tirto.id - Suara menentang surat kesediaan mundur kapan saja sebagai anggota legislatif yang dikeluarkan DPP PKS terus digemakan sejumlah kader di daerah. Gelombang penentangan bukan tanpa konsekuensi: sejumlah kader mengaku telah diberhentikan sebagai pengurus bahkan dicoret dari daftar bakal calon anggota DPR/DPRD.
“SK [pemberhentian] saya terima [Selasa, 17/7] pagi 09.45,” kata mantan Ketua Umum DPD PKS Kabupaten Blitar Ali Muchsin kepada Tirto, Selasa (17/7).
Ali mengklaim sebelum surat keputusan pemberhentian, ia lebih dulu mengundurkan diri. Sikap yang sama juga dilakukan sejumlah pengurus DPD PKS Kabupaten Blitar. "Ketua umum, sekretaris umum, bendahara umum, kecuali bidang kaderisasi,” ujar Ali.
Pengunduran diri Ali dan sejumlah pengurus DPD PKS Kabupaten Blitar bermula dari keengganan menandatangani surat kesediaan mundur kapan saja sebagai bakal caleg yang dikirimkan DPP melalui DPW (provinsi) PKS Jawa Timur. Ia menilai surat itu janggal karena tidak disertai tanggal. “Itu (tanda tangan) sewaktu-waktu bisa berimplikasi hukum,” ujarnya.
Ali menjelaskan tanda tangan tanpa tanggal akan membuat posisi setiap caleg yang berhasil menjadi anggota legislatif lemah. Tanda tangan itu misalnya bisa disalahgunakan dalam bentuk pemberhentian kader yang berhasil lolos menjadi anggota legislatif tanpa alasan jelas. “Kalau nanti misalkan ada yang berkeinginan menganulir [anggota legislatif] tinggal kasih tanggal saja cukup, [diberhentikan] tanpa alasan apa pun,” katanya.
Ali tidak tahu alasan DPP PKS mengeluarkan kebijakan kontroversial itu. Namun, sebagai kader daerah, ia hanya bisa menaati apa yang menjadi keputusan pengurus pusat. “Saya orang daerah. Dahulu zaman Anis Matta (Presiden PKS) ikut manut. Kepemimpinan ini juga tidak ada masalah dengan Pak Sohibul Iman,” ujarnya.
“Karena di PKS siapa pun yang mimpin kami harus loyal,” tambahnya.
Gara-gara sikapnya, Ali mengaku DPW PKS sempat mengubah nomor urutnya sebagai caleg DPRD Kabupaten Blitar dari urutan satu menjadi urutan tiga. Karena Ali bergeming, DPW menghapus namanya dari daftar caleg dan memberhentikannya sebagai pengurus. Namun, ia tetap tercatat sebagai kader.
Membersihkan Loyalis Anis Matta
Abdurrahman, Ketua Majelis Pertimbangan Wilayah PKS Kepulauan Riau, juga memilih mengundurkan diri sebagai caleg. Ia menilai surat kesediaan mundur yang dikirimkan DPP PKS menimbulkan ketidakpastian di kemudian hari. “Mending mundur dari sekarang saja biar ada kejelasan sikap, dan struktur PKS siapkan pengganti lebih baik dari saya,” ujarnya.
Abdurrahman mendengar informasi surat kesediaan mundur sengaja dibuat DPP PKS untuk mengantisipasi kader-kader yang menentang keputusan partai seperti Fahri Hamzah. Cara pandang ini menurutnya salah kaprah sebab sama artinya menyamaratakan sikap satu orang ke seluruh kader.
“Ini perkara yang terlalu menggeneralisir. Ini cara tidak sehat dalam suatu organisasi,” ujar Abdurrahman yang sudah 15 tahun menjadi anggota DPRD PKS Kepulauan Riau.
Taslim Tamang, anggota DPRD Fraksi PKS Sulawesi Selatan, juga memilih mengundurkan diri sebagai caleg. Menurutnya, menandatangani surat kesediaan mengundurkan diri sebagai anggota legislatif mustahil dilakukan. “Kami belum kerja sudah ditawarkan bersedia mundur. Saya dan beberapa teman tidak bersedia cara seperti itu,” ujarnya.
Taslim menilai surat kesediaan mengundurkan diri yang dikeluarkan DPP PKS sebagai langkah membersihkan loyalis Anis Matta. Hal ini menurutnya terlihat dari nama-nama kader yang dicoret sebagai caleg. “[Mereka] adalah orang yang aktif kampanyekan Pak Anis sebagai capres,” katanya.
Taslim heran mengapa DPP PKS bersikap resisten terhadap para kader yang mengampanyekan Anis sebagai capres. Sebab menurutnya Anis termasuk satu dari sembilan capres dan cawapres yang diputuskan partai. “Kami ini semua pernah bekerja untuk capres sebagaimana ditetapkan DPP sendiri,” katanya.
“Sekarang hampir setiap daerah kabupaten [caleg] mundur,” tambahnya.
Tidak Dapat Surat
Abdul Kharis Almashari, anggota DPR RI dari PKS yang kembali maju menjadi caleg mengaku tidak pernah mengetahui ada surat kesediaan mengundurkan diri yang harus ditandatangani para caleg. Sejauh ini ia hanya menandatangani "pakta integritas" yang menurutnya lazim ada di setiap partai. “Saya cuma tanda tangan pakta integritas,” kata Abdul Kharis kepada Tirto, 16 Juli 2018.
Noval Abuzar, Ketua DPD PKS Kepulauan Seribu yang juga caleg PKS, mengaku belum pernah menerima surat edaran dan formulir seperti yang diterima kader lain. “Belum dapat saya,” kata Noval lewat pesan singkat.
Juru Bicara PKS Mardani Ali Sera mengaku belum mengetahui ada dua formulir itu. Meski demikian, ia mengaku sudah mendengar kabar mundurnya sejumlah kader PKS sebagai caleg. “Saya sempat dengar, tapi tidak menekuni isu itu,” katanya.
Wakil Sekjen PKS Abdul Hakim memilih bungkam. Lewat pesan singkat, ia mengatakan pada waktunya DPP PKS akan memberikan penjelasan terkait hal tersebut. “Tidak sekarang. Kami fokus sedang siapkan pendaftaran ke KPU,” katanya.
Keharusan menandatangani surat pernyataan bersedia mengundurkan diri menjadi syarat para kader PKS yang ingin menjadi caleg. Syarat itu tertuang dalam surat bernomor 02/D/EDR/DPP-PKS/2018 yang ditandatangani Presiden PKS Sohibul Iman pada 29 Juni 2018.
Tiga poin penting yang terdapat dalam surat edaran itu:
1. Memastikan surat pernyataan BCAD yang telah ditandatangani sebelumnya tersampaikan di setiap level struktur yang ditetapkan.
2. Mengisi dan menandatangani Surat Pernyataan Bersedia Mengundurkan Diri yang terlampir bersama surat edaran ini;
3 Mengisi dan menandatangani Surat Pengunduran Diri bertanggal kosong yang terlampir bersama surat edaran ini.
Mantan Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKS Mahfudz Siddiq, yang namanya dicoret dari daftar caleg PKS, memahami bila ada beberapa caleg PKS yang mengaku tidak tahu tentang surat edaran bersedia mengundurkan diri tersebut.
"Setelah ribut di media, formulir itu tidak didistribusikan secara terbuka. Tapi, ada petugas khusus yang datangi caleg satu per satu," kata anggota DPR RI tiga periode ini.
Mahfudz menilai surat yang dikeluarkan DPP PKS bertentangan dengan semangat kelahiran PKS, yang pada era reformasi memperjuangkan demokrasi di Indonesia. "Surat itu justru mencerminkan semangat otoritarianisme yang dilakukan pengurus DPP PKS," tambahnya.
Penulis: Muhammad Akbar Wijaya
Editor: Fahri Salam