tirto.id - Terhitung sejak 15 November kemarin, populasi manusia telah melampaui 8 miliar jiwa. Namun, masalah kependudukan, seperti kelangkaan pangan, lahan, hingga pencemaran lingkungan, sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Lalu, apa urgensinya?
Yang jelas ada lebih dari 8 miliar mulut perlu diberi makan juga penghidupan layak dengan sandang, pangan, dan papan. Artinya juga, ada lebih dari 8 miliar manusia yang mengeskploitasi sumber daya alam dan menghasilkan limbah.
“Manusia zaman sekarang menghabiskan lebih banyak sumber daya dalam 50 tahun terakhir daripada seluruh umat manusia sebelum ini,” ringkas ulasan Stephen Dovers, Direktur Sekolah Lingkungan Fakultas Kedokteran, Biologi, dan Lingkungan Australian National University, seperti dimuat laman Australian Academy of Science.
Menurut ringkasan studi UNEP Global Environmental Alert Service (GEAS), para ilmuwan sepakat bahwa Bumi hanya menampung populasi manusia di angka kurang dari 8 miliar jiwa. Ledakan populasi itu pun membawa konsekuensi tak terelakkan, yaitu eksploitasi alam yang kian masif.
Manusia kiwari menggunakan sumber daya ekologis seperti mereka hidup di 1,75 Bumi. Sejak kemunculannya di Bumi, populasi manusia butuh waktu hingga tahun 1804 untuk mencapai 1 miliar jiwa. Kemajuan teknologi dan kesehatan kemudian membuat peningkatan populasi manusia jadi lebih pesat. Spesies kita bertumbuh sebanyak 7.636 jiwa setiap jam.
Seiring dengan pertumbuhan populasi manusia, dunia mengalami penurunan rata-rata 68 persen populasi mamalia, burung, ikan, reptil, dan amfibi sejak 1970. Bumi tengah menghadapi fenomena yang disebut ecological overshoot—titikketika kebutuhan manusia melebihi kemampuan alami ekosistem meregenerasi sumber dayanya. Ia terjadi ketika umat manusia mengeksploitasi Bumi secara berlebihan.
Akar masalah ledakan populasi ini bersumber pada satu hal: ketidakadilan. Mulai dari timpangnya akses informasi, pendidikan, dan ketidakadilan gender.
Sekilas, poin terakhir seperti tidak punya korelasi atas masalah kependudukan. Namun, ternyata ketika perempuan masih dianggap manusia kelas dua, tak dapat pendidikan dan pekerjaan yang setara, serta tak punya hak atas reproduksi mereka, populasi manusia akan meledak.
“Sebanyak 50 persen kehamilan di dunia tidak direncanakan dan 25 persen bahkan tidak diinginkan. Ini akibat informasi yang salah, (perempuan) kurang berdaulat, dan miskin,” demikian melansir Population Media.
Jangan kira di era yang sudah lebih modern ini segala campur tangan untuk mengontrol hidup dan tubuh perempuan sudah sirna. Ia masih ada dan banyak konstruksi sosial yang memaksa perempuan punya banyak anak. Jangan lupa juga kasus-kasus kekerasan berbasis gender dan perkawinan anak yang dinormalisasi atas nama agama.
Rentetan masalah tersebut hanya sebagian kecil momok yang harus dimusnahkan jika ingin menghentikan ledakan populasi.
Jalan Keluar yang Mungkin
United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) memperkirakan 130 juta anak perempuan berusia antara 6-17 tahun tidak bersekolah. Melihat kenyataan ini, upaya menekan pertumbuhan penduduk secara signifikan agaknya masih harus melalui jalan yang panjang.
Lihat saja solusi ringkas untuk menekan pertumbuhan penduduk, seperti akses kontrasepsi, yang masih timpang. Kemudahan berkontrasepsi masih hanya menjadi privilese negara-negara maju. Misalnya, persentase perempuan usia subur yang bisa mengakses kontrasepsi di Amerika Serikat mencapai sekitar 65 persen, sementara di negara-negara Afrika Sub-Sahara persentasenya cuma 30 persen.
“Pada 2015, 80 persen populasi dunia tinggal di negara berkembang karena kemiskinan dan kurangnya akses kontrasepsi.”
Oke, anggap saja sembari menuju jalan pintas berkontrasepsi, kita alihkan solusi pada poin selanjutnya: Promosi keberlanjutan.
Hanya ada satu planet Bumi untuk menghidupi lebih dari 8 miliar orang. Padahal, sebagaimana sudah disebut sebelumnya, kita butuh 1,75 Bumi. Solusinya tentu bukan pindah ke Bulan atau Mars, tapi lebih bijak mengelola alam dan meregenerasinya.
Namun, ketidakadilan lagi-lagi jadi batu sandungan solusi ini. Pasalnya, konsumsi sumber daya tidaklah merata. Kelas menengah Amerika, misalnya, dikalkulasi mengkonsumsi 3,3 kali lipat makanan dan hampir 250 kali air bersih. Jika semua orang di Bumi hidup seperti kelas menengah Amerika itu, planet ini hanya mampu mendukung sekitar 2 miliar jiwa.
“Tapi ketika manusia hanya mengambil apa yang mereka butuhkan, Bumi berpotensi punya daya dukung yang lebih tinggi” tulis studi UNEP Global Environmental Alert Service (GEAS).
Saat ini, manusia membuang limbah lebih banyak daripada yang bisa diasmilasi Bumi. Konsekuensinya, kita dihadapkan pada masalah krisis iklim, menipisnya sumber daya alam, degradasi tanah, polusi, kepunahan massal, dan pengasaman air laut.
Tidak seperti zaman geologis sebelumnya—ketika berbagai proses geologis dan iklim menentukan periode waktu, periode Antroposen saat ini dipengaruhi manusia dan aktivitasnya terhadap lingkungan. singkatnya, manusia menjadi kekuatan anyar yang menentukan dalam sistem geofisika global.
Maka kita pulalah yang bisa merubah segala kehancuran ini.
Kita, manusia, tak bisa bergerak secara parsial. Kesadaran kolektif dan partisipasi di tingkat politis harus dibangun. Tanpa itu semua, isu ledakan populasi dan masalah yang mengikutinya hanya akan jadi narasi basi.
Beriring dengan aksi kolektif itu, kita juga mesti mendorong kebijakan reproduksi yang berpihak pada perempuan. Sebab, kita masih berada di dunia dengan mayoritas laki-laki sebagai pengambil kebijakan yang bahkan tak segan berlaku dan memasang perspektif misoginis serta seksis berkedok guyon belaka. Padahal, hasil kebijakan mereka yang tak berprespektif gender turut menyumbang kehancuran di muka Bumi.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi