tirto.id - Kurang lebih sebulan setelah memenangi Pemilu AS, Donald Trump melontarkan pernyataan yang mengejutkan dunia industri penerbangan AS. Ia mengkritik habis-habisan Boeing yang dianggapnya menjual pesawat terlalu mahal, sehingga membatalkan pesanan Air Force One.
“Boeing sedang membangun sebuah pesawat baru 747 Air Force One untuk para presiden AS di masa mendatang, tapi biayanya di luar kontrol, lebih dari $4 miliar. Pemesanan batal!” cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump pada 6 Desember 2016 lalu
Gertak sambal Trump terbukti ampuh membuat Boeing melunak soal kontrak biaya hingga batas waktu pengiriman lebih cepat dari waktu target sebelumnya 2024. Ini terjadi setelah ada pertemuan Trump dengan CEO Boeing Dennis Muilenburg jelang Natal lalu.
Boeing 747 merupakan salah satu andalan Boeing. Namun, kejayaannya mulai luntur semenjak 27 April 2005, dengan terbangnya Airbus A380. Rekor Boeing 747 sebagai pesawat jumbo memang sudah terpatahkan, setelah memegangnya sejak 1970.
Pukulan kembali datang pada awal tahun ini. Sejumlah maskapai mengumumkan tidak lagi menggunakan Boeing 747. United Airlines misalnya, akan meninggalkan pesawat Boeing 747-400 Oktober tahun ini atau lebih cepat setahun dari rencana, setelah menggunakan selama hampir tiga dekade.
United Airlines akan mengganti pesawat berbadan lebar 747-400 dengan Boeing 777-300ER. Pada tahun depan, mereka juga mulai menerima pengiriman pesawat Airbus A350
“Waktunya telah tiba untuk mempensiunkan pesawat Boeing 747-400 kami dari layanan penerbangan berjadwal,” kata Presiden United Airlines Scott Kirby dikutip dari usatoday.
Hal serupa juga dilakukan oleh Delta Air Lines. Mereka mengkandangkan Boeing 747-400 lalu menggantinya dengan beberapa model, termasuk Airbus A330 dan Airbus 350 yang akan diterima tahun berikutnya. Pesawat berjuluk si Ratu Angkasa ini mulai ditinggalkan karena persoalan bahan bakar yang boros, mahalnya biaya perawatan, dan munculnya pesaing-pesaing yang membuat ketertarikan konsumen mulai berkurang. Maskapai beralih ke pesawat-pesawat lain yang dianggap lebih kekinian.
Yang menarik, pergantian beberapa armada dua maskapai penerbangan AS tersebut, sebagian digantikan oleh pesawat berbadan lebar lansiran Airbus. Tentu, ini jadi kabar buruk bagi Boeing, yang sejak lama menjadikan Airbus sebagai rival abadinya, termasuk dalam persaingan membangun pesawat jumbo di angkasa.
Pertarungan Dua Raksasa
Bagi produsen, mampu menjual pesawat jumbo adalah sebuah gengsi. Unit yang dijual memang relatif lebih sedikit, tetapi nilai gengsinya lebih tinggi. Itulah mengapa Boeing dan Airbus selalu bersaing ketat dalam hal membuat pesawat jumbo.
Perlombaan membuat pesawat komersial raksasa sudah digagas sejak awal 1990-an. Boeing sempat menyiapkan proyek pesawat jumbo Boeing 747 Double Decker, tapi dibatalkan pada 1993. Airbus akhirnya melenggang sendiri mengembangkan super jumbo tanpa pesaing.
Keputusan Boeing membatalkan proyek ambisius 23 tahun lalu cukup logis. Ketika itu, membangun pesawat jumbo baru penuh dengan risiko investasi yang tinggi. Namun, ketika Airbus A380 resmi beroperasi dengan bendera Singapore Airlines pada 2007, keraguan itu berhasil ditepis.
Boeing sempat yakin masa depan industri pesawat akan lebih banyak pada rute-rute pendek dan menengah yang cukup dilayani dengan pesawat kecil dan medium. Boeing lebih memilih mengembangkan pesawat jumbo Boeing 747-8, dengan kapasitasnya lebih kecil dari Airbus A380, agar tak kalah telak dengan Airbus.
Boeing akhirnya merilis pesawat Boeing 747-8 pada Februari 2011, sebagai generasi terbaru pesawat jumbo dari produsen pesawat yang lahir sejak 1916 ini. Namun dari sisi kapasitas tetap saja kalah, kapasitas maksimal Airbus A380 bila seluruh kursi dibuat untuk kelas ekonomi bisa menampung 800 orang, sedangkan Boeing 747-8 hanya sekitar 600 orang.
Boeing ternyata keteteran menghadapi persaingan di segmen pesawat jumbo. Pada awal 2016, Boeing mengumumkan memangkas setengah produksi pesawat jumbo 747-8. Program pemangkasan produksi pesawat jumbo Boeing berlangsung mulai September 2016 dari rencana 12 unit jadi hanya 6 pesawat.
Belakangan ini, Boeing 747 lebih populer dikenal sebagai pesawat kargo daripada pesawat penumpang. Padahal untuk seri Boeing 747-400 pada debut perdananya menjadi bintang angkasa di dunia penerbangan. Selama dua dekate terakhir produksi Boeing 747 memang mengalami penurunan.
"Sebenarnya, Boeing 747 sedang mati pelan-pelan," kata Analis Dirgantara dari The Teal Group Richard Aboulafia dikutip dari BBC.
Persoalan yang menerpa produsen pesawat AS ini tak hanya soal Boeing 747 saja, awal tahun lalu Boeing mengumumkan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 4.550 karyawan sebagai bagian dari efisiensi. Bagian yang banyak terkena PHK yaitu divisi pesawat komersial sebanyak 4.000 orang, sisanya bagian laboratorium pengetesan pesawat.
Secara kinerja, Boeing sebenarnya tidak jelek-jelek amat. Dalam lima tahun terakhir, ada pertumbuhan pendapatan. Berdasarkan data laporan keuangan 2011, Boeing meraup pendapatan 68,7 miliar dolar. Empat tahun kemudian, pendapatan Boeing meningkat pesat menjadi 96,1 miliar dolar, naik dari posisi 2014 yang hanya 90,8 miliar dolar.
Sementara itu, pesaingnya juga mencatatkan kinerja yang tak kalah baik. Pada 2013, pendapatan Airbus tercatat 57,7 miliar euro dan meningkat menjadi 60,7 miliar euro setahun kemudian. Aerotime.aero melaporkan kinerja pundi-pundi laba Airbus yang cukup positif. Pada tahun lalu Airbus membukukan laba 2,7 miliar euro atau naik dari tahun sebelumnya yang hanya 2,3 miliar euro.
Dari sisi kinerja pemesanan pesawat, The Telegraph menulis, Airbus lebih unggul dengan meraih 1.036 pesanan pesawat sepanjang 2015. Total daftar tunggu pemasanan pesawat mencapai 6.787 unit pesawat yang nilainya 996 miliar dolar hingga akhir tahun lalu. Pesaingnya, Boeing justru hanya mendapat 768 pesanan pesawat, dengan total daftar tunggu mencapai 5.795 unit pesawat, setara 850 miliar dolar.
Airbus lagi-lagi mengungguli Boeing, kali dalam hal pesanan pesawat super jumbo. Hingga akhir 2015, total daftar tunggu A380 mencapai 140 unit. Boeing harus puas dengan hanya 20 unit daftar tunggu Boeing 747-8. Namun, untuk urusan pengiriman, Boeing jadi juaranya. Pada 2015, Boeing berhasil mengirim 762 pesawat kepada pemesan. Sedangkan Airbus hanya mampu mengirim 635 pesawat.
Sedangkan pada 2016, Airbus unggul dalam hal total pesanan bersih sebanyak 731 pesawat. Untuk pengiriman, Airbus juga telah mencetak rekor pengiriman 688 unit pesawat. Jumlah ini melebihi target 670 unit pesawat.
"Di tahun 2016 kami berhasil mencapai tujuan kami dan juga melampaui mereka (Boeing)," kata Direktur Eksekutif Airbus, Fabrice Bregier, seperti diberitakan AFP.
Sementara itu, Boeing mengumumkan hanya menerima pesanan sebanyak 668 unit pesawat selama 2016. Jumlah ini turun 13 persen dibandingkan dengan tahun 2015. Namun, untuk pengiriman pesawat, Boeing masih mengungguli Airbus karena selama 2016, Boeing masih mampu melakukan pengiriman 748 unit pesawat.
Sebagai sebuah produk, Boeing 747 memiliki masanya, dan "sang ratu angkasa" memang sudah harus turun dari singgasananya.