Menuju konten utama

AJI: Polisi Aktor Dominan Kasus Kekerasan terhadap Pers & Sipil

AJI menilai semestinya kepolisian memastikan para anggotanya tidak melakukan kekerasan, bukan 'memoles' kegiatan polisi menjadi humanis.

AJI: Polisi Aktor Dominan Kasus Kekerasan terhadap Pers & Sipil
Polisi menangkap sejumlah anggota dan simpatisan FPI di Tanah Abang yang akan melakukan demo bebaskan Rizieq di Patung Kuda Monas, Jakarta, Jumat (18/12/2020). Polisi dengan membawa tameng, tongkat, dan gas air mata menghampiri dan menangkap massa yang tidak mau membubarkan diri. Polisi juga menyita ambulance yang diduga membawa logistik makanan untuk pendemo. Tirto.id/ Andrey Gromico

tirto.id - Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim meminta pihak kepolisian tidak membatasi kerja-kerja jurnalistik dan mencabut Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/750/Aiv/HUM.3.4.5/2021.

Surat tersebut berisi instruksi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang salah satu poinnya melarang media menyiarkan tindakan kekerasan dan arogansi yang dilakukan anggota kepolisian.

"Apalagi kita tahu polisi selama ini menjadi aktor dominan dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis. Termasuk kekerasan yang dialami warga sipil di sektor-sektor lainnya," ujar Sasmito kepada Tirto, Selasa (6/4/2021).

Dalam surat telegram kepolisian terdapat 11 hal yang diinstruksikan. Salah satunya dan tertera sebagai poin pertama yakni, "Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis."

Menurut Sasmito, semestinya kepolisian memastikan para anggotanya untuk tidak melakukan kekerasan dan tegas memproses anggotanya yang melakukan kekerasan.

Catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan AJI Indonesia menyebutkan kasus kekerasan terhadap wartawan pada 2020 meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya. Pada 2020 terjadi 117 kasus kekerasan terhadap wartawan dan media, sementara pada 2019 tercatat 79 kasus atau meningkat 32 persen.

Dari 117 kasus tersebut, sebanyak 99 kasus terjadi pada wartawan, 12 kasus pada pers mahasiswa, dan 6 kasus pada media, terutama media siber.

Sementara AJI Indonesia mencatat, pada 2020 terjadi 84 kasus kekerasan terhadap wartawan atau bertambah 31 kasus dibandingkan pada 2019 (53 kasus). Pelaku kekerasan paling banyak adalah aparat keamanan.

"Bukan sebaliknya 'memoles' kegiatan polisi menjadi humanis. Terbaru kasus Jurnalis Tempo Nurhadi di Surabaya," tutur Sasmito.

Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/750/Aiv/HUM.3.4.5/2021 tersebut bertanggal 5 April 2021 menjadi dasar pengingat para pengemban fungsi Humas Polri di kewilayahan.

Isi surat itu mengatur perihal pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan dan/atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik. Ada 11 hal yang diinstruksikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kepada jajaran Humas Polri.

"Pertimbangannya agar kinerja Polri di kewilayahan semakin baik," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono ketika dihubungi wartawan, Selasa (6/3/2021).

Berikut isi lengkap instruksi Kapolri:

1. Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.

2. Tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana.

3. Tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.

4. Tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan.

5. Tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual.

6. Menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.

7. Menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah umur.

8. Tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku.

9. Tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.

10. Dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten.

11. Tidak menampilkan gambaran eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN APARAT atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Bayu Septianto