitar Rp 3,1 miliar.

Padahal Aksi Bela Islam II tak menghabiskan separuhnya. “Yang terpakai kemarin itu tidak mencapai Rp 1 miliar. Masih lebih untuk mengguncang Indonesia,” ujarnya.

Infografik Mozaik Aksi 212

Infografik Mozaik Parlemen Jalanan Intervensi Penegak Hukum. tirto.id/Sabit

Apa yang disampaikan Bachtiar terkait tak ada penista yang tak dihukum mungkin benar, meski sebenarnya tidak pas karena proses hukum masih sedang berjalan.

Menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Junimart Girsang, langkah Polri dalam memproses perkara Ahok sudah sigap. Oleh sebab itu, tidak perlu ada perbuatan yang justru memengaruhi independensi aparat penegak hukum.

“Saya kira ini negara hukum. Sebaiknya ‎kita semua tanpa terkecuali tunggu proses hukumnya. Kita kawal tanpa intervensi. Tanpa perlu melakukan penekanan dalam bentuk bagaimanapun. Ini kan sudah diproses polisi. Tapi bagi saya, jadilah masyarakat yang cerdas. Jadilah tokoh yang cerdas dan tidak provoke. Supaya masyarakat jadi tenang dan tidak ter-provoke oleh isu dan seruan yang menyesatkan,” ujarnya, di Kompleks Parlemen DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Kamis (1/12/2016).

Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono, iklim demokrasi memang mendukung bagi siapapun untuk menyatakan pendapat di muka umum melalui aksi unjuk rasa. Meski tetap ada syarat, yakni bisa mengontrol massa yang dikomando agar tak melakukan pelanggaran hukum atau merugikan orang lain.

“Aksi massa yang berpotensi memunculkan kekerasan maupun ancaman fisik harusnya diberikan peringatan,” kata Supri kepada Tirto, Kamis (1/12/2016).

Menurutnya, peran penting pemerintah mengawasi berbagai aksi unjuk rasa serta tak segan menindak jika menyalahi undang-undang. “Sebetulnya, kan, simple. Kalau aksi yang menggunakan kekerasan, gunakan upaya hukum, tangkap, sidik, tuntut, sesuai bukti bukti yang sah,” katanya.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 2 Desember 2016. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait DEMO 2 DESEMBER atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Politik
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana & Reja Hidayat
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Zen RS & Irfan Teguh