tirto.id - Patung tokoh kemerdekaan India Mahatma Gandhi yang sudah berdiri dua tahun di depan Universitas Ghana tiba-tiba menghilang pada Selasa (11/12) malam. Raibnya patung Gandhi memang dikehendaki oleh para akademisi dan mahasiswa di kampus yang terletak di Accra, ibukota Ghana itu.
"Ini kemenangan besar bagi seluruh rakyat Ghana karena patung itu selalu mengingatkan betapa kita direndahkan," ujarseorang mahasiswa bernama Benjamin Mensah kepada Agence France-Presse (AFP), dikutip oleh The Guardianpada Jumat (14/12).
Penurunan patung Gandhi di Universitas Ghana juga didukung kalangan akademisi dari kampus-kampus lain. Obadele Kambon, kepala program studi bahasa, sastra, dan drama di Institute of African Studies, mengatakan pencopotan patung Gandhi adalah soal "harga diri".
"Jelas ada masalah ketika kami tidak menghormati diri sendiri dan memandang rendah pahlawan kami, seraya memuja-muja siapapun yang tak menghargai kami," katanya.
Mahatma Gandhi dikenal aktif sebagai pejuang anti-kolonialisme Inggris di India. Taktik non-kekerasan yang dipilihnya telah mengilhami gerakan sosial di berbagai belahan dunia, salah satunya aktivisme hak-hak sipil di Amerika Serikat yang diorganisir oleh Martin Luther King.
Gandhi sempat tinggal di Afrika Selatan selama 21 tahun (1893–1914) dan sebagai pengacara.
Pada 14 Juni 2016, Presiden India Pranab Mukherjee (2012-2017) meresmikan patung Gandhi di Universitas Ghana sebagai simbol perdamaian dunia dan tanda hubungan dekat antar kedua negara yang telah lama terjalin. Dalam pidato peresmian, Mukherjee menyerukan kepada para mahasiswa di kampus tersebut untuk "meniru dan mewujudkan" cita-cita Gandhi.
Namun, tak lama setelah peresmian, sejumlah akademisi Ghana menuntut agar patung itu disingkirkan. Menghadapi reaksi tersebut, pemerintah Ghana segera merencanakan relokasi. Rencana tersebut tak kunjung terwujud hingga dua tahun kemudian, sampai akhirnya massa memindahkannya secara paksa.
Pihak kampus menolak berkomentar terkait pencopotan patung Gandhi. Dilansir dari News24, seorang pejabat di Kementerian Luar Negeri Ghana hanya mengatakan: "Ini keputusan internal universitas".
Akar Masalah
Sejak berdiri dan diresmikan, patung Gandhi telah diprotes keras para dosen Universitas Ghana. Mereka membuat petisi online menyerukan agar patung tersebut dipindahkan dari halaman kampus.
Alasannya, Gandhi dinilai pernah melontarkan kata-kata rasis dan merendahkan kepada orang Afrika. Dalam beberapa catatan yang pernah ditulis Gandhi terselip bahwa orang India jauh lebih tinggi derajatnya dibanding warga kulit hitam Afrika.
Lebih dari 2.000 orang menandatangani petisi online tersebut. Petisi yang sama juga menyebutkan bahwa Gandhi tak hanya rasis terhadap orang kulit hitam di Afrika Selatan, tetapi juga berkampanye agar sistem kasta sosial di India tetap langgeng, bahkan setelah kemerdekaan.
Para profesor mengutip beberapa tulisan Gandhi yang menyebut orang Afrika Selatan kulit hitam sebagai "kafir" (hinaan kepada orang kulit hitam). Bagi Gandhi, pemerintah Afrika Selatan saat itu ingin "menyeret" orang India ke derajat orang-orang kulit hitam yang disebutnya "setengah primitif”.
Penolakan para akademisi Ghana didukung oleh sebuah buku yang diterbitkan setahun sebelum peresmian patung Gandhi. Buku itu berjudul The South African Gandhi: Stretcher-Bearer of Empire (2015) karya dua akademisi Afrika Selatan, Ashwin Desai dan Goolem Vahed. Kedua penulis menyusun laporan tentang kehidupan Gandhi di Afrika Selatan antara 1893 dan 1914, sebelum ia kembali ke India.
Menurut The South African Gandhi, Gandhi kerap melontarkan hinaan kepada orang kulit hitam. Ia menggambarkan orang Afrika sebagai "buas" dan "liar" dan menjalani kehidupan dalam "kemalasan dan ketelanjangan". Gandhi juga disebut-sebut terus berusaha membuktikan kepada penguasa Inggris bahwa masyarakat India di Afrika Selatan lebih unggul dari warga kulit hitam setempat.
Singkatnya, The South African Gandhiyang berangkat dari tulisan-tulisan Gandhi dan dokumen-dokumen pemerintah ini menyajikan potret yang sangat tidak populer tentang si pejuang kemerdekaan India.
Gandhi memang berjuang untuk mencabut sejumlah aturan hukum bikinan penjajah Inggris yang tak adil bagi penduduk Afrika Selatan maupun orang India. Namun, perjuangan Gandhi mengabaikan posisi penduduk kulit hitam. Inilah yang membuatnya terjebak rasisme.
Menurut Desai dan Vahed, Gandhi juga tidak mempedulikan penderitaan yang dialami orang kulit hitam dan percaya bahwa kekuasaan harus tetap dipegang oleh berada di tangan orang kulit putih.
Rajmohan Gandhi, cucu sekaligus penulis biografi Mahatma Gandhi, menyatakan bahwa kakeknya yang datang ke Afrika Selatan pada usia 24 tahun tidak menyadari bahwa ia telah berprasangka buruk terhadap orang kulit hitam.
Menurut Rajmohan, sikap Gandhi berubah seiring waktu karena sang kakek akhirnya mendukung kesetaraan ras dan perjuangan hak-hak India di Afrika Selatan, yang diklaim membuka jalan bagi perjuangan hak-hak kulit hitam. Rajmohan juga mengutip perkataan Nelson Mandela yang menyebutkan bahwa sikap Gandhi harus dimaafkan, meningat konteks dan keadaan waktu itu.
Bagaimanapun, kisah tentang sisi lain Gandhi yang dibukukan itu terlanjur menyinggung perasaan orang Afrika, khususnya di Ghana.
"Ini bukan masalah Ghana versus India," kata Kambon. “Bayangkan jika kami mengirim patung kolonel Reginald Dyer dan menyebutnya hadiah untuk untuk India. Bagaimana perasaan mereka?” gugat Kambon.
Dyer adalah seorang perwira militer Inggris di Jalandhar, tenggara Amritsar, India pada awal 1919. Ia dikenal sebagai dalang pembantaian Amritsar pada 13 April 1999. Encylopaedia Britannicamencatat, Dyer memerintahkan pasukannya untuk menembaki ribuan peserta protes dengan senapan api. Laporan resmi menyebut 379 orang tewas, termasuk wanita dan anak-anak, dan sebanyak 1.200 orang lainnya luka-luka. Akibat peristiwa ini, Dyer dibebastugaskan oleh Inggris dan pensiun dini.
Editor: Suhendra